Home » » MARHABAN YA RAMADHAN II

MARHABAN YA RAMADHAN II

PUASA BERDASARKAN SATU RU’YAT [PENGLIHATAN]

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah kaum muslimin diseluruh dunia diharuskan berpuasa berdasarkan satu ru’yat ? Dan bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyyah?

Jawaban
Para ahlul ilmi telah berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu jika di suatu negara kaum muslimin telah terlihat hilal, yang mana ru’yat itu telah memenuhi standar syar’iat, apakah kaum muslimin lainnya harus mengikuti hasil ru’yat tersebut ?

Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan, bahwa itu mengharuskan kaum muslimin untuk berpedoman pada hasil ru’yat tersebut. Mereka berdalih dengan keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah ia berpuasa dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika kalian melihatnya (hilal Ramadhan) maka berpuasalah”. Mereka mengatakan , “khitab ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh kaum muslimin”.

Sebagaimana yang diketahui, bahwa yang dimaksudkan itu bukanlah ru’yat setiap orang dengan penglihatannya masing-masing, karena hal itu tidak mungkin. Yang dimaksud itu adalah, bila yang melihatnya itu seorang yang dapat dipercaya penglihatannya tentang masuknya bulan (bergantinya bulan), dan ini bersifat umum di setiap tempat.

Para ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa tempat-tempat munculnya hilal itu berbeda-beda, sehingga setiap wilayah ada tempat sendiri-sendiri, Jika tempat munculnya hilal itu sama, maka orang-orang yang berada di wilayah tersebut, kendati belum melihatnya, harus mengikuti, jika memang di bagian lain (dalam kawasan yang sama tempat terbitnya) telah terlihat hilal.

Mereka berdalih dengan dalil yang sama, mereka mengatakan : Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sebagaimana diketahui, bahwa yang dimaksud itu bukanlah penglihatan masing-masing orang, tapi cukup dilakukan di tempat yang bisa melihat munculnya hilal. Hal ini berlaku untuk setiap tempat yang masih satu kawasan. Adapun kawasan lain yang tempat munculnya hilal berbeda dengan tempat tersebut, jika memang belum melihatnya, maka tidak harus mengikutinya.

Mereka juga mengatakan : Kami juga mengatakan tentang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) meka bebukalah” [1]

Bahwa orang yang berada di suatu tempat yang tidak sekawasan dengan orang yang telah melihat hilal, maka secara hakikat dan hukum ia belum termasuk yang melihatnya. Lebih jauh mereka mengatakan : Penentuan waktu bulanan adalah seperti halnya penentuan waktu harian, karena negara-negara itu berbeda waktu mulai puasa dan bukanya setiap hari, maka demikian juga dalam penetapan mulai dan berakhirnya bulan. Sebagaimana diketahui, bahwa perbedaan waktu/hari telah disepakati oleh kaum muslimin, di mana orang-orang yang berada di belahan timur bumi lebih dulu berpuasa daripada yang berada di belahan barat, demikian juga, mereka berbuka lebih dulu.

Jika kita memberlakukan perbedaan waktu terbit harian ini, maka untuk penetapan bulan pun sama persis perbedaannya.

Tidak mungkin seseorang mengatakan, bahwa firman Allah.

“Artinya : Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam” [Al-Baqarah : 187]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Jika malam telah datang dari sini dan siang telah berlalu dari sini, sementara matahari telah terbenam, maka telah berbuka orang yang puasa” [2]

Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa ini bersifat umum yang berlaku untuk seluruh kaum muslimin di semua negara.

Kami pun berpedoman pada keumuman firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) dibulan itu maka wajiblah baginya berpuasa” [Al-Baqarah : 185]

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Jika kalian melihatnya (hilal ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal syawwal) maka berbukalah” [3]

Pendapat ini, sebagaimana anda lihat, cukup kuat baik secara lafazh, pandangan dan kiyas yang benar, yaitu mengkiaskan penetapan waktu bulanan pada penetapan waktu harian.

Ahlul ilmi lainnya berpendapat, bahwa perkaranya di tangan yang berwenang dalam masalah ini. Jika yang berwenang itu berpendapat wajibnya puasa atau berbuka berdasarkan itu yang dilandasi oleh sandaran syar’i, maka ketetapan itu yang berlaku. Hal ini agar orang-orang yang berada di satu wilayah tidak berlainan. Mereka berdalih dengan kumuman hadits.

“Artinya : Hari puasa adalah hari dimana kalian semua berpuasa, dan hari berbuka adalah hari dimana kalian semua berbuka” [4]

Ada juga pendapat lain dari para ahlul ilmi seputar perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Kemudian tentang hal kedua yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu bagaimana puasanya kaum muslimin di beberapa negara kafir yang tidak ada ru’yat syar’iyahnya ? Mereka disana tidak memungkinkan untuk menetapkan hilal dengan cara syar’i, maka caranya, mereka berusaha untuk melihatnya jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan, maka ketika telah ada ketetapan ru’yat hilal di suatu negara Islam, mereka melaksanakan berdasarkan ru’yat tersebut, baik itu mereka telah melihatnya ataupun belum.

Kalau kita berpijak pada pendapat kedua, yakni masing-masing negara berdiri sendiri jika tempat munculnya hilal berlainan, sementara mereka tidak bisa melakukan ru’yat di negera tempat tinggalnya, maka mereka mengikuti negara Islam yang terdekat, karena cara inilah yang paling memungkinkan untuk mereka lakukan.

[Kitab Ad-Da’wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/152-156)]

[Disalin dari bukuAl-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1900), Muslim, kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/1081) dari hadits Abu Hurairah.
[2]. HR Al-Bukhari, kitan Ash-Shiyam (1954), Muslim kitab Ash-Shiyam (1100)
[3]. HR Al-Bukhari, kitab Ash-Shiyam (1900), Muslim kitab Ash-Shiyam (8/1080) dari hadits Ibnu Umar. Muslim (20/108) dari hadits Abu Hurairah.
[4]. HR Abu Daud, kitab Ash-Shaum (2344), At-Turmudzi, kitab Ash-Shaum (6/97) dari hadits Abu Hurairah, At-Turmudzi juga meriwayatkan seperti itu (802) dari hadits Aisyah.

PERBEDAAN MATHLA' (TEMPAT MELIHAT HILAL) DAN PENGARUHNYA PADA HUKUM WAJIB PUASA (1 RAMADHAN) DAN HARI RAYA (1 SYAWWAL)
Oleh Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum wajibnya puasa jika hilal Ramadhan sudah terlihat di suatu negara, apakah dengan demikian semua negara berkewajiban untuk mengerjakan puasa atau tidak, ataukah masing-masing negara harus melakukan ru'yah tersendiri? Demikan pula dengan ru'yatul hilal untuk bulan Syawwal.

Kesimpulan para ulama mengenai masalah ini terbagi menjadi empat pendapat, yaitu:

Pendapat pertama, bahwa ru'yatul hilal yang diperoleh di suatu negara kaum muslimin mengharuskan bagi seluruh negara untuk melaksanakan puasa. Demikian yang menjadi pendapat Jumhur Ulama.

Pendapat kedua, bahwa setiap negara bersandar kepada ru'yatul hilal mereka masing-masing dan tidak harus bersandar pada (ru'yah) penglihatan negara lain. Ini adalah pendapat dari pengikut madzhab Syafi'i dan Hanbali.

Pendapat ketiga, jika negara-negara itu berdekatan, maka ru'yatul hilal oleh suatu negara mengharuskan bagi negara lainnya yang berdekatan dengannya untuk menjalankan puasa. Jika negara itu berjauhan, maka tidak ada kewajiban bagi mereka. Demikian menurut pendapat sebagian pengikut madzhab Syafi'i dan juga pendapat yang terdapat di kalangan para penganut madzhab Hanbali. Pendapat tersebut dinilai rajih (kuat) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hanya saja beliau membatasinya dengan sampainya berita itu (ru'yatul hilal) kepada mereka.

Pendapat keempat, jika ru'yatul hilal telah ditetapkan oleh seorang Imam (pemimpin), maka ummat manusia secara keseluruhan harus mengerjakan puasa, baik negara-negara itu berdekatan maupun berjauhan. Hal tersebut karena negara-negara itu pada hakikatnya adalah seperti satu negara dan hukumnya berlaku untuk keseluruhan.

Dengan perhatian yang mendalam, kita dapat mengetahui bahwa pendapat keempat tidak berbeda dengan pendapat ketiga. Dan inilah yang kami (penulis) nilai rajih (kuat) dalam masalah ini, yaitu jika beberapa negara mempunyai tempat melihat hilal (mathla') yang sama dan sebagian di antaranya berdekatan dengan yang lainnya, atau ru'yah itu telah ditetapkan oleh seorang Imam, maka hal tersebut mengharuskan seluruh negara untuk berpuasa.

Orang-orang yang berpegang pada pendapat pertama berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahiihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Berpuasalah kalian dengan melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kalian dengan melihatnya."[1]

Mereka mengatakan bahwa khithab hadits ini bersifat umum, yang mencakup seluruh kaum muslimin dan tidak hanya tertuju kepada orang yang memiliki hak untuk melakukan ru'yatul hilal saja, di mana puasa Ramadhan tergantung pada kemutlakan ru'yah. Oleh karena itu, jika suatu kaum telah melihatnya, maka perintah berpuasa itu tertuju kepada kaum muslimin secara keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut, jika orang-orang di wilayah timur telah melihat hilal, maka orang-orang di wilayah barat pun harus ikut berpuasa karenanya.

Sedangkan dalil yang digunakan oleh orang-orang yang berpegang pada pendapat kedua adalah hadits Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti al-Harits pernah mengutusnya kepada Mu'awiyah di negeri Syam. Dia berkata, "Kemudian aku mendatangi Syam dan segera melaksanakan keperluan Ummul Fadhl. Lalu bulan Ramadhan pun dimulai, dan aku berada di Syam, maka kami sempat melihat hilal pada malam Jum'at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan, maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku, selanjutnya dia bertanya tentang hilal seraya berkata, 'Kapan kalian melihat hilal?' Aku pun menjawab, 'Kami melihatnya pada malam Jum'at. 'Dia bertanya, 'Engkau melihatnya sendiri?' Aku menjawab, 'Ya, dan orang-orang pun melihatnya. Mereka berpuasa dan Mu'awiyah juga berpuasa.'Ibnu Abbas berkata, 'Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu. 'Sehingga kami masih terus menjalankan puasa hingga menggenapkannya menjadi 30 hari atau kami melihatnya (hilal bulan Syawwal).'Kemudian aku katakan, 'Apakah tidak cukup bagi kita dengan ru’yah Mu’awiyah dan puasa?' Dia menjawab, 'Tidak. beginilah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita." [2]

Ini adalah nash yang secara lahiriah menunjukkan bahwa setiap negara bersandar pada ru'yah mereka masing-masing. Orang-orang yang berpegang pada pendapat ketiga dan keempat berdalil dengan kumpulan hadits yang dijadikan dalil oleh para pemegang pendapat pertama dan pendapat kedua.

Hanya saja, para pemegang pendapat ketiga masih berbeda pendapat mengenai penetapan jauh dan dekatnya jarak antar negara-negara tersebut, yaitu dari beberapa pandangan:

Pertama, sebagian mereka mengatakan, untuk hal itu kembali lagi kepada perbedaan tempat ru'yatul hilal (mathla').

Kedua, bahwa masalah tersebut kembali lagi kepada jarak yang membolehkan qashar shalat, tempat yang jaraknya di bawah itu termasuk dekat. Sedangkan yang di atas itu adalah termasuk jauh.

Ketiga, dan mereka mengatakan bahwa hal itu berbeda dengan perbedaan wilayah, di mana setiap wilayah memiliki ru'yah sendiri-sendiri.

Keempat, sebagian mereka mengatakan, hal itu kembali lagi kepada sampainya berita mengenai hal tersebut. Bagi orang yang dimungkinkan untuk mendapatkan berita mengenai hal itu sebelum siang, maka mereka harus berpuasa.

Barangkali pendapat yang paling dekat (kepada kebenaran) adalah pendapat ketiga, dan hal itu diperkuat oleh hadits Kuraib.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, "... Yang benar menurut kalangan kami bahwa ru'yah itu tidak berlaku umum bagi seluruh manusia, tetapi khusus bagi orang-orang yang berada di tempat yang jaraknya tidak dibolehkan qashar shalat. Ada yang mengatakan, jika tempat melihat ru'yah itu sama, maka mereka harus ikut menjalankan puasa. Ada juga yang mengatakan, jika satu wilayah, maka mereka harus berpuasa, dan jika tidak maka tidak wajib mengerjakan puasa pada hari yang sama.

Sebagian rekan kami mengatakan, ru'yah tersebut berlaku umum di seluruh belahan bumi ini."[3]

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, "...Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hal tersebut, yakni menjadi beberapa pendapat:

Pertama, bagi masing-masing penduduk negeri bersandar pada ru'yah mereka sendiri.

Kedua, lawan dari pendapat pertama, yaitu jika ru'yah itu telah terlihat di suatu negara, maka seluruh penduduk negara yang lain juga harus mengikutinya.

Ketiga, ditetapkan di hadapan Imam (khilafah) yang paling agung, setelah itu semua orang harus berpegang pada ketetapan itu, karena semua negara pada hakikatnya seperti satu kesatuan negara, di mana hukumnya berlaku bagi semua orang.

Keempat, jika beberapa negara memiliki jarak yang berdekatan, maka hukum yang berlaku adalah satu. Dan jika saling berjauhan maka terdapat dua pendapat..." [4]

Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, "... Mereka berbeda pendapat, jika suatu negara dikabarkan mengenai ru'yah yang dilakukan di negara lain, maka perlu dipertimbangkan jarak dekat atau jauhnya, jika dekat maka hukum yang berlaku adalah satu. Dan jika jauh, maka penduduk masing-masing negara tersebut bersandar pada ru'yah mereka masing-masing." [5]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. (Shahiih al-Bukhari (III/24) dan Shahiih Muslim (III/122))
[2]. Diriwayatkan oleh Muslim. (Shahiih Muslim (III/126))
[3]. Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (VII/197).
[4]. Fat-hul Baari (IV/123).
[5]. Al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan karya al-Qurthubi (II/295).

RU'YAH DI MAKKAH DIDAHULUKAN ATAS NEGARA-NEGARA LAINNYA

Oleh
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar

Sebagian ulama berpendapat bahwa ru'yah negeri Makkah lebih didahulukan atas negeri-negeri lainnya, karena beberapa sebab berikut ini:

Pertama, shalat yang merupakan rukun Islam kedua sangat berkaitan dengan Makkah. Orang-orang menghadap ke Ka'bah setiap harinya minimal sebanyak 5 kali sehingga ru'yah harus dikaitkan dengannya.

Kedua, ibadah haji yang merupakan rukun Islam kelima juga sangat berkaitan dengan Makkah. Demikian juga dengan waktu wuquf di Arafah sejak diwajibkannya ibadah haji sampai sekarang ini berkaitan erat dengan ru'yah di negeri Makkah.

Ketiga, para fuqaha rahimahumullaah menyebutkan bahwa negara-negara kutub yang di sana tidak terdapat waktu siang untuk mengerjakan puasa, maka perkiraan waktunya disesuaikan dengan waktu di Makkah al-Mukarramah. Yang demikian itu karena ia merupakan negeri tempat diturunkan tasyri' (syari'at Islam) dan arah kiblat kaum muslimin.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "... Selain itu, dalam hal hilal haji, sampai sekarang kaum muslimin dalam menentukan hilal masih terus berpegang pada ru'yah orang-orang yang menunaikan haji yang datang lebih awal, meskipun mereka berada di jarak yang lebih jauh dari jarak dibolehkannya qashar shalat..." [1]

Al-Muthi'i mengatakan, "...Tidakkah Anda mengetahui bahwa Pembuat syari'at (Allah) banyak bersandar pada perbedaan tempat melihat ru'yah dalam masalah hukum, maka berdasarkan hal di atas, terdapat pula perbedaan waktu shalat dan waktu haji, maka yang dijadikan pijakan dalam hal puasa Ramadhan adalah dengan ru'yah penduduk Makkah. Oleh karena itu yang dijadikan pijakan dalam hal penentuan awal puasa bulan Ramadhan adalah dengan ru'yah penduduk Makkah..." [2]

Keempat, letak Makkah al-Mukarramah adalah di tengah-tengah seluruh negara yang ada di seluruh penjuru dunia. Hal ini telah ditetapkan oleh ahli ilmu dan didukung oleh pakar-pakar geografi pada abad ini. Imam Abul Hasan al-Bakri mengatakan tentang tafsir, "(litundzira)" adalah "tukhawwifa", yaitu memberikan rasa takut atau peringatan kepada Ummul Qura', Makkah, yaitu penduduknya, (dan orang-orang yang berada di sekitar Makkah), yaitu seluruh wilayah di permukaan bumi. Makkah disebut pada ayat ini, karena Makkah berada di tengah-tengah dari seluruh wilayah di dunia ini." [3]

Dr. Husain Kamaluddin Ahmad telah membuat peta baru pada bola dunia (globe) dan menjadikan kota Makkah sebagai titik tumpu untuk menjelaskan arah Kiblat untuk shalat di dalam peta tersebut.

Dr. Husain berkata, "Yang dianggap penting untuk disebutkan dalam hal ini bahwa ketika pertama kali aku meletakkan tahapan-tahapan awal di dalam karya ilmiah ini dan menggambar benua-benua, artinya bahwa seluruh daratan bumi yang tampak pada bola dunia terbagi-bagi di sekitar Makkah al-Mukarramah dengan pembagian yang teratur dan kota Makkah dengan keadaan seperti itu merupakan pusat bagi seluruh daratan bumi."[4]

[Disalin dari buku Meraih Puasa Sempurna, Diterjemahkan dari kitab Ash-Shiyaam, Ahkaam wa Aa-daab, karya Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar, Penerjemah Abdul Ghoffar EM, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
__________
Footnotes
[1]. Majmuu Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (XXV/105).
[2]. Irsyaad Ahlil Millah ilaa Itsbaatil Ahillah. Lihat kitab Tibyaanul Adillah (hal. 19) karya Samahatusy Syaikh Abdullah bin Hamid.
[3]. Tashiilus Sabiil fii Fahmi Ma'aani at-Tanziil, karya Abul Hasan al-Bakri, dengan tahqiq Ustadz Muhammad bin Abdillah bin Sabih ath-Thayyar (I/98). Risalah ilmiah yang diajukan oleh pengkaji untuk memperoleh gelar magister di bidang ilmu-ilmu al-Qur-an di Universitas Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah, Riyadh.
[4]. Majalah al-Buhuuts al-Islaamiyyah (I/vol. 2, hal. 292). Bagi yang berminat untuk memanfaatkan majalah ini, silakan merujuk kitab al-Mursyid li Ittijaahaat al-Qiblah wal Mawaaqiit karya Husain Kamaluddin Ahmad, terbitan Universitas Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyyah, Riyadh.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger