Home » » MARHABAN YA RAMADHAN III

MARHABAN YA RAMADHAN III

Dalam dua puluh tahun terakhir ini kita di Indonesia seringkali harus mengawali dan mengakhiri Ramadhan serta merayakan Idul fitri dan idul adha berdasarkan keputusan kelompok masing-masing.Padahal alangkah baiknya kita yang tinggal di negeri mayoritas beragama Islam ini memulai dan mengakhiri Ramadhan serta berhari raya bersama pemerintah.

PUASA RAMADHAN BERSAMA PEMERINTAH

Taat kepada pemerintah dalam perkara kebaikan. Inilah salah satu prinsip agama yang kini telah banyak dilupakan dan ditinggalkan umat. Yang kini banyak dilakukan justru berupaya mencari keburukan pemerintah sebanyak-banyaknya untuk kemudian disebarkan ke masyarakat. Akibat buruk dari ditinggalkannya prinsip ini sudah banyak kita rasakan. Satu di antaranya adalah munculnya perpecahan di kalangan umat Islam saat menentukan awal Ramadhan atau Hari Raya.

Bulan suci Ramadhan merupakan bulan istimewa bagi umat Islam. Hari-harinya diliputi suasana ibadah; shaum, shalat tarawih, bacaan Al-Qur`an, dan sebagainya. Sebuah fenomena yang tak didapati di bulan-bulan selainnya. Tak ayal, bila kedatangannya menjadi dambaan, dan kepergiannya meninggalkan kesan yang mendalam. Tak kalah istimewanya, ternyata bulan suci Ramadhan juga sebagai salah satu syi’ar kebersamaan umat Islam. Secara bersama-sama mereka melakukan shaum Ramadhan; dengan menahan diri dari rasa lapar, dahaga dan dorongan hawa nafsu sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, serta mengisi malam-malamnya dengan shalat tarawih dan berbagai macam ibadah lainnya. Tak hanya kita umat Islam di Indonesia yang merasakannya. Bahkan seluruh umat Islam di penjuru dunia pun turut merasakan dan memilikinya.

Namun syi’ar kebersamaan itu kian hari semakin pudar, manakala elemen-elemen umat Islam di banyak negeri saling berlomba merumuskan keputusan yang berbeda dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Keputusan itu terkadang atas nama ormas, terkadang atas nama parpol, dan terkadang pula atas nama pribadi. Masing-masing mengklaim, keputusannya yang paling benar. Tak pelak, shaum Ramadhan yang merupakan syi’ar kebersamaan itu (kerap kali) diawali dan diakhiri dengan fenomena perpecahan di tubuh umat Islam sendiri. Tentunya, ini merupakan fenomena menyedihkan bagi siapa pun yang mengidamkan persatuan umat.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mungkin anda akan berkata: “Itu karena adanya perbedaan pendapat di antara elemen umat Islam, apakah awal masuk dan keluarnya bulan Ramadhan itu ditentukan oleh ru`yatul hilal (melihat hilal) ataukah dengan ilmu hisab?”. Bisa juga anda mengatakan: “Karena adanya perbedaan pendapat, apakah di dunia ini hanya berlaku satu mathla’ (tempat keluarnya hilal) ataukah masing-masing negeri mempunyai mathla’ sendiri-sendiri?”

Bila kita mau jujur soal penyebab pudarnya syi’ar kebersamaan itu, lepas adanya realita perbedaan pendapat di atas, utamanya disebabkan makin tenggelamnya salah satu prinsip penting agama Islam dari hati sanubari umat Islam. Prinsip itu adalah memuliakan dan menaati penguasa (pemerintah) umat Islam dalam hal yang ma’ruf (kebaikan).

Mungkin timbul tanda tanya: “Apa hubungannya antara ketaatan terhadap penguasa dengan pelaksanaan shaum Ramadhan?”

Layak dicatat, hubungan antara keduanya sangat erat. Hal itu karena:

1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam, dan suatu kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.
2. Penentuan pelaksanaan shaum Ramadhan merupakan perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan bukan kemaksiatan. Sehingga menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam. Terlebih ketika penentuannya setelah melalui sekian proses, dari pengerahan tim ru‘yatul hilal di sejumlah titik di negerinya hingga digelarnya sidang-sidang istimewa.
3. Realita juga membuktikan, dengan menaati keputusan penguasa dalam hal pelaksanaan shaum Ramadhan dan penentuan hari raya ‘Idul Fithri, benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya, ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, perpecahan di tubuh mereka pun sangat mencolok. Maka dari itu, menaati penguasa dalam hal ini termasuk perkara yang diperintahkan dalam agama Islam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa menaatiku berarti telah menaati Allah. Barangsiapa menentangku berarti telah menentang Allah. Barangsiapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barangsiapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

-Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Mungkin ada yang bertanya, “Adakah untaian fatwa dari para ulama seputar permasalahan ini?” Maka jawabnya ada, sebagaimana berikut ini:

Fatwa Para Ulama Seputar Shaum Ramadhan Bersama Penguasa

-Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117)

-Al-Imam At-Tirmidzi berkata: “Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini1 dengan ucapan (mereka): ‘Sesungguhnya shaum dan berbukanya itu (dilaksanakan) bersama Al-Jama’ah dan mayoritas umat Islam’.” (Tuhfatul Ahwadzi juz 2, hal. 37. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

-Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata: “Yang jelas, makna hadits ini adalah bahwasanya perkara-perkara semacam ini (menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan, berbuka puasa/Iedul Fithri dan Iedul Adha, -pen.) keputusannya bukanlah di tangan individu. Tidak ada hak bagi mereka untuk melakukannya sendiri-sendiri. Bahkan permasalahan semacam ini dikembalikan kepada penguasa dan mayoritas umat Islam. Dalam hal ini, setiap individu pun wajib untuk mengikuti penguasa dan mayoritas umat Islam. Maka dari itu, jika ada seseorang yang melihat hilal (bulan sabit) namun penguasa menolak persaksiannya, sudah sepatutnya untuk tidak dianggap persaksian tersebut dan wajib baginya untuk mengikuti mayoritas umat Islam dalam permasalahan itu.” (Hasyiyah ‘ala Ibni Majah, lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 443)

-Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dan selama belum (terwujud) bersatunya negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ (dalam menentukan pelaksanaan shaum Ramadhan), aku berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan shaum Ramadhan bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing dan tidak bercerai-berai dalam perkara ini, yakni shaum bersama pemerintah dan sebagian lainnya shaum bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya atau pun belakangan. Karena yang demikian itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim sendiri. Sebagaimana yang terjadi di sebagian negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. Wallahul Musta’an.” (Tamamul Minnah hal. 398)

-Beliau juga berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang toleran, yang di antara misinya adalah mempersatukan umat manusia, menyatukan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari segala pendapat pribadi yang memicu perpecahan. Syariat ini tidak mengakui pendapat pribadi –meski menurut yang bersangkutan benar– dalam ibadah yang bersifat kebersamaan seperti; shaum, Ied, dan shalat berjamaah. Tidakkah engkau melihat bahwa sebagian shahabat radhiallahu ‘anhum shalat bermakmum di belakang shahabat lainnya, padahal sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah dari tubuh termasuk pembatal wudhu, sementara yang lainnya tidak berpendapat demikian?! Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna (4 rakaat) dalam safar dan di antara mereka pula ada yang mengqasharnya (2 rakaat). Namun perbedaan itu tidaklah menghalangi mereka untuk melakukan shalat berjamaah di belakang seorang imam (walaupun berbeda pendapat dengannya) dan tetap berkeyakinan bahwa shalat tersebut sah. Hal itu karena adanya pengetahuan mereka bahwa bercerai-berai dalam urusan agama lebih buruk daripada sekedar berbeda pendapat. Bahkan sebagian mereka mendahulukan pendapat penguasa daripada pendapat pribadinya pada momen berkumpulnya manusia seperti di Mina. Hal itu semata-mata untuk menghindari kesudahan buruk (terjadinya perpecahan) bila dia tetap mempertahankan pendapatnya.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu shalat di Mina 4 rakaat (Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya’ -pen). Maka shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku telah shalat (di Mina/hari-hari haji) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan di antara kalian (sebagian shalat 4 rakaat dan sebagian lagi 2 rakaat), dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina, shahabat Abdullah bin Mas’ud justru shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau: “Engkau telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, (mengapa) kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!” Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu.

Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang (hobi) berpecah-belah dalam urusan shalat mereka serta tidak mau bermakmum kepada sebagian imam masjid, khususnya shalat witir di bulan Ramadhan dengan dalih beda madzhab. Demikian pula orang-orang yang bershaum dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin atau pun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falaq, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin. Hendaknya mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Dan semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Dengan harapan agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah jilid 2, hal. 444-445)

-Asy-Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya: “Jika awal masuknya bulan Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam semisal kerajaan Saudi Arabia, namun di negeri kami belum diumumkan, bagaimanakah hukumnya? Apakah kami bershaum bersama kerajaan Saudi Arabia ataukah bershaum dan berbuka bersama penduduk negeri kami, manakala ada pengumuman? Demikian pula halnya dengan masuknya Iedul Fithri, apa yang harus kami lakukan bila terjadi perbedaan antara negeri kami dengan negeri yang lainnya? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas engkau dengan kebaikan.”
Beliau menjawab: “Setiap muslim hendaknya bershaum dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:


“Waktu shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/Iedul Adha di hari kalian berkurban.”
Wabillahit taufiq. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 112)

-Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu ditanya: “Umat Islam di luar dunia Islam sering berselisih dalam menyikapi berbagai macam permasalahan seperti (penentuan) masuk dan keluarnya bulan Ramadhan, serta saling berebut jabatan di bidang dakwah. Fenomena ini terjadi setiap tahun. Hanya saja tingkat ketajamannya berbeda-beda tiap tahunnya. Penyebab utamanya adalah minimnya ilmu agama, mengikuti hawa nafsu dan terkadang fanatisme madzhab atau partai, tanpa mempedulikan rambu-rambu syariat Islam dan bimbingan para ulama yang kesohor akan ilmu dan wara’-nya. Maka, adakah sebuah nasehat yang kiranya bermanfaat dan dapat mencegah (terjadinya) sekian kejelekan? Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufiq dan penjagaan-Nya kepada engkau.”

Beliau berkata: “Umat Islam wajib bersatu dan tidak boleh berpecah-belah dalam beragama. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


“Dia telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepadamu, Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu:’ Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya’.” (Asy-Syura: 13)


“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)


“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah keterangan datang kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih.” (Ali ‘Imran: 105)
Sehingga umat Islam wajib untuk menjadi umat yang satu dan tidak berpecah-belah dalam beragama. Hendaknya waktu shaum dan berbuka mereka satu, dengan mengikuti keputusan lembaga/departemen yang menangani urusan umat Islam dan tidak bercerai-berai (dalam masalah ini), walaupun harus lebih tertinggal dari shaum kerajaan Saudi Arabia atau negeri Islam lainnya.” (Fatawa Fi Ahkamish Shiyam, hal. 51-52)

-Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal-Ifta`: “…Dan tidak mengapa bagi penduduk negeri manapun, jika tidak melihat hilal (bulan tsabit) di tempat tinggalnya pada malam ke-30, untuk mengambil hasil ru`yatul hilal dari tempat lain di negerinya. Jika umat Islam di negeri tersebut berbeda pendapat dalam hal penentuannya, maka yang harus diikuti adalah keputusan penguasa di negeri tersebut bila ia seorang muslim, karena (dengan mengikuti) keputusannya akan sirnalah perbedaan pendapat itu. Dan jika si penguasa bukan seorang muslim, maka hendaknya mengikuti keputusan majelis/departemen pusat yang membidangi urusan umat Islam di negeri tersebut. Hal ini semata-mata untuk menjaga kebersamaan umat Islam dalam menjalankan shaum Ramadhan dan shalat Id di negeri mereka. Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.”

Pemberi fatwa: Asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’. (Lihat Fatawa Ramadhan hal. 117)

Demikianlah beberapa fatwa para ulama terdahulu dan masa kini seputar kewajiban bershaum bersama penguasa dan mayoritas umat Islam di negerinya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan ibrah bagi orang-orang yang mendambakan persatuan umat Islam.
Mungkin masih ada yang mengatakan bahwasanya kewajiban menaati penguasa dalam perkara semacam ini hanya berlaku untuk seorang penguasa yang adil. Adapun bila penguasanya dzalim atau seorang koruptor, tidak wajib taat kepadanya walaupun dalam perkara-perkara kebaikan dan bukan kemaksiatan, termasuk dalam hal penentuan masuk dan keluarnya bulan Ramadhan ini.

Satu hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, jika umat dihadapkan pada polemik atau perbedaan pendapat, prinsip ‘berpegang teguh dan merujuk kepada Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’ haruslah senantiasa dikedepankan. Sebagaimana bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kalam-Nya nan suci:


“Dan berpegang-teguhlah kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 1030

Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan kepada kita agar berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al-Qur`an) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Sebagaimana Dia (juga) memerintahkan kepada kita agar bersatu di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah baik secara keyakinan atau pun amalan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)

Para pembaca yang mulia, bila anda telah siap untuk merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah maka simaklah bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah berikut ini:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kalian.” (An-Nisa`: 59)

-Al-Imam An-Nawawi berkata: “Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan untuk ditaati dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir dan fiqih serta yang lainnya.”(Syarh Shahih Muslim, juz 12, hal. 222)
Adapun baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau seringkali mengingatkan umatnya seputar permasalahan ini. Di antaranya dalam hadits-hadits beliau berikut ini:

1. Shahabat ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu berkata:

“Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang ketaatan (terhadap penguasa) yang bertakwa. Yang kami tanyakan adalah ketaatan terhadap penguasa yang berbuat demikian dan demikian (ia sebutkan kejelekan-kejelekannya).” Maka Rasulullah bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah, dengarlah dan taatilah (penguasa tersebut).” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitab As-Sunnah, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah Fitakhrijis Sunnah, 2/494, no. 1064)

2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Akan ada sepeninggalku nanti para imam/penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)

3. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Para ulama kita pun demikian adanya. Mereka (dengan latar belakang daerah, pengalaman dan generasi yang berbeda-beda) telah menyampaikan arahan dan bimbingannya yang amat berharga seputar permasalahan ini, sebagaimana berikut:

-Shahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata: “Urusan kaum muslimin tidaklah stabil tanpa adanya penguasa, yang baik atau yang jahat sekalipun.” Orang-orang berkata: “Wahai Amirul Mukminin, kalau penguasa yang baik kami bisa menerimanya, lalu bagaimana dengan yang jahat?” Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya (walaupun) penguasa itu jahat namun Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memerankannya sebagai pengawas keamanan di jalan-jalan dan pemimpin dalam jihad…” (Syu’abul Iman, karya Al-Imam Al-Baihaqi juz 13, hal.187, dinukil dari kitab Mu’amalatul Hukkam, karya Asy-Syaikh Abdus Salam bin Barjas hal. 57)

-Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz Al-Hanafi berkata: “Adapun kewajiban menaati mereka (penguasa) tetaplah berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Karena tidak menaati mereka dalam hal yang ma’ruf akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari apa yang ada selama ini. Dan di dalam kesabaran terhadap kejahatan mereka itu terdapat ampunan dari dosa-dosa serta (mendatangkan) pahala yang berlipat.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 368)

-Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah bahwa kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka, -pen.) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang sempurna insya Allah. Yakni kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at dan jihad bersama mereka, dan juga berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat Al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hal. 14)

-Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari berkata: “Telah sepakat para ulama ahli fiqh, ilmu, dan ahli ibadah, dan juga dari kalangan Ubbad (ahli ibadah) dan Zuhhad (orang-orang zuhud) sejak generasi pertama umat ini hingga masa kita ini: bahwa shalat Jum’at, Idul Fitri dan Idul Adha, hari-hari Mina dan Arafah, jihad, haji, serta penyembelihan qurban dilakukan bersama penguasa, yang baik ataupun yang jahat.” (Al-Ibanah, hal. 276-281, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah hal. 16)

-Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Aku telah bertemu dengan 1.000 orang lebih dari ulama Hijaz (Makkah dan Madinah), Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam dan Mesir….” Kemudian beliau berkata: “Aku tidak melihat adanya perbedaan di antara mereka tentang perkara berikut ini –beliau lalu menyebutkan sekian perkara, di antaranya kewajiban menaati penguasa (dalam hal yang ma’ruf)–.” (Syarh Ushulil I’tiqad Al-Lalika`i, 1/194-197)

-Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani berkata: “Di dalam hadits ini (riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah di atas) terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat Islam), karena di dalam perpecahan terdapat kerusakan.” (Fathul Bari, juz 13, hal. 120)

Para pembaca yang mulia, dari bahasan di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya:
1. Shaum Ramadhan merupakan syi’ar kebersamaan umat Islam yang harus dipelihara.
2. Syi’ar kebersamaan tersebut akan pudar manakala umat Islam di masing-masing negeri bercerai-berai dalam mengawali dan mengakhiri shaum Ramadhannya.
3. Ibadah yang bersifat kebersamaan semacam ini keputusannya berada di tangan penguasa umat Islam di masing-masing negeri, bukan di tangan individu.
4. Shaum Ramadhan bersama penguasa dan mayoritas umat Islam merupakan salah satu prinsip agama Islam yang dapat memperkokoh persatuan mereka, baik si penguasa tersebut seorang yang adil ataupun jahat. Karena kebersamaan umat tidaklah mungkin terwujud tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa. Terlebih manakala ketentuannya itu melalui proses ru‘yatul hilal di sejumlah titik negerinya dan sidang-sidang istimewa.
5. Realita membuktikan, bahwa dengan bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam) benar-benar tercipta suasana persatuan dan kebersamaan umat. Sebaliknya ketika umat Islam berseberangan dengan penguasanya, suasana perpecahan di tubuh umat pun demikian mencolok. Yang demikian ini semakin menguatkan akan kewajiban bershaum Ramadhan dan berhari-raya bersama penguasa (dan mayoritas umat Islam).

Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:


“Shaum itu di hari kalian (umat Islam) bershaum, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan (waktu) berkurban/ Iedul Adha di hari kalian berkurban.”

2 Beliau merupakan salah satu ulama yang berpendapat bahwasanya pelaksanaan shaum Ramadhan dan Idul Fithri di dunia ini hanya dengan satu mathla’ saja, sebagaimana yang beliau rinci dalam kitab Tamamul Minnah hal. 398. Walaupun demikian, beliau sangat getol mengajak umat Islam (saat ini) untuk melakukan shaum Ramadhan dan Iedul Fithri bersama penguasanya, sebagaimana perkataan beliau di atas.

Sumber : http://www.asysyariah.com, dinukil dari http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=368 Oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc, Judul: Puasa Ramadhan Bersama Pemerintah

NASEHAT BAGI YANG MENYELISIHI PEMERINTAH,
DALAM BERPUASA RAMADHAN DAN BERHARI RAYA

Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi Hafizahullah Ta’ala


Merupakan hal yang telah dimaklumi pada hari ini, bahwa setiap penguasa memiliki wilayah tersendiri atas satu negeri, dimana wilayah kekuasaannya pada ruang lingkup penduduk negerinya, yang perintah-perintahnya senantiasa dijalankan, dan wajib untuk ditaati selama bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala, sementara diluar penduduk negeri yang lain juga memiliki penguasa tersendiri.

Jika hal ini telah dimaklumi, maka tidak boleh bagi seorang rakyat yang mengikuti hukum penguasa tertentu, untuk keluar dari ketetapan penguasanya –yang Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan kewajiban taat kepadanya selama bukan dalam perkara kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul,dan kepadaulil amri diantara kalian.” (QS.An-Nisaa:59)

Nasehat saya kepada saudara-saudaraku yang menyelisihi puasanya, idul fitrinya, dan hari kurbannya, dengan penguasa negeri mereka dinegeri islam manapun mereka hidup, agar hendaknya mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dan jangan menyelisihi mereka, dan jangan pula mereka berselisih kepada imam-nya, jika Ia telah mengumumkan masuknya bulan ramadhan atau idul fitri, bagaimanapun kondisi penguasanya dalam menyelisihi agama Allah Ta’ala, selama tidak terdapat pada mereka kekufuran yang jelas seperti terangnya matahari disiang bolong, yang mengeluarkan dia dari islam.

Sesungguhnya orang yang menyelisihi imamnya ini, dan menyelisihi jama’ah kaum muslimin di negerinya, telah bersifat dengan sifat khawarij, yaitu keluar dari ketaatan kepada penguasa terhadap apa yang diperintahkannya –yang bukan dalam bermaksiat kepada Allah- , dan sungguh Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita untuk ta’at kepada waliyyul amri, Allah Azza wajalla berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS.An-Nisaa:59)

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepadanya,Beliau bersabda:

“Engkau mendengar dan taat kepada penguasa,meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu,maka dengar dan taatlah”
(HR.Muslim (1847) dan selainnya)

Diantara sifat kaum Khawarij yang paling menonjol adalah menyelisihi penguasa,dan mengobarkan fitnah terhadapnya dengan cara membakar semangat masyarakat,sehingga mereka merasa sempit terhadap penguasanya yang menyebabkan munculnya sikap keengganan untuk mendengar dan taat terhadap apa yang dia perintah dan yang dia larang –bukan dalam bermaksiat kepada Allah Ta’ala- ,sehingga menyebabkan kekacauan memenuhi penjuru negeri dengan sebab ulah kaum Khawarij ini,yang awal bibit munculnya adalah seseorang yang bernama “Dzul Khuwaishirah Zuhair bin Harqus At-Tamimi” yang berkata kepada pemimpin seluruh manusia (Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam): “berbuat adil engkau wahai Muhammad”.Dan yang lainnya dari ucapan-ucapan kotor yang dia lontarkan terhadap Nabi pembawa rahmat dan hidayah ini,sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa riwayat.

Kemudian yang kedua dari mereka adalah Bin Saba’ seorang yahudi yang datang dari negeri Yaman dan menampakkan islam secara zahir dan menyembunyikan kemunafikannya. Lalu dia mengobarkan fitnah pada zaman Dzun Nurain Utsman bin Affan radhiallahu anhu,sehingga menyebabkan segelintir orang-orang sempalan memberontak kepada beliau sebagai khalifah rasyid lalu membunuhnya dalam keadaan beliau di rumahnya membaca firman Rabb Yang Maha Tinggi dan Mulia.

Lalu mereka memberontak lagi pada zaman khalifah rasyid Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ,lalu Beliau memerangi mereka di Nahrawan.Lalu merekapun membuat makar terhadap Ali radhiallahu anhu yang menyebabkan Beliau dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi ,disaat Beliau sedang keluar untuk mengerjakan shalat fajar.

Aku peringatkan kalian dari sikap mendahului penguasa dalam satu perkara,sehingga kalian keluar dari bimbingan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.Telah dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam At-tarikh Al-kabir (4/271/2773) dari Syumaim bin Abdirrahman berkata: aku berada disisi Al-Hajjaj pada hari yang diragukan (yaitu hari yang tidak diketahui apakah telah memasuki ramadhan atau masih dibulan Sya’ban,dan itu terjadi jika dimalam setelah berlalunya 29 sya’ban dan terjadi mendung yang menghalangi untuk melihat hilal), maka Dia mengutus kepada Abdullah bin Ukaim,lalu bertanya: apakah engkau pernah menyaksikan bulan ini bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam? Beliau menjawab: tidak.Akan tetapi (Aku pernah) bersama Umar bin Khattab radhiallahu anhu.Lalu Ia bertanya: Lalu apa yang dia katakan? Beliau menjawab: Dia (Umar) berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya, dan berbukalah (memasuki syawal) kalian karena melihatnya.Ingatlah,jangan kalian mendahului Imam”.Maka berkata Al-Hajjaj: ada satu kalimat yang saya tidak memahaminya.Berkata para shahabat kami,Beliau berkata: demi Allah ini adalah perkara sunnah.

Berkata Abdullah: Demi Allah,sesungguhnya Beliau (Umar bin Khattab) adalah imam bagi orang-orang yang bertaqwa. (selesai penukilan)

Abdullah yang dimaksud adalah Imam Bukhari.

Inilah Umar bin Khattab radhiallahu anhu melarang seseorang mendahului penguasanya dalam berpuasa dan berhari raya.Apakah kaum muslimin memahami hal ini,lalu mengikuti sunnah agar mereka beruntung dan selamat.Dan Allah senantiasa memberi hidayah kepada jalan yang lurus.

Berkata Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah Ta’ala dalam majmu’ al-fatawa (25/118):

“persyaratan bulan disebut hilal dan syahr,pada saat telah masyhur dan menyebar dikalangan manusia. Meskipun yang melihatnya 10 orang,namun belum masyhur dikalangan penduduk negeri disebabkan karena persaksian mereka yang ditolak,atau karena mereka tidak mempersaksikan apa yang mereka lihat,maka hukumnya sama seperti kaum muslimin lainnya.Sebagaimana mereka tidak melakukan wukuf ,berkurban dan shalat ied kecuali bersama kaum muslimin,maka demikian pula mereka tidak berpuasa melainkan bersama kaum muslimin.Ini makna dari Sabda Beliau Shallallahu alaihi wasallam:


“puasa kalian dihari mayoritas kalian berpuasa,idul fitri kalian dihari mayoritas kalian beridul fitri,dan idul adha kalian dihari mayoritas kalian beridul adha.”

Berkata Imam Ahmad dalam riwayatnya:

“seseorang berpuasa bersama pemimpin dan jama’ah kaum muslimin baik disaat cuaca cerah atau mendung.Berkata Imam Ahmad: tangan Allah bersama jama’ah.”

Beliau (Syaikhul Islam) juga berkata (25/204-205):

“orang yang sendirian melihat hilal syawal tidak boleh berbuka puasa berdasarkan kesepakatan ulama,kecuali jika dia mempunyai halangan yang membolehkan dia untuk membatalkan puasa,seperti sakit dan safar.Apakah dia boleh tidak puasa dengan cara rahasia (tidak terang-terangan)? Ada dua pendapat dari para ulama,yang paling shahih bahwa dia jangan berbuka secara rahasia.Dan ini adalah mazhab Malik,dan Ahmad menurut yang paling masyhur dari mazhab keduanya.

Dan telah diriwayatkan bahwa ada dua orang dizaman Umar bin Khattab radhiallahu anhu melihat hilal yang menunjukkan masuknya syawal,maka salah satu dari keduanya berbuka,sedangkan yang lain tidak.Tatkala berita ini sampai kepada Umar radhiallahu anhu,Beliau berkata kepada yang tidak berpuasa:

“Kalau bukan karena temanmu,aku pasti telah menyakitimu dengan pukulan.”

Yang menjadi penyebab hal tersebut bahwa idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri dan itulah hari raya.Sedangkan orang yang sendirian melihat hilal bukanlah hari raya yang Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang berpuasa padanya.Sebab Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang dari berpuasa pada hari raya idul fitri dan idul adha.Dan Beliau mengatakan:

“Adapun salah satunya, adalah hari kalian makan setelah kalian berpuasa,adapun yang satunya,adalah kalian makan dari hasil sembelihan kalian.

Maka yang Beliau larang dari berpuasa adalah hari dimana kaum muslimin sudah tidak berpuasa,dan disaat kaum muslimin menyembelih kurban.” (selesai penukilan)

Ibnul Qoyyim rahimahullah Ta’ala berkata dalam “tahdzib as-sunan” (3/214) tatkala mengomentari hadits “dan tidak puasanya kalian disaat mayoritas kalian tidak berpuasa…”, Beliau berkata:

“dikatakan: jika ada satu orang yang melihat hilal,sementara hakim tidak menerima persaksiannya,maka ini bukanlah hari dia berpuasa,sebagaimana keumuman manusia lainnya tidak berpuasa.” (selesai penukilan)

Berkata Al-Albani rahimahullah dalam Ash-shahihah (1/392-394):

“Berkata Abul Hasan As-Sindi dalam catatan kaki Beliau terhadap Sunan Ibnu Majah –setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Tirmizi-: wajib bagi setiap orang untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). yang nampak maknanya adalah: perkara-perkara ini bukanlah urusan masing-masing individu,dan bukan pula seseorang bersendiri dengan menyelisihi imam dan jama’ah (kaum muslimin),Maka berdasarkan hal ini,jika seseorang melihat hilal sendirian,lalu penguasa menolak persaksiannya,maka sepantasnya untuk tidak ditetapkan satupun padanya dalam perkara-perkara ini,dan wajib baginya mengikuti jama’ah (kaum muslimin) dalam hal tersebut.”

Aku (Syaikh Al-Albani) berkata: inilah makna yang nampak dari hadits itu.Dan juga dikuatkan dengan hujjah Aisyah membantah Masruq ketika Ia enggan berpuasa pada hari Arafah (9 zulhijjah,pen) karena khawatir sudah memasuki hari raya kurban (10 zulhijjah).

Maka Beliau (Aisyah) menjelaskan kepadanya bahwa pendapatnya tersebut tidak teranggap,dan wajib baginya mengikuti jama’ah.Dan Beliau berkata:

“Hari kurban adalah disaat mayoritas manusia berkurban,dan idul fitri adalah disaat mayoritas manusia beridul fitri.”

Saya (Al-Albani) berkata: inilah yang sejalan dengan syari’at yang penuh kelapangan ini, yang diantara tujuannya adalah menyatukan manusia dan menyatukan barisan mereka,serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang memecah persatuan mereka dari berbagai pendapat pribadi,maka syari’at ini tidak menganggap pribadi seseorang –meskipun dalam pandangannya bahwa dia benar- dalam menetapkan ibadah yang bersifat jama’ah,seperti berpuasa, merayakan hari raya, dan shalat jama’ah. Tidakkah kalian perhatikan bahwa para sahabat radhiallahu anhum sebagian mereka shalat dibelakang sebagian lainnya,padahal diantara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita dan menyentuh anggota tubuhnya,dan keluarnya darah termasuk perkara yang membatalkan wudhu’,dan diantara mereka ada yang tidak berpendapat demikian.Diantara mereka ada yang berpendapat menyempurnakan shalat dikala safar,dan diantara mereka ada yang berpendapat mengqashar,namun perselisihan mereka dalam hal ini dan yang lainnya tidak mencegah mereka untuk tetap bersatu dalam shalat dibelakang satu imam,dan menganggap sah amalan tersebut.Sebab mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek dibanding perselisihan dalam sebagian pendapat.Perkara ini sampai kepada tingkatan tidak menganggap pendapat seseorang yang menyelisihi pendapat seorang penguasa tertinggi dalam sebuah masyarakat besar seperti Mina,bahkan sampai meninggalkan pendapatnya sendiri dalam masyarakat besar tersebut karena menghindari keburukan yang akan muncul tatkala Ia beramal dengan pendapatnya.

Hendaklah mereka yang selalu saja membuat perpecahan memperhatikan hadits dan atsar yang telah disebutkan ini, dan juga mereka yang mengaku berilmu,dari mereka yang berpuasa dan berbuka sendirian apakah mendahului,atau mengakhirkan dari jama’ah kaum muslimin,karena bersandar kepada pendapat dan ilmunya,tanpa memperhatikan sikap keluar dari ketaatan terhadap penguasa mereka.Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang telah kami sebutkan berupa ilmu,semoga mereka mendapatkan penyembuh jiwa-jiwa mereka dari kejahilan dan tipu daya,sehingga mereka berada pada satu barisan yang sama dengan saudara-saudara mereka kaum muslimin,karena sesungguhnya tangan Allah bersama jama’ah.
(selesai dari Ash-Shahihah)

Maka berdasarkan hal ini,tidak sepantasnya bagi masing-masing individu, dan kelompok-kelompok tertentu untuk berpuasa atau keluar dari bulan ramadhan dengan pengumuman melihat hilal dari negara lain,selama penguasa negerinya belum mengumumkan masuknya bulan.Semoga Allah senantiasa memberi taufiq.

Asy-Syaikh Jamal bin Furaihan Al-Haritsi dalam kitabnya “kasyf al-libaas ‘an ahkaam ru’yah al-hilal linnaas”.
Diterjemahkan oleh : Abu Karimah Askari bin Jamal
Tanggal 27 Sya’ban 1430 H.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger