Home » » NIFAS

NIFAS

NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin

Makna Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"

Hukum-Hukum Nifas

Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:

[a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

[b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.

Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.

[c]. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

[d]. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.

Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:

"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.

Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.

Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]

[e]. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".

Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.



[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 53 - 57 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA]

JIKA DARAH TERUS MENGALIR SETELAH EMPAT PULUH HARI
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika darah terus keluar setelah empat puluh hari, apakah wanita itu harus puasa dan shalat?

Jawaban
Wanita yang sedang nifas jika terus mengeluarkan darah hingga lebih dari empat puluh hari, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan,

Pertama : Darah yang keluar setelah empat puluh hari itu bukan lagi darah nifas melainkan darah haidh yang menyusul keluarnya darah nifas, jika waktu itu bertepatan dengan masa haidh yang biasanya, maka saat itu ia harus meninggalkan shalat.

Kedua : Kemungkinan kedua adalah, bila setelah empat puluh hari nifas bukan merupakan masa haid yang biasanya, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini.

Diantara mereka ada yang berpendapat : Wanita itu tetap tidak melaksanakan shalat hingga enam puluh hari, karena ada sebagian kaum wanita yang tetap dalam keadaan nifas hingga enam puluh hari, dan ini adalah suatu kejadian yang nyata. Berdasarkan ini, maka wanita yang tetap mengeluarkan darah lebih dari empat puluh hari hendaknya ia menunggu sampai enam puluh hari kemudian setelah itu darah yang keluar dianggap darah haidh hingga habisnya masa haidh yang biasa ia alami kemudian setelah itu ia wajib mandi serta shalat, sementara darah yang keluar setelah itu dianggap darah istihadhah.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/289]

DARAH NIFAS BERHENTI SEBELUM EMPAT PULUH HARI, APAKAH HAL INI MEMBOLEHKAN SHALAT WALAUPUN DARAH KEMBALI LAGI PADA HARI KEEMPAT PULUH

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta.


Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta ditanya : Jika darah nifas berhenti sebelum empat puluh hari, apakah boleh bagi seorang wanita untuk mandi wajib serta melakukan shalat, bahkan sekalipun darah itu keluar lagi sebelum hari ke empat puluh ?

Jawaban
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya (tidak mengeluarkan darah nifas lagi) sebelum mencapai hari ke empat puluh maka ia harus mandi, shalat serta puasa dan bagi suaminya dibolehkan untuk mencampurinya, dan jika ia tetap mengeluarkan darah setelah empat puluh hari maka ia tetap menganggap dirinya dalam keadaan suci, karena hari ke empat puluh dianggap hari terakhir dari masa nifas menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat para ulama. Sementara darah yang keluar setelah empat puluh hari dianggap darah penyakit dan hukumnya sama dengan hukum darah istihadhah, kecuali jika darah itu keluar sebagai darah haidh yang menyusul darah nifas, maka pada saat itu ia dianggap dalam keadaan haidh yang harus meninggalkan shalat dan puasa serta diharamkan suaminya untuk mencampurinya.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 5/417]

APAKAH MASA NIFAS ITU DAPAT LEBIH DARI EMPAT PULUH HARI?

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta ditanya : Apakah masa nifas seorang wanita dapat mencapai lebih dari empat puluh hari? Dan apakah wajib baginya untuk mengqadha shalat yang telah ia tinggalkan semasa haidh atau nifasnya?

Jawaban
Darah yang keluar setelah empat puluh hari dari masa kelahiran pada seorang wanita bukanlah darah nifas melainkan darah istihadhah, maka wajib mandi baginya setelah empat puluh hari serta melaksanakan shalat dan puasa, ia pun harus berwudhu setiap kali akan shalat dan menggunakan kapas atau sejenisnya pada kemaluannya untuk mencegah menetesnya darah.

Tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha shalat yang telah ia tinggalkan selama masa haidh dan nifasnya, yang wajib untuk diqadha oleh wanita itu adalah puasanya yang ia tinggalkan selama bulan Ramadhan yang disebabkan oleh haidh ataupun nifas. Lain halnya jika darah yang keluar itu adalah darah haidh yang menyusul habisnya darah nifas setelah empat puluh hari, maka dalam hal ini tidak boleh baginya untuk shalat dan puasa.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah 5/416]

DARAH NIFAS MENGALIR KEMBALI SETELAH EMPAT PULUH HARI

Oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di


Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya : Jika seorang wanita telah mandi setelah habisnya masa nifas, kemudian darah nifas itu kembali mengalir setelah empat puluh hari dari masa persalinan, dan wanita itu yakin bahwa darah itu adalah darah nifas, maka apa yang harus dilakukan wanita itu ?

Jawaban
Kami berpendapat bahwa wanita itu harus meninggalkan puasa dan shalat saat ia mengeluarkan darah nifas setelah empat puluh hari, karena yang benar adalah bahwa nifas tidak memiliki batas masa waktunya, dan darah yang disebut dalam pertanyaan bukan darah istihadhah, maka jika darah itu telah jelas sebagai darah nifas dengan tidak memiliki ciri keruh dan tidak pula berwarna kuning, maka wanita itu harus meninggalkan shalat dan puasa, dan hukumnya adalah hukum darah nifas.

[Al-Majmu’ah Al-Kamilah Li Mu’allafat Asy-Syaikh Ibn As-Sa’di, hal. 99]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

KEWAJIBAN WANITA NIFAS PADA AKHIR MASA NIFAS

Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Tentang yang wajib dilakukan oleh wanita nifas pada saat akhir masa nifasnya?

Jawaban
Wajib baginya untuk mandi sebagaimana diwajibkannya terhadap wanita yang telah habis masa haidhnya, dalil yang menunjukkan pada hal tersebut adalah.

[1]. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata : Wanita-wanita yang mengalami nifas pada zaman Rasulullah adalah empat puluh hari.

[2]. Dari Ummu Salamah Radhyallahu ‘anha, ia berkata : Seorang wanita di antara isteri-isteri nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak mengerjakan shalat) saat nifasnya selama empat puluh hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat di masa nifas itu.

[At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, hal. 19]

DARAH NIFAS BERHENTI KEMUDIAN KEMBALI LAGI SETELAH EMPAT PULUH HARI

Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita telah berhenti masa nifasnya, lima hari sebelum mencapai hari keempat puluh, maka ia melaksanakan shalat dan puasa, kemudian setelah empat puluh hari, darah nifas itu kembali mengalir lagi, bagaimana hukumnya?

Jawaban
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat dan puasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya walaupun belum mencapai empat puluh hari, dan wanita yang telah mendapatkan kesuciannya pada hari ketiga puluh lima dari saat persallinannya ini wajib melaksanakan puasa dan shalat sebagaimana biasanya, lalu jika darah nifas itu kembali mengalir setelah empat puluh hari, maka darah yang keluar itu dianggap darah haidh, kecuali jika keluarnya darah itu diluar masa haid yang biasa ia alami, maka ia hanya meninggalkan shalat selama waktu yang biasanya ia mendapatakan masa haidh saja kemudian setelah itu ia harus mandi dan melaksanakan shalat sebagaimana biasanya.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Stayikh Ibnu Utsaimin 4/289]

JIKA DARAH NIFAS BERUBAH MENJADI CAIRAN LAIN

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita mengeluarkan darah nifas selama dua minggu kemudian darah itu secara bertahap berubah menjadi cairan yang agak kental (lendir) kekuning-kuningan dan hal itu terus terjadi hingga mendekati penghujung hari keempat puluh, apakah keluarnya lendir ini yang menyusul darah nifas ini dikenakan hukum sebagaimana hukumnya nifas atau tidak ?

Jawaban
Cairan ini yang berwarna kekuning-kuningan atau cairan seperti lendir, selama belum nampak kesucian yang jelas dan nyata maka hukum cairan itu dikategorikan sebagai darah nifas, dengan demikian wanita itu belum dikatakan suci sebelum terhentinya aliran cairan berwarna kekuning-kuningan ini, jika cairan ini berhenti dan ia telah mendapatkan kesuciannya yang jelas dan nyata, maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa walaupun kesucian itu ia dapatkan sebelum empat puluh hari.

Adapun masalah yang diduga oleh sebagian wanita, bahwa seorang wanita harus tetap meninggalkan shalat hingga mencapai empat puluh hari, walaupun ia telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari itu, adalah dugaan yang salah dan tidak benar. Yang benar adalah ; jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya maka wajib baginya untuk shalat sebagaimana wanita-wanita suci lainnya, walaupun kesucian itu didapati pada hari kesepuluh setelah masa persalinan.

[Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Stayikh Ibnu Utsaimin 4/281]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]


MASA DI MANA PARA WANITA YANG SEDANG NIFAS TIDAK BOLEH MELAKSANAKAN SHALAT

Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Berapakah lamanya waktu yang tetap diberlakukan untuk tidak boleh shalat bagi wanita yang sedang mengeluarkan darah setelah melahirkan (nifas)?

Jawaban
Ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas.

Pertama : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh dan tidak kembali setelah itu. Jika darah itu telah berhenti mengalir darinya, maka saat itu ia segera harus mandi (bersuci) untuk melakukan shalat dan puasa.

Kedua : Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari ke empat puluh kemudian darah itu kembali mengalir sebelum mencapai empat puluh hari. Dalam kondisi semacam ini, jika darah berhenti mengalir maka ia harus mandi (bersuci) untuk melaksanakan shalat dan puasa, lalu jika darah nifas itu mengalir lagi maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu puasanya di qadha tanpa harus mengqadha shalat.

Ketiga : Darah terus mengalir hingga hari ke empat puluh. Dengan demikian si wanita harus meninggalkan shalat serta puasa selama empat puluh hari penuh, dan jika darah berhenti mengalir, maka ia harus segera bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Keempat : Darah terus mengalir hingga melebihi empat puluh hari. Kondisi semacam ini ada dua macam, yaitu :

Pertama, hal ini terjadi karena berhentinya nifas dilanjutkan dengan keluarnya darah haidh yang biasa, jika hal ini terjadi maka ia diharuskan untuk tetap meninggalkan shalat.

Kemudian yang kedua adalah : Darah yang dikeluarkan setelah empat puluh hari tidak betepatan dengan kebiasaan masa haid, maka bagi wanita ini tetap wajib mandi setelah sempurna empat puluh hari untuk melaksanakan shalat dan puasa. Dan jika keluarnya darah itu berulang hingga tiga kali, berarti itulah masa haidnya, dan dengan begitu ia harus mengqadha puasa yang telah dilaksanakannya (karena tidak sah), tapi tidak harus mengqadha shalatnya. Akan tetapi, jika tidak berulang, maka tidak dikategorikan darah haidh melainkan darah istihadhah.

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/102]

PENDAPAT YANG KUAT TENTANG MASA NIFAS

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Tentang dalil yang kuat mengenai masa nifas

Jawaban
Selama darah nifas itu masih keluar pada diri seorang wanita maka tidak diawajibkan baginya untuk mandi kecuali jika darah itu telah berhenti mengalir, walaupun berhentinya darah nifas itu melebihi dari empat puluh hari. Tidak ada dalil yang menunjukkan tentang masa nifas ini, kecuali bunyi hadits : “Adalah para wanita yang nifas” dengan sanad yang lemah.

[Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/103]

SUCI SEBELUM EMPAT PULUH HARI LALU BERPUASA
Oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di

Pertanyaan
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ditanya : Jika wanita nifas mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari lalu ia berpuasa, apakah puasanya itu sah ?

Jawaban
Puasanya sah dan sempurna karena ia telah mendapatkan kesuciannya walaupun belum empat puluh hari, sebab dengan begitu berlaku baginya hukum yang berlaku bagi wanita-wanita lainnya yang telah suci.

[Al-Majmu’ah Kamilah Li Mu’allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa’di 7/100]

APAKAH WANITA NIFAS YANG SUCI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI TETAP WAJIB MELAKSANAKAN IBADAH
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita nifas wajib melakukan puasa dan shalat sebelum genap empat puluh ahri?

Jawaban
Ya, jika ia telah suci dari nifasnya walaupun belum genap empat puluh hari, wajib baginya untuk berpuasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhan dan juga wajib baginya untuk melaksanakan shalat, juga dibolehkan bagi suaminya untuk mencampurinya, karena wanita itu telah suci sehingga tidak ada yang menghalanginya untuk melaksanakan puasa dan juga tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk shalat dan melakukan hubungan badan dengan suaminya.

[52 Su’alan Ahkamil Haid, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 10]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wajan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]


SEORANG PRIA MENYETUBUHI ISTERINYA SETELAH HAIDH DAN NIFAS SEBELUM BERSUCI (MANDI WAJIB)

Oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta ditanya : Seorang pria menyetubuhi isterinya yang telah habis masa haidhnya atau masa nifasnya sebelum isterinya itu mandi wajib, hal itu ia lakukan karena tidak mengetahuinya, apakah pria itu dikenakan kaffarah (denda)? Dan berapa banyak dendanya itu? Lalu jika wanita itu hamil karena persetubuhan itu, apakah anak hasil persersetubuhan itu disebut dengan anak haram?

Jawaban
Menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya adalah haram berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci” [Al-Baqarah : 222]

Barangsiapa yang melakukan hal itu maka hendaklah ia memohon ampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya, kemudian hendaknya ia bersedekah setengah dinar sebagai denda atas apa yang telah ia lakukan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada pria yang menyetubuhi isterinya yang sedang haid.

“Artinya : bersedekahlah engkau dengan satu dinar atau setengah dinar”

Berapapun yang anda keluarkan sebagai denda di antara dua pilihan itu dibolehkan, ukuran satu dinar adalah empat pertujuh kebutuhan per kapita Saudi. Jika kebutuhan per kapita Saudi adalah tujuh puluh real, maka kaffarah itu sebanyak dua puluh real atau empat puluh real yang anda sedekahkan kepada fakir miskin.

Dan tidak boleh bagi seorang pria menyetubuhi isterinya setelah habis masa haidh sebelum sang isteri bersuci (mandi wajib) berdasarkan firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu” [Al-Baqarah : 222]

Ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan seorang pria menyetubuhi isterinya yang sedang haidh sebelum berhenti haidhnya dan sebelum bersuci (mandi haidh), dan bagi pria yang menyetubuhi isterinya sebelum mandi maka pria itu telah berbuat dosa serta dikenakan denda, kemudian jika persetubuhan itu menyebabkan kehamilan maka anak yang dilahirkan bukanlah anak haram melainkana anakyang sah secara syar’i.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta 5/398]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger