Home » » SABAR DAN RIDHO

SABAR DAN RIDHO

SABAR

SABAR artinya menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah; menahan lidah dari keluh kesah; menahan anggota tubuh dari kekacauan.

SABAR ini ada tiga macam: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah.
Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Kesabaran Yusuf menghadapi rayuan istri Tuannya lebih sempurna daripada kesabaran beliau saat dimasukkan ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, saat dijual dan saat berpisah dengan bapaknya. Sebab hal-hal ini terjadi di luar kehendaknya, sehingga tidak ada pilihan lain bagi hamba kecuali sabar menerima musibah. Tapi kesabaran yang memang beliau kehendaki dan diupayakannya saat menghadapi rayuan istri Tuannya, kesabaran memerangi nafsu, jauh lebih sempurna dan utama, apalagi di sana banyak faktor yang sebenarnya menunjang untuk memenuhi rayuan itu, seperti keadaan beliau yang masih bujang dan muda, karena pemuda lebih mudah tergoda oleh rayuan. Keadaan beliau yang terasing, jauh dari kampung halaman, dan orang yang jauh dari kampung halamannya tidak terlalu merasa malu. Keadaan beliau sebagai budak, dan seorang budak tidak terlalu peduli seperti halnya orang merdeka. Keadaan istri tuannya yang cantik, terpandang dan tehormat, tanpa ada seorang pun yang melihat tindakannya dan dia pula yang menghendaki untuk bercumbu dengan beliau. Apalagi ada ancaman, seandainya tidak patuh, beliau akan dijebloskan ke dalam penjara dan dihinakan. Sekalipun begitu beliau tetap sabar dan lebih mementingkan apa yang ada di sisi Allah."

Ibnu Taimiyah juga pernah berkata, "Sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allah daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan tidak taat lebih dibenci Allah daripada keburukan adanya kedurhakaan."

SABAR KARENA PERTOLONGAN ALLOH
Artinya mengetahui bahwa kesabaran itu berkat pertolongan Allah dan Allahlah yang memberikan kesabaran, sebagaimana firman-Nya,

"Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaramnu itu melainkan
dengan pertolongan Allah." (An-Nahl: 127).

Jika Allah tidak membuat beliau sabar, maka beliau tidak akan sabar.

SABAR KARENA ALLOH
Artinya pendorong sabar adalah cinta kepada Allah, mengharapkan Wajah-Nya dan taqarrub kepada-Nya, bukan untuk menampakkan kekuatan jiwa dan ketabahan kepada manusia. atau tujuan-tujuan lain.

SABAR BESERTA ALLOH
Artinya perjalanan hamba bersama kehendak Allah, yang berkaitan dengan hukum-hukum agama, sabar dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan menegakkannya.

Ibnu Taimiyah berkata, "Kesa-baran yang baik ialah yang tidak disertai pengaduan, pengampunan yang baik ialah yang tidak disertai celaan, dan penghindaran yang baik ialah yang tidak disertai ucapan yang menyakitkan."

SABAR merupakan tempat persinggahan yang paling kuat di jalan cinta dan merupakan keharusan bagi orang-orang yang mencintai serta merupakan hasrat yang paling dibutuhkan dalam setiap etape perjalanan. Kebutuhan orang yang mencintai terhadap kesabaran ini sangat urgen. Maka hanya para wali Allah dan para kekasih-Nya yang disifati Allah sebagai orang-orang yang sabar.

DERAJAT KESABARAN
(menurut penagarang kitab Manazilus-Sa'irin)

1. Sabar dalam menghindari kedurhakaan, dengan memperhatikan peringatan, tetap teguh dalam iman dan mewaspadai hal yang haram. Yang lebih baik lagi adalah sabar menghindari kedurhakaan karena malu.

Ada dua sebab dan dua faidah sabar dalam menghindari kedurhakaan.

Dua sebabnya adalah:
- Takut terjadinya peringatan, sebagai akibat dari kedurhakaan itu.
- Malu terhadap Allah, karena nikmat-Nya dibalas dengan kedurhakaan.

Adapun dua faidahnya adalah:

- Tetap teguh dalam iman.
- Mewaspadai hal-hal yang haram.

Memperhatikan peringatan dan takut kepadanya membangkitkan kekuatan iman terhadap pengabaran dan pembenaran kandungannya.

Sedangkan malu terhadap Allah membangkitkan kekuatan ma'rifat dan mempersaksikan makna-makna asma dan sifat-Nya.
Yang lebih baik lagi jika pendorongnya adalah cinta, sehingga seorang hamba tidak mendurhakai-Nya karena cinta kepada-Nya.

Sedangkan keteguhan dalam iman mendorong untuk meninggalkan kedurhakaan. Sebab kedurhakaan pasti akan mengurangi iman atau bahkan menghilangkannya sama sekali, memadamkan cahayanya, melemahkan kekuatannya dan mengurangi buahnya.

Sedangkan mewaspadai hal-hal yang haram merupakan kesabaran meninggalkan hal-hal yang mubah, sebagai kehati-hatian agar tidak menjurus kepada yang haram.

2. Sabar dalam ketaatan, dengan menjaga ketaatan itu secara terus-menerus, memeliharanya dengan keikhlasan dan membaguskannya dengan ilmu.

ini menunjukkan bahwa ketaatan yang dilakukan dapat menjadi pendorong untuk meninggalkan kedurhakaan, sehingga kesabaran dalam melaksanakan ketaatan ini setingkat lebih tinggi daripada kesabaran meninggalkan kedurhakaan. Yang benar, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, meninggalkan kedurhakaan hanya sekedar menyempurnakan ketaatan. Syaikh menyebutkan bahwa sabar dalam derajat ini dilakukan dengan tiga cara:

Terus-menerus taat, ikhlas dalam ketaatan dan melaksanakannya menurut ilmu atau membaguskannya dengan ilmu. Ketaatan menjadi mundur jika kehilangan salah satu dari tiga perkara ini. Jika seorang hamba tidak menjaga ketaatan secara terus-menerus, maka ia akan menggugurkan ketaatan itu. Jika dia menjaganya terus-menerus, maka di hadapannya ada dua perintang: Tidak ikhlas, seperti dimak-sudkan karena selain Allah, dan pelaksanaannya yang tidak berdasar-kan ilmu, seperti tidak mengikuti As-sunnah.

3. Sabar dalam musibah, dengan memperhatikan pahala yang baik, menunggu rahmat jalan keluar, meremehkan musibah sambil menghitung uluran karunia dan mengingat nikmat-nikmat yang telah 1ampau.

Inilah tiga pakaian kesabaran yang dapat dikenakan seorang hamba ketika mendapat musibah.

Pertama, memperhatikan pahala yang baik. Seberapa jauh perhatian, pengetahuan dan keyakinannya terhadap pahala ini, maka sejauh itu pula dia akan merasa ringan dalam memikul beban musibah, karena dia merasa akan mendapatkan pengganti. Hal ini seperti orang yang sedang membawa beban yang amat berat, dan dia melihat hasil dan keuntungan yang baik pada akhirnya. Jika tidak demikian, maka banyak kemaslahatan dunia dan akhirat yang akan terbuang sia-sia.

Seorang hamba lebih suka mengemban beban dunia karena ingin mendapatkan hasil di akhirat. Sementara jiwa lebih menyukai kesenangan yang ada di dunia. Tapi akal yang sehat lebih condong ke hasil di kemudian hari.

Kedua, menunggu rahmat jalan keluar atau kenikmatannya.
Menunggu-nunggu kenikmatan jalan keluar dari musibah dapat meringankan beban musibah dan kesulitan yang sedang dihadapi, apalagi jika disertai kekuatan harapan dan usaha mencari jalan keluar.

Ketiga, meremehkan musibah, yang dapat dilakukan dengan dua cara:

menghitung karunia Allah yang telah dilimpahkan kepadanya, dan mengingat-ingat nikmat Allah yang pernah diterimanya. Yang pertama berkaitan dengan keadaan dan yang kedua berkaitan dengan masa lampau.

SABAR karena Allah lebih tinggi daripada sabar berkat pertolongan Allah. Karena sabar karena Allah berkaitan dengan Uluhiyah-Nya, sedangkan sabar berkat pertolongan Allah berkaitan dengan Rububiyah-Nya. Apa-apa yang ber-kait dengan Uluhiyah-Nya lebih sempurna daripada apa-apa yang berkait dengan Rububiyah-Nya. Di samping itu, sabar karena Allah merupakan cermin ibadah, dan sabar berkat pertolongan Allah merupakan permohonan uluran pertolongan dari-Nya. Ibadah merupakan tujuan dan permohonan pertolongan merupakan sarana. Sabar berkat pertolongan Allah menjadi hak persekutuan bagi orang Mukmin dan kafir, orang baik dan orang buruk. Setiap orang yang mempersak sikan hakikat alam tentu mendapatkan kesabaran dari Allah. Sedangkan sabar karena Allah merupakan tempat persinggahan para nabi, rasul, shiddiqin dan orang-orang yang mengamalkan iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.

SABAR menurut hukum-hukum Allah artinya sabar menerima takdir-Nya. Sabar ini ditempatkan pada tingkatan ketiga dan yang paling tinggi. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sabar dalam ketaatan dan sabar menjauhi kedurhakaan, lebih sempurna daripada kesabaran menerima takdir-Nya, seperti kesabaran Yusuf Alaihis-Salam. Kesabaran beliau dengan tetap menjaga ketaatan dan menjauhi kedurhakaan merupakan kesabaran atas pilihan sendiri, karena cinta kepada Allah. Sedangkan kesabaran menerima hukum-hukum Allah merupakan kesabaran yang pasti dan tidak bisa dihindari. Tentu saja ada per-bedaan di antara keduanya.


RIDHO

Ada tiga pendapat mengenai Ridha,pertama Ridha sebagai satu kedudukan yang mulia, yaitu puncak dari tawak-kal.Berarti hamba bisa mencapai ridha ini dengan usahanya.Kedua Ridha sebagai suatu anugerah yang tidak bisa diupayakan hamba . Yang ketiga adalah pertengahan dari kedua pendapat tersebut dua pendapat ini dapat disatukan, bahwa permulaan ridha bisa diusahakan hamba, yang berarti termasuk kedudukan, sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba. Permulaannya merupakan kedudukan dan kesudahannya merupakan keadaan.

Mereka yang menganggap ridha termasuk kedudukan atau amal yang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya dan menganjurkannya. Ini berarti mereka mampu mengupayakannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda

"Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul."

Beliau juga bersabda

"Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, 'Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul', maka diampuni dosanya."

Dua hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini, maka dia adalah orang yang shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi termasuk sulit dan berat jika datang cobaan,apalagi jika ada sesuatu yang bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha itu hanya sekedar di lisan atau memang merupakan keadaan dirinya.

Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan. Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak mencari petunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya, tidak ridha kepada selain hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin. Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat guru dan golongannya.

Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa dipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkan-nya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah menganjurkannya kepada mereka, memuji pelaku-nya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan kepada ridha.

Yahya bin Mu'adz pernah ditanya, "Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?" Maka dia menjawab, "Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, "Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya."

Ridha tidak disyaratkan untuk tidak merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang yang tidak bisa ridha karena hal-hal yang tidak disukai, seraya berkata, "Ini tidak mungkin menurut tabiat." Itu hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya
saling bertentangan? Yang benar, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian. Adanya penderitaan dan kebencian tidak menajikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya orang puasa pada hari yang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan dahaga atau
ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka dan lain-lainnya.Jalan ridha merupakan jalan yang paling singkat dan paling dekat ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya tidak seberat ke-sulitan jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan kesudah-an, selain dari hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menerima apa pun yang dating dari Allah. Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba, apalagi dia mengetahui kelemahan dirinya.

Allah berfirman,

"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hambahamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (Al-Fajr: 27-30)

Orang yang ridha harus menyelaraskan dan menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya. Nikmat atau cobaan harus diterima dengan ridha, bahwa itu merupakan pilihan terbaik dari Allah bagi dirinya. Yang dimaksudkan menyelaraskan berbagai keadaan di sini bukan tunduk dan pasrah begitu saja. Karena yang demikian ini bertentangan dengan tabiat manusia dan bahkan bertentangan dengan tabiat hewan.Juga bukan berarti menyeimbangkan ketaatan dan kedurhakaan, karena yang demikian ini menajikan ubudiyah dari segala sisi. Tapi maksudnya adalah menyeimbangkan antara nikmat dan cobaan dalam keridhaan, yang bisa dilihat dari beberapa sisi, yaitu:

1. Hamba adalah pihak yang memasrahkan. Pihak yang memasrahkan harus ridha terhadap pilihan pihak yang dipasrahi, apalagi jika dia tahu kesempurnaan hikmah, rahmat, kasih sayang, kelembutan dan kebagusan pilihannya.
2. Hamba bisa memastikan bahwa tidak ada perubahan terhadap kali-mat Allah dan tidak ada bantahan terhadap hikmah-Nya, dan apa pun yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi dan apa pun yang tidak dike-hendaki- Nya tidak akan terjadi. Dia juga tahu bahwa masing-masing di antara nikmat atau cobaan sudah ditetapkan dalam qadha' Allah dan qadar- Nya semenjak semula.
3. Dia adalah hamba semata. Yang disebut hamba itu tidak boleh marah terhadap keputusan Tuannya. Semua harus diterima dengan ridha.
4. Hamba adalah pihak yang mencintai. Orang yang mencintai secara tulus dan benar adalah yang ridha terhadap apa pun yang dilakukan kekasihnya.
5. Hamba tidak tahu apa kesudahan dari segala urusan. Yang lebih tahu tentang kemaslahatan dan yang bermanfaat baginya adalah Tuannya.
6. Hamba adalah bodoh dan zhalim, sedangkan Allah menghendaki kemaslahatan baginya dan menyediakan sebab-sebabnya. Di antara sebab-sebab yang paling nyata ialah apa yang tidak disukai hamba. Kemaslahatannya karena hal-hal yang tidak disukainya justru lebih nyata daripada kemaslahatannya karena hal-hal disukai.

Firman Allah,

"Diwajibkan atas kalian berperang padahal berperang itu adalah sesuatu yang kalian bend. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian, dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedang kalian tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216).

7. Dia adalah orang Muslim, dan orang Muslim adalah orang yang menyerahkan dirinya kepada Allah, tidak menentang ketetapan hukum-Nya dan tidak marah karenanya.
8. Dia adalah orang yang mengetahui Rabb-nya, berbaik sangka kepada-Nya dan tidak bersikap curiga terhadap qadha' dan qadar-Nya. Persangkaannya yang baik terhadap Allah mengharuskannya untuk menyeimbangkan berbagai keadaan dirinya dan ridha terhadap pilihan-Nya.
9. Bagian yang diterimanya tergantung dari ridha dan amarahnya. Jika dia ridha terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan mendapatkan ridha-Nya, dan jika dia marah terhadap pilihan Allah, maka dia juga akan menerima murka-Nya.
10.Dia tahu bahwa sekiranya dia ridha, maka ridhanya itu bisa berubah menjadi nikmat dan karunia, beban yang diembannya juga semakin ringan dan ada kegembiraan yang dirasakannya. Namun jika dia marah, maka beban yang diembannya akan terasa semakin berat dan tidak menambah kecuali kesulitan. Inti masalah ini, bahwa imannya kepada qadha' Allah merupakan kebaikan baginya, seperti yang di-sabdakan

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,

"Demi yang diriku ada di Tangan-Nya, tidaklah Allah menetapkan qadha' bagi orang Mukmin melainkan itu merupakan kebaikan baginya.Jika dia ditimpa kesenangan, lalu dia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan, lalu dia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya, dan yangdemikian itu hanya bagi orang Mukmin saja."

11. Dia tahu bahwa kesempurnaan ubudiyahnya justru tampak ketika ada ketetapan hukum yang dibencinya. Sekiranya yang terjadi pada dirinya hal-hal yang disukainya, tentu dia akan jauh dari ubdudiyah kepada Allah. Ubudiyahnya tidak akan menjadi sempurna, sekalipun disertai kesabaran, tawakkal, ridha, tunduk, pasrah dan lain-lainnya, kecuali jika ada qadar yang dibencinya. Yang menjadi pertimbangan bukan terletak pada keridhaan terhadap qadha' yang sesuai dengan tabiat, tetapi terletak pada qadha' yang menyakitkan dan dihindari tabiat.
12.Dia tahu bahwa ridhanya terhadap Allah dalam berbagai keadaan akan membuahkan keridhaan Allah terhadapnya. Jika dia ridha terhadap rezki yang sedikit, maka Allah ridha terhadap amalnya yang sedikit. Jika dia ridha terhadap Allah dalam semua keadaan dan menyeimbangkannya, maka dia akan mendapatkan Allah lebih cepat ridha kepadanya.
13. Dia tahu bahwa kegembiraan dan kenikmatannya yang paling besar ialah ridha terhadap Allah, karena ridha merupakan pintu Allah yang paling besar dan tempat peristirahatan orang-orang yang memiliki ma'rifat serta surga dunia.
14.Amarah merupakan pintu keresahan, kekhawatiran, kesedihan, kehancuran hati, persangkaan yang buruk terhadap Allah. Ridha membebaskannya dari semua itu dan membukakan pintu surga dunia sebelum surga akhirat.
15. Ridha mendatangkan thuma'ninah, hati yang dingin, kedamaian dan keteguhannya. Sedangkan amarah mendatangkan kegundahan, kegelisahan dan keguncangan hati.
16. Ridha menurunkan ketenangan, dan tidak ada yang lebih bermanfaat selain dari ketenangan ini. Selagi ketenangan turun ke dalam hati, maka ia menjadi teguh dan keadaannya menjadi baik. Sedangkan amarah menjauhkan hati itu dari ketenangan.
17. Ridha membukakan pintu keselamatan, sehingga hatinya menjadi selamat dan bersih dari dusta, dengki dan khianat. Tidak ada yang selamat dari adzab Allah kecuali yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. Tidak mungkin hati dikatakan selamat jika di dalam-nya juga ada amarah dan tidak ridha. Selagi hamba lebih ridha, maka hatinya lebih selamat. Dengki, dusta dan khianat merupakan pasang-an amarah.
Keselamatan hati, kelapangan dan kebajikannya merupakan pasangan ridha.
18. Amarah akan mendatangkan ketidakteguhan hamba di hadapan Allah.Dia tidak ridha kecuali terhadap sesuatu yang sesuai dengan tuntutan Tabiat tabiat dan nafsunya. Padahal di sana ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya dan ada pula yang tidak sesuai. Jika ada ketetapan yang tidak sesuai, maka dia menjadi marah, sehingga dia tidak teguh dalam ubudiyah, dan jika ada ketetapan yang sesuai dengan tabiatnya, maka dia menjadi teguh dalam ubudiyah. Tidak ada yang menghilangkan ketimpangan ini dari hamba selain dari ridha.
19.Amarah membuka pintu keragu-raguan terhadap Allah, qadha' dan qadar-Nya, hikmah dan ilmu-Nya. Jarang sekali orang yang marah terlepas dari keragu-raguan yang menyusup ke dalam hatinya, sekali-pun
mungkin dia tidak menyadarinya. Amarah dan keragu-raguan merupakan pasangan. Inilah makna yang terkandung dalam hadits riwayat At-Tirmidzy dan lain-lainnya, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

"Sekiranya engkau sanggup berbuat dengan ridha disertai keyakinan,maka lakukanlah. Jika engkau tidak sanggup, maka sabar dalam menghadapi sesuatu yang dibenci jiwa terdapat kebaikan yang banyak."
20. Ridha kepada apa yang ditakdirkan termasuk kebahagian anak Adam, dan marah kepada takdir merupakan penderitaannya, sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Musnad dan riwayat At-Tirmidzy, dari hadits Sa'd bin Abi Waqqash Radhiyallahu Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

"Di antara kebahagiaan anak Adam ialah memohon pilihan yang ter-baik kepada Allah Azza wajalla, dan di antara kebahagiaan anak Adam ialah ridhanya kepada apa yang ditetapkan Allah. Di antara penderi-taan anak Adam ialah amarahnya kepada apa yang ditetapkan Allah, dan di antara penderitaan anak Adam ialah tidak mau memohon pilihan yang terbaik kepada Allah.

21. Ridha membuatnya tidak putus asa karena sesuatu yang tidak bisa didapatkannya dan tidak gembira karena apa yang didapatkannya. Ini termasuk tanda kebaikan iman.
22. Siapa yang hatinya dipenuhi keridhaan kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kekayaan, rasa aman dan kepuasan, mengosongkan hatinya agar hanya mencintai-Nya dan tawakkal kepada-Nya.
23. Ridha membuahkan rasa syukur, yang termasuk kedudukan iman yang paling tinggi, bahkan itu merupakan hakikat iman, sedangkan amarah akan membuahkan kebalikannya, yaitu mengkufuri nikmat, dan bisabisa mengkufuri Pemberi nikmat. Jika hamba ridha kepada Rabb-nya dalam setiap keadaan, niscaya akan membuatnya syukur kepada-Nya, sehingga dia termasuk orang-orang yang ridha lagi syukur. Jika tidak ridha, maka dia termasuk orang-orang yang marah dan ini merupakan jalan orang-orang kafir.
24.Ridha menjauhkan hasrat dan kerakusan terhadap dunia, yang merupakan pangkal segala kesalahan dan dasar semua bencana. Ridha kepada Allah dalam setiap keadaan bisa menghapus materi bencana ini.

sumber :MADARIJUS
SALIKIN (PENDAKIAN MENUJU ALLAH) Penjabaran Kongkret"Iyyaka Na 'budu wa Iyyaka Nasta'in"oleh IBNUL QOYYIM AL-JAUZIYYAH

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger