Home » » MARHABAN YA RAMADHAN I

MARHABAN YA RAMADHAN I

Setiap kali menjelang Ramadhan atau syawal kita sering di hadapkan pada permasalahan kapan mulai Ramadhan ? ujung-ujungnya kita berbeda memulai Ramadhan ataupun syawal

Maka alangkah lebih baiknya jika kita berkenan mencermati catatan-catatan berikut 



MENJELANG BULAN RAMADHAN
Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid

[1]. Menghitung Hari Bulan Sya'ban

Umat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya'ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramdhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya'ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya'ban tiga puluh hari" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1081]

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim 1080]

Dari Adi bin Hatim Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari, kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh" [1]

[2]. Barang siapa yang Berpuasa Hari Syak[2], Berarti (ia) Telah Durhaka Kepada
Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam

Oleh karena itu, seorang muslim tidak seyogyanya mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah" [Hadits Riwayat Muslim (573 -Mukhtashar dengan Muallaqnya)]

Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Shillah bin Zyfar dari Ammar membawakan perkataan Ammar bin Yasir.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam" [3]

[3]. Jika Seorang Muslim Telah Melihat Hilal Hendaknya Kaum Muslimin Berpuasa atau Berbuka

Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya'ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah" [4]

Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa), dalam suatu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : "Manusia mencari-cari hilal, maka aku khabarkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam-pun menyuruh manusia berpuasa. [5]


[Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata]
_________
Foote Note.
[1] Hadits Riwayat At-Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 501, Ahmad 4/377, At-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171. Dalam sanadnya ada Musalin bin Sa'id, beliau dhaif sebagaiamana dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid 3/146, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al-Irwaul Ghalil 901, karya Syaikhuna Al-Albany Hafidhahullah
[2] Yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum -ed
[3] Dibawakan oleh Bukhari 4/119, dimaushulkan oleh Abu Daud 3334, Tirmidzi 686, Ibnu Majah 3334, An-Nasa'i 2199 dari jalan Amr bin Qais Al-Mala'i dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni As-Sabi'in mudallis dan dia telah 'an-anah dalam hadits ini, dia juga telah bercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukungnya) dibawakan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Ta'liqu Ta'liq 3/141-142 sehingga beliau menghasankan hadits ini.
[4] Hadits Riwayat An-Nasa'i 4/133, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni 2/167 dari jalan Husain bin Al-Harist Al-jadal dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan sanadnya hasan. Lafadz di atas aadalah pada riwayat An-Nasa'i, Ahmad menambahkan : "Dua orang muslim".
[5] Hadits Riwayat Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423, Al-Baihaqi 4/212 dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi' dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya Hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Habir 2/187

HUKUM MENGAMALKAN HISAB DALAM MENENTUKAN MASUK DAN KELUARNYA BULAN RAMADHAN
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar

Allah Ta'ala berfirman:

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa".[Baqarah: 185]

Nabi al-Musthafa Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..." [1]

Kedua nash di atas dan juga yang lainnya menunjukkan secara jelas dan pasti bahwa titik fokus masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ada pada ru'yah atau penyempurnaan hitungan bulan Sya'ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari. Keduanya merupakan tanda yang sangat jelas yang dapat dilakukan dan difahami oleh setiap orang. Pada keduanya tidak terkandung kesulitan, kepayahan dan kesusahan. Demikian itulah yang berlaku pada semua taklif (beban) syari'at, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala menghilangkan kesulitan darinya.

Mahabenar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:

"Dan sekali-kali Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan..."[Al-Hajj: 78]

Orang-orang yang memfokuskan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan dengan hisab, pasti akan memberikan kesulitan dan keberatan kepada orang banyak. Hisab cenderung mempunyai tingkat kesalahan yang lebih besar. Yang demikian merupakan suatu hal tersembunyi yang tidak diketahui oleh setiap orang. Tidaklah mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan suatu perintah syari'at yang memberatkan para hamba-Nya. Mahatinggi Allah dari hal tersebut.

Para ulama telah menarik kesimpulan dari as-Sunnah, ijma maupun logika dalam hal tersebut.

Adapun dalil dari as-Sunnah adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian tidak berpuasa sehingga kalian melihatnya. Dan jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya."

2. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab, [2] jumlah hari-hari dalam sebulan adalah begini dan begini (sambil memberi isyarat dengan kedua tangannya)."

Yakni, terkadang 29 dan terkadang 30 hari. [3]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "Hadits-hadits yang penuh makna ini patut diterima dan menunjukkan beberapa hal:

Pertama, bahwa sabda beliau Shallallahu 'aliahi wa sallam : "Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf, tidak dapat menulis dan tidak pernah menghisab (tidak mengetahui ilmu perbintangan)," merupakan berita yang mengandung larangan, di mana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat yang mengikutinya adalah umat yang tidak dapat menulis dan tidak mengetahui ilmu perbintangan, sehingga penulisan dan ilmu perbintangan [*] yang disebutkan itu dilarang..."[4]

Kedua, "Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihatnya dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya juga." Larangan ini tidak lepas dari dua kemungkinan, bisa bersifat umum, baik puasa wajib, puasa sunnat, puasa nadzar, dan puasa qadha', maupun yang dimaksudkan adalah janganlah kalian berpuasa Ramadhan sehinga kalian melihatnya. Berdasarkan keduanya, maka telah dilarang berpuasa Ramadhan sebelum ru'yah, dan ru'yah itu hanya dilakukan secara inderawi dan menggunakan kasat mata. [5]

Sedangkan dalil dari ijma' adalah sebagai berikut:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, "...Kita telah mengetahui dari ajaran Islam bahwa mengamalkan ru'yah hilal puasa, haji, iddah, ila' atau hukum-hukum lainnya yang berkaitan dengan hilal berdasarkan berita dari orang yang melakukan hisab dengan pernyataan bahwa dia telah melihat atau tidak melihat adalah tidak boleh. Cukup banyak nash dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Kaum muslimin telah sepakat mengenai hal tersebut, dan tidak diketahui adanya perbedaan pendapat mengenai hal itu dari sejak dahulu kala..." [6]

Adapun dalil logika adalah sebagai berikut:

Ketahuilah bahwa para muhaqqiq (peneliti) dari orang-orang yang melakukan hisab secara keseluruhan telah sepakat bahwasanya tidak mungkin melihat hilal itu dengan hisab secara tepat, di mana di dalamnya diputuskan bahwa dia melihat dengan pasti atau tidak melihat sama sekali secara umum. Bisa saja terkadang terjadi kesepakatan mengenai hal itu atau tidak, yang terjadi secara bertepatan pada beberapa tahun. [7]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "...Al-Mazari mengatakan, Jumhur Fuqaha telah mengarahkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Faqdiruu lahu,' kepada makna bahwa yang dimaksudkan adalah dengan menyempurnakan hitungan bulan menjadi 30 hari, sebagaimana yang dia tafsirkan di dalam hadits lain. Mereka mengatakan, 'Tidak boleh dimaksudkan bahwa perhitungan itu berdasarkan perhitungan hisab ahli falak, karena seandainya orang-orang itu dibebani hal itu, niscaya mereka akan merasa kewalahan, karena hal itu tidak dapat diketahui kecuali hanya oleh beberapa orang tertentu saja, sedangkan syari'at Islam dapat diketahui oleh banyak orang. Wallaahu a'lam..."[8]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, "...Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah perhitungan bintang dan perjalanannya dan mereka tidak mengetahui hal tersebut, kecuali hanya sedikit orang saja. Oleh karena itu, hukum yang terkait dengan (awal atau akhir) puasa dan yang lainnya adalah dengan memakai ru'yah untuk menghilangkan kesulitan dari mereka dalam melakukan hisab perjalanan bintang yang cukup berat. Hukum itu terus berlaku pada puasa, meskipun setelah itu ada orang yang mengetahui hal tersebut. Bahkan, lahiriah hadits ini mengandung penolakan terhadap penyandaran hukum (penentuan bulan) pada hisab. Hal itu dijelaskan oleh sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits terdahulu: "Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengatakan, "Maka tanyakanlah kepada ahli hisab." Dan hikmah dalam hal itu, bahwa jumlah hitungan pada saat berawan (mendung) dan hitungannya menjadi sama bagi orang yang hendak berpuasa sehingga perbedaan dan perselisihan itu dihilangkan dari mereka..."[9]

Ibnu Abidin mengatakan, "...Adapun ucapan, 'Dan tidak ada ibrah (pelajaran yang dapat dipetik) pada ucapan para penentu waktu (ahli hisab),' yakni dalam mewajibkan puasa kepada orang-orang bahkan dalam keadaan yang bertentangan dengan hasil ru'yatul hilal, ucapan mereka itu tidak bisa dianggap sebagai ijma' dan tidak boleh bagi ahli hisab untuk melakukan penghisaban sendiri..."[10]

Di dalam kitab Mawaahibul Jaliil, al-Hithab mengatakan, "...Ibnul Hajib mengatakan, menurut kesepakatan para ulama bahwa perhitungan para ahli nujum itu tidak perlu dianggap penting..."[11]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2]. Diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
* Makna "nahsubu" adalah, "Kami tidak mengetahui tentang ilmu perbintangan (ilmu falak)." Lihat Fat-hul Baari (IV/127).-Penerbit.
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahih al-Bukhari (III/25) dan Shahiih Muslim (III/124))
[*]. Ilmu perbintangan yang dilarang adalah ilmu yang digunakan untuk meramal nasib, keberuntungan dan yang lainnya berdasarkan pergerakan bintang. Sedangkan ilmu perbintangan yang dibolehkan adalah yang digunakan untuk mengetahui arah, mata angin dan lainnya.-red.
[4]. Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/164-165).
[5]. Ibid, (XXV/176-177).
[6]. Ibid, (XXV/132).
[7]. Ibid, XXV/183.
[8]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/189).
[9]. Fat-hul Baari (IV/127).
[10]. Haasyiyah Ibni ‘Abidin (II/387).
[11]. Mawaahibul Jaliil (II/387) oleh al-Hithab.

PUASA PADA HARI YANG DIRAGUKAN
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar

Hari yang diragukan adalah malam tiga puluh Sya'ban, jika padanya tidak terlihat hilal karena adanya awan, gerimis atau karena yang lainnya. Para ulama telah berbeda pendapat mengenai puasa pada hari ini. Dalam hal ini terdapat dua pendapat:

Pertama, pendapat Jumhur Ulama, yaitu pendapat yang tidak membolehkan puasa pada hari itu dan keharusan untuk tidak berpuasa.

Kedua, satu riwayat milik para penganut madzhab Hanbali, di mana mereka memiliki pendapat yang mewajibkan puasa pada hari tersebut. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Janganlah kalian berpuasa sehingga kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Jika awan menyelimuti kalian, maka perkirakanlah untuknya." [1]

Para ulama masih berbeda pendapat mengenai kalimat "Faq-diruu lahu," dimana Jumhur mengatakan, "Lihatlah perhitungan bulan dari awalnya, lalu sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjadi 30 hari." Sedangkan para pengikut madzhab Hanbali mengatakan, "Faqdiruu lahu berarti persempitlah perhitungan hisab dan jadikanlah ia (bulan Sya'ban) 29 hari."

Pendapat yang benar adalah kewajiban untuk tidak berpuasa pada tanggal 30 Sya'ban saat langit berawan atau gerimis, karena adanya beberapa riwayat:

"Maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya'ban menjadi 30 hari." [2]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "...Jika pada malam ketiga puluh itu pandangan mata dihalangi oleh awan, maka hitungan bulan Sya'ban disempurnakan menjadi 30 hari, kemudian (pada keesokan harinya) mulailah berpuasa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berpuasa pada hari berawan (pada tanggal 30 Sya'ban-ed.), dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk itu, tetapi yang beliau perintahkan adalah menyempurnakan bilangan Sya'ban menjadi 30 hari, jika berawan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melakukan hal tersebut. Itulah yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan dan yang menjadi perintahnya." [3]

Di dalam kitab Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi', Ibnu Qasim mengatakan, "...Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mewajibkan untuk berpuasa pada hari itu sebelum ru'yatul hilal atau penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..." Hal ini sesuai dengan pendapat tiga orang Imam

Dan itulah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih yang mutawatir dan menjadi pilihan Imam dakwah ini. Dan orang yang mengambil darinya serta melarang berpuasa pada hari itu didasarkan pada beberapa alasan, di antaranya:

Pertama, bahwa malam itu termasuk bagian dari bulan Sya'ban berdasarkan hitungan pokok dan bukan termasuk bulan Ramadhan, kecuali dengan keyakinan.

Kedua, adanya larangan yang benar lagi jelas dalam hal mendahului Ramadhan dengan puasa.

Ketiga, adanya hadits-hadits shahih lagi sharih (jelas) yang melarang berpuasa pada hari tersebut. [4]

Imam ash-Shan'ani mengatakan, "...Ketahuilah bahwa hari yang meragukan adalah tanggal 30 dari bulan Sya'ban jika hilal tidak terlihat pada malam harinya yang diselimuti awan atau ter-tutup sesuatu atau yang semisalnya, sehingga bisa jadi ia termasuk bagian dari Ramadhan dan bisa juga termasuk bagian dari bulan Sya'ban. Berdasarkan hadits yang ada serta makna yang terkan-dung di dalamnya menunjukkan pengharaman puasa pada hari itu. Berkaitan dengan pendapat tersebutlah Imam asy-Syafi'i berpendapat. Para Sahabat berbeda pendapat mengenai hal tersebut, di antara mereka ada yang membolehkan puasa pada hari itu dan ada juga yang melarangnya serta mengkategorikannya sebagai kedurhakaan terhadap Abul Qasim (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salllam). Dengan demikian, dalil-dalil tersebut mendukung pendapat para ulama yang mengharamkan puasa pada hari itu..." [5]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122)) Lafazh ini milik Muslim.-red.
[3]. Zaadul Ma'aad (I/326).
[4]. Haasyiyah ar-Raudhil Murabbi', Ibnu Qasim (III/350).
[5]. Subulus Salaam (II/216-217).

PENETAPAN MASUKNYA BULAN RAMADHAN DAN BULAN SYAWWAL
Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar


Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:

"Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa..." [Al-Baqarah: 185]

Dalam ayat di atas terkandung pengertian wajib untuk menunaikan puasa Ramadhan sejak awal sampai akhir bulan. Untuk mengetahui awal dan akhir bulan ini dapat ditempuh cara sebagai berikut:

Pertama: Dengan Ru'yatul Hilal

Ru'yah (melihat) hilal (untuk menentukan) bulan Ramadhan atau Syawwal. Oleh karena itu, jika ru'yah bulan Ramadhan telah ditetapkan maka diwajibkan berpuasa, dan jika ru'yah bulan Syawwal telah ditetapkan maka wajib tidak berpuasa (berbuka), baik itu dilihat sendiri maupun dilihat oleh orang lain dan beritanya itu memang benar. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut Ramadhan, lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal (bulan Ramadhan) dan jangan pula kalian berbuka (tidak berpuasa) sampai kalian melihatnya (bulan Syawwal). Jika awan menyelimuti kalian maka perkirakanlah untuknya." [1]

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbuka (tidak berpuasa) karena melihatnya pula. Dan jika awan (mendung) menutupi kalian, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari." [2]

Dengan dalil-dalil tersebut, maka tampak jelas bahwa Pembuat syari'at telah menggantungkan hukum masuknya bulan Ramadhan pada suatu hal yang tampak secara kasat mata oleh manusia, yang berjalan melintasi mereka tanpa kesulitan dan beban. Bahkan mereka dapat melihat bulan dengan mata mereka secara langsung. Yang demikian itu merupakan bagian dari kesempurnaan nikmat Allah kepada hamba-hamba-Nya.

Cara Melihat Hilal

Para ulama telah berbeda pendapat dalam menetapkan hilal (permulaan bulan) Ramadhan dan Syawwal, terdiri dari beberapa pendapat berikut ini:

Ada yang berpendapat, untuk melihat hilal itu harus dilakukan oleh sekumpulan orang yang banyak.

Ada juga yang berpendapat, untuk melihat hilal ini cukup dilakukan oleh dua orang muslim yang adil.

Juga ada yang berpendapat, untuk melihatnya cukup dilakukan oleh satu orang yang adil.

Penjelasan Rinci Mengenai Hal Ini Sebagai Berikut:

1. Para Pengikut Madzhab Hanafi

Mereka mengatakan bahwa langit itu tidak lepas dari dua keadaan, bisa cerah dan bisa juga tidak cerah (berawan).

Pertama, jika langit cerah, maka harus dilihat oleh sekumpulan orang untuk menetapkan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan. Disyaratkan dengan banyaknya orang karena dengan banyaknya orang yang melihat hilal di suatu tempat, maka tidak ada halangan sama sekali untuk melihatnya. Hal tersebut karena mereka memiliki pandangan mata yang sehat dan keinginan yang sangat kuat untuk mencari hilal. Adapun jika dilihat oleh satu orang saja, maka tidak dibenarkan.

Kedua, jika langit tidak cerah karena awan, debu atau yang lainnya, maka ru'yatul hilal cukup dengan kesaksian satu orang muslim yang adil, berakal, dan baligh. Hal itu merupakan masalah agama sehingga termasuk riwayat pengabaran.

2. Para Pengikut Madzhab Maliki
Hilal Ramadhan ditetapkan melalui tiga cara, yaitu:

Pertama, hilal itu dilihat oleh sekumpulan orang yang terdiri dari banyak orang, meskipun mereka tidak adil. Mereka adalah sekumpulan orang yang menurut kebiasaan dinilai aman dari kebohongan.

Kedua, dilihat oleh dua orang yang adil atau lebih, sehingga dengan ru'yah keduanya, puasa atau tidak berpuasa ditetapkan dalam keadaan berawan dan cerah.

Ketiga, dilihat oleh satu orang yang adil sehingga puasa atau tidak berpuasa ditetapkan melalui penglihatannya, baik untuk orang itu sendiri maupun untuk orang lain yang diberi kabar dan yang tidak memberi perhatian terhadap hilal.

Adapun hilal Syawwal dapat ditetapkan melalui penglihatan satu jama'ah yang terdiri dari banyak orang yang dinilai aman dari kebohongan.

Pemberitahuannya itu bisa menjadi pengetahuan atau dapat ditetapkan pula melalui penglihatan dua orang yang adil.

3. Para Pengikut Madzhab Syafi'i

Ru'yatul hilal untuk bulan Ramadhan, Syawwal atau bulan lainnya bagi manusia secara umum ditetapkan melalui penglihatan seorang yang adil, baik langit dalam keadaan cerah maupun tidak. Orang yang melihat itu harus adil, muslim, baligh, berakal, merdeka, dan laki-laki, dan harus menggunakan ucapan, "Saya bersaksi..."

4. Para Penganut Madzhab Hanbali

Ru'yatul hilal Ramadhan ditetapkan melalui ucapan satu orang yang mukallaf, adil, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dengan lafazh kesaksian dan yang lainnya.

Ru'yatul hilal bulan Syawwal ditetapkan melalui penglihatan dua orang yang adil. Mereka membolehkan penglihatan satu orang untuk ru'yatul hilal bulan Ramadhan karena dimaksudkan untuk ihtiyath (kehati-hatian) dalam menjalankan ibadah. Hal tersebut sebagaimana ihtiyath terhadap ru'yatul hilal bagi keluarnya bulan Ramadhan yang harus dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Madzhab-madzhab yang ada telah sepakat untuk tidak memakai hisab (perhitungan) dalam penetapan bulan Ramadhan atau Syawwal. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan didasarkan pada penglihatan dengan mata telanjang."

Kami menilai bahwa yang rajih (kuat) dalam menetapkan hilal Ramadhan cukup dengan kesaksian satu orang saja. Sedangkan pada ru'yah hilal bulan Syawwal harus didasarkan pada kesaksian dua orang. Untuk menerima kesaksian ru'yatul hilal ini disyaratkan agar orang yang memberi kesaksian itu harus sudah baligh, berakal, muslim, dan beritanya dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.

Sedangkan kesaksian anak kecil tidak dapat dijadikan dasar penetapan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, karena ia tidak dapat dipercaya. Demikian juga halnya dengan seorang yang tidak waras (gila).

Kesaksian orang kafir juga tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang Badui:

"Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwasanya aku adalah Rasulullah."

Dengan demikian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyandarkan penerimaan kesaksian seseorang itu pada keislamannya.

Sedangkan orang yang beritanya tidak dipercaya karena telah dikenal suka berbohong atau suka bertindak tergesa-gesa atau karena dia memiliki pandangan lemah yang tidak memungkinkan baginya untuk melihat hilal, maka kesaksiannya tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan bulan Ramadhan. Hal tersebut karena adanya keraguan terhadap kejujuran dan sifat dusta yang dominan pada dirinya.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, "...Yang dimaksud adalah penglihatan sebagian kaum muslimin. Dan tidak disyaratkan ru'yah itu dilakukan oleh setiap orang, tetapi cukup dilakukan oleh dua orang yang adil. Demikian menurut pendapat yang paling shahih, dan itulah yang berlaku pada bulan puasa. Sedangkan pada bulan Syawwal, maka kesaksian satu orang saja untuk ru'yatul hilal Syawwal tidak dibolehkan menurut Jumhur Ulama, kecuali Abu Tsaur, di mana dia membolehkannya dengan seorang yang adil..."[3]

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak membolehkan seseorang memasuki puasa Ramadhan kecuali dengan ru'yatul hilal yang sudah terbukti, atau kesaksian satu orang, sebagaimana beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan puasa berdasarkan pada kesaksian Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma. Selain itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga berpuasa berdasarkan kesaksian seorang Badui dan bersandar pada pemberitahuan dari keduanya..."[4]

Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, "... Penyandaran ru'yah tidak pada setiap orang, tetapi yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah ru'yah sebagian orang saja, yaitu orang yang bisa dipercaya untuk itu. Menurut Jumhur Ulama adalah satu orang, sedangkan menurut yang lainnya adalah dua orang..." [5,6]

Kedua: Menyempurnakan Sya'ban Menjadi 30 Hari [7]

Masuknya bulan Ramadhan dapat pula ditetapkan melalui penyempurnaan bulan Sya'ban menjadi 30 hari, sebagaimana keluarnya bisa juga ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan menjadi 30 hari. Hal itu dilakukan pada saat tidak bisa dilakukan ru'yatul hilal, baik saat masuk maupun keluarnya bulan Ramadhan. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya pula. Dan jika awan menaungi kalian, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya'ban menjadi 30 hari..."[8]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[3]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/190).
[4]. Zaadul Ma'aad (I/1325).
[5]. Fat-hul Baari (IV/123).
[6]. Lihat kitab Haasyiyah Ibni Abidin (II/384 dan setelahnya), Syarh ash-Shaghiir (II/219 dan setelahnya), Raudhatuth Thaalibiin (II/345), al-Mughni (IV/325 dan setelahnya), Subulus Salaam (II/207 dan setelahnya).
[7]. Masalah kedua yang digunakan untuk menetapkan masuk dan keluar-nya Ramadhan. Di mana hal pertama sebelumnya adalah ru'yatul hilal.
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger