Home » » IKUTILAH SUNNAH JAUHI BID’AH 3

IKUTILAH SUNNAH JAUHI BID’AH 3

Karya : Al-‘Allamah ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad
Alih Bahasa : Abu Salma al-Atsari


SEMUA BID’AH ITU SESAT TIDAK ADA YANG BAIK

Setiap bid’ah itu sesat berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam di dalam hadits Jabir dan al-‘Irbadh yang telah disebutkan terdahulu, yaitu :

“Dan setiap bid’ah itu sesat”, dan keumuman di dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ini menunjukkan atas batilnya perkataan seseorang yang mengatakan : sesungguhnya di dalam Islam ada bid’ah hasanah (baik). Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata di dalam atsar yang telah disebutkan barusan :

“Setiap bid’ah itu sesat walaupun manusia menganggapnya baik.” Tidak boleh mengatakan bahwa sesungguhnya di dalam Islam ada bid’ah hasanah beralasan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :

“Barangsiapa yang mengadakan sunnah di dalam Islam suatu sunnah yang baik, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya sedikitpun, dan barangsiapa yang mengadakan sunnah di dalam Islam suatu sunnah yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkan setelahnya tanpa mengurangi dosa orang yang mengikutinya sedikitpun.”

Diriwayatkan oleh Muslim (1017). Karena, maksud hadits ini adalah berlomba-lomba di dalam melakukan kebajikan dan mencontoh pelopor kebajikan tersebut sebagaimana telah terang dari sebab hadits yang disebutkan di dalam Shahih Muslim sebelum memaparkan hadits ini. Kejadiannya adalah bahwa sejumlah sahabat dari Mudhor tiba di Madinah, tampak pada mereka kemiskinan dan kemelaratan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan para sahabat untuk bersedekah, lalu datang seorang pria dari Anshar membawa sebuah kantong yang sampai-sampai tampak tangannya tidak mampu membawanya, lantas orang-orang setelahnya mengikutinya bersedekah, pada saat inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda : “Barangsiapa yang mengadakan sunnah di dalam Islam...” (al-Hadits)

Tercakup pula di dalam makna hadits ini adalah, orang yang menghidupkan sunnah yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam di suatu negeri yang sunnah tersebut tidak tampak di dalamnya. Adapun apabila difahami maknanya sebagai mengada-adakan sesuatu di dalam agama maka hal ini tidak benar, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam : “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu di dalam agama yang tidak ada perintahnya dari kami maka tertolak.”

Telah berlalu penjelasannya, bahwa sesungguhnya syariat ini telah sempurna tidak butuh kepada hal-hal yang diada-adakan. Di dalam pengada-adaan bid’ah terdapat tuduhan terhadap syariat bahwa syariat itu kurang tidak sempurna. Telah lewat pula barusan ucapan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma : “Setiap bid’ah itu sesat walaupun manusia menganggapnya baik” dan ucapan Malik : “Barangsiapa yang mengada adakan bid’ah di dalam Islam dan menganggapnya baik, maka ia telah menuduh bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah. Karna Alloh berfirman : “Pada hari ini telah aku sempurnakan bagi kalian agama kalian” maka segala sesuatu yang tidak menjadi agama pada hari itu tidak pula menjadi agama pada hari ini.”

Adapun pengumpulan yang dilakukan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu di dalam sholat tarawih pada satu imam, maka hal ini termasuk bagian menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah sholat dengan manusia pada beberapa malam di bulan Ramadhan, kemudian beliau meninggalkan sholat secara terus menerus karena khawatir akan diwajibkan kepada umatnya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1129).

Namun ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam wafat dan penyebab kewajibannya telah sirna dengan terputusnya wahyu serta yang tersisa adalah disunnahkannya, maka ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan manusia untuk melakukan sholat tarawih (berjama’ah). Adapun ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tentang sholat tarawih sebagaimana di dalam Shahih Bukhari (2010) :


“Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini”, yang dimaksud dengan bid’ah di sini adalah bid’ah menurut bahasa bukan menurut syar’i (istilah).


PERBEDAAN BID’AH MENURUT BAHASA DAN BID’AH MENURUT SYAR’AIH

Kebanyakan makna bahasa lebih umum ketimbang makna menurut syar’i, dan mayoritas makna syar’I merupakan bagian dari cabang-cabang makna bahasa. Diantara contohnya adalah Taqwa, Shiyam (puasa), haji, ‘umroh dan bid’ah.

Taqwa menurut bahasa adalah seorang manusia yang menjadikan wiqoyah (pelindung) antara dirinya dengan segala sesuatu yang ditakutinya agar ia dapat berlindung darinya. Seperti ia membangun rumah dan kemah untuk melindungi dirinya dari panasnya terik matahari dan dingin. Ia membuat sepatu untuk melindungi dari segala hal di tanah yang dapat mencederai. Adapun Taqwalloh, artinya seorang muslim yang membuat pelindung antara dirinya dengan kemurkaan Alloh yang ia berlindung dengannya, yang demikian ini dengan cara melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan- Nya.

Ash-Shiyam menurut bahasa adalah segala bentuk imsaak (penahanan), sedangkan di dalam syariat adalah penahanan yang khusus, yaitu menahan diri dari makan, minum dan segala hal yang dapat membatalkan puasa dari semenjak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

Haji secara bahasa adalah qoshd (tujuan) dan di dalam syariat bermakna bertujuan ke Makkah untuk menunaikan syiar-syiar Alloh yang khusus. Umroh menurut bahasa adalah semua bentuk ziarah (bepergian) sedangkan di dalam syariat adalah ziarah ke ka’bah untuk berthowaf mengelilinginya dan bersa’I (lari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa serta bercukur atau memotong rambut.

Adapun bid’ah menurut bahasa adalah segala hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya, sedangkan menurut syara’ adalah segala hal yang diada-adakan yang tidak ada asalnya di dalam agama, dan bid’ah di sini adalah lawan dari sunnah.

MASHLAHAT MURSALAH BUKANLAH BID’AH

Mashlahat Mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada penetapan dan penolakannya di dalam syariat. Mashlahat Mursalah merupakan sarana untuk mewujudkan perkara yang disyariatkan, seperti pengumpulan Al-Qur`an pada zaman Abu Bakr dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma, pencatatan dawawin (administrasi negara) dan penulisan Ashhabul ‘Atho` (orang yang berhak menerima) di dalam Diwan tersebut. Sesungguhnya hal ini tidak ada nash di dalam syara’ yang menetapkan dan tidak ada pula yang melarang. Adapun mengumpulkan Al-Qur`an, maka ia merupakan cara pemeliharaannya dan cara untuk tidak menyia-nyiakan sedikitpun darinya, serta di dalamnya terdapat manifestasi firman Alloh Azza wa Jalla

“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur`an) dan Kami pula yang berhak untuk memeliharanya.”

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu sempat bertawaqquf (berdiam diri tidak mengambil sikap) ketika ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengajak beliau untuk mengumpulkan Al-Qur`an, Abu Bakr berkata :

“Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam?”. ‘Umar menjawab : “Hal ini demi Alloh adalah suatu yang baik.” ‘Umar selalu mengulang-ulangi hal ini sampai akhirnya Alloh melapangkan dadaku untuk menerimanya dan aku berpendapat sebagaimana pendapat ‘Umar.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (4679), Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan Al-Qur`an ke dalam shuhuf (lembaran-lembaran) sedangkan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan dalam bentuk Mushhaf.

Adapun pencatatan dawawin (catatan administrasi) yang terjadi pada zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu adalah ketika banyaknya futuhat (ekspansi/perluasan wilayah) dan banyaknya ghanimah dan fai` (harta rampasan perang) sehingga diperlukan adanya pencatatan nama-nama tentara dan selain mereka dari kalangan ahlul ‘atho` (yang berhak menerima), dan hal ini belum pernah ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Hal ini merupakan metode untuk memenuhi hak orang yang memang berhak menerimanya dan tidak dalam rangka menggugurkan hak mereka sedikitpun. Maka tidak boleh dikatakan bahwa sesungguhnya mashlahat mursalah termasuk bid’ah yang baik, karena mashlahat mursalah itu memiliki tujuan untuk mewujudkan perkara yang disyariatkan, sebaliknya dengan bid’ah yang malah di dalamnya terdapat tuduhan atas kekurangsempurnaannya syariat sebagaimana telah berlalu penjelasan hal ini di dalam Ucapan Imam Malik rahimahullahu.

MENYEPAKATI SUNNAH HARUSLAH DENGAN TUJUAN BAIK

Terkadang orang yang meremehkan perkara bid’ah berargumentasi : sesungguhnya orang yang datang dengan kebid’ahan dan beribadah kepada Alloh dengan cara bid’ah memiliki tujuan yang baik, oleh karena itulah perbuatannya adalah terpuji mengingat tujuannya yang baik ini.

Maka jawabnya adalah : Bahwasanya ia tetaplah harus beramal dengan amal yang selaras dengan sunnah disertai dengan tujuan (niat) yang baik, karena niat itu merupakan salah satu syarat dari dua syarat diterimanya amal sholih yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu ikhlas hanya kepada Alloh dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

Telah berulang-ulang disebutkan hadits yang menunjukkan atas ditolaknya amalan bid’ah yang diada-adakan oleh pelakunya, yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam di dalam hadits muttafaq ‘alaihi :

“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu di dalam urusan kami (agama) yang tidak ada perintahnya maka amalnya tertolak”.

Dan di dalam lafazh Muslim :

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan (di dalam agama) yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalnya tertolak.”

Diantara dalil yang menunjukkan bahwa di dalam menyepakati sunnah haruslah tetap dengan tujuan yang baik, adalah kisah seorang sahabat yang menyembelih hewan kurbannya sebelum sholat ied (Adhha), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepadanya :
“Sembelihmu itu tidaklah lebih daripada daging sembelihan biasa.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (955) dan Muslim (1961).

Al-Hafizh berkata di dalam mensyarh hadits ini di dalam al-Fath (10/17) :
“Syaikh Abu Muhammad bin Abi Jamrah berkata : Dan di dalam hadits ini (menunjukkan) bahwa suatu amal, walaupun selaras dengan niat yang baik, belumlah dikatakan benar kecuali apabila selaras dengan syariat.”

Diantara hadits yang menunjukkan hal ini juga adalah hadits yang terdapat di dalam Sunan Ad-Darimi (210) dengan sanad yang shahih bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mendatangi manusia yang sedang berhalaqoh (duduk melingkar) di dalam Masjid. Di tangan mereka terdapat kerikil dan diantara mereka ada seorang pria yang mengatakan :

“bertakbirlah seratus kali” maka orang-orang pun ikut bertakbir seratus kali dan menghitungnya dengan kerikil. Pria itu mengatakan : “bertahlil-lah seratus kali, bertasbihlah seratus kali” dan mereka pun melakukan perintahnya. Abu Mas’ud pun menemui mereka dan mengatakan :

“Apa yang aku lihat kalian sedang mengerjakannya ini?” mereka mengatakan : “Wahai Abu ‘Abdirrahman! Ini kerikil yang kami menghitung dengannya takbir, tahlil dan tasbih.” Ibnu Mas’ud menukas : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, dan aku akan menjamin bahwa kebaikan kalian tidak akan tersia-siakan sedikitpun. Sungguh celaka kalian wahai umat Muhammad! Begitu cepatnya kebinasaan kalian! Lihatlah mereka, para sahabat Nabi kalian Shallallahu ‘alaihi wa Salam masihlah banyak, baju beliau belumlah usang dan bejana beliau belumlah pecah. Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, apakah kalian merasa bahwa kalian berada di atas millah (agama) yang lebih memberikan petunjuk dibandingkan millah Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu fitnah?” Mereka mengatakan : “Demi Alloh wahai Abu ‘Abdurrahman! Kami tidaklah menginginkan melainkan kebaikan.” Abu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak memperolehnya...” Lihat as-Silsilah ash-Shahihah karya Al-Albani (2005).

BAHAYA BID’AH DAN BAHWASANNYA BID’AH LEBIH DASYAT DARIPADA MAKSIYAT

Bid’ah itu bahaya, bencana dan musibahnya sangatlah besar. Bid’ah itu lebih dahsyat
bahayanya dibandingkan dosa dan maksiat, dikarenakan pelaku maksiat itu tahu bahwa ia jatuh kepada perkara yang haram sehingga mungkin baginya meninggalkan dan bertaubat darinya. Sedangkan pelaku bid’ah, ia menganggap bahwa dirinya berada di atas kebenaran sehingga ia terus menerus di atas kebid’ahannya, sampai-sampai matipun tetap di atas kebid’ahan.

Ia pada realitanya adalah mengikuti hawa nafsu dan jauh dari jalan yang lurus (ash Shirathul Mustaqim). Alloh Azza wa Jalla berfirman :

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS Fathir : 8)

Dan firman-Nya :
“Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (syaithan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (QS Muhammad : 14)

Dan firman-Nya :

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS Shaad : 26) Dan firman-Nya :

”Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS al-Qoshosh : 50)

Dari Anas radhiyallahu ’anhu berkata : Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda :

”Sesungguhnya Alloh menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai mereka meninggalkan kebid’ahannya.”

Al-Mundziri memaparkannya di dalam Kitab at-Targhib wat Tarhib (86), bab Fi Tarhibi min Tarkis Sunnah wa-rtikabil Bida’ wal Ahwa’ (bab tentang larangan meninggalkan sunnah dan melakukan bid’ah dan hawa nafsu), dan beliau berkata :

”Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan sanadnya hasan.” Lihat as- Silsilah ash Shahihah karya al-Albani (1620).

BID’AH KEYAKINAN ,PERBUATAN DAN UCAPAN

Bid’ah itu bermacam-macam : ada bid’ah i’tiqodiyyah (keyakinan), qouliyah (ucapan) dan fi’liyah (perbuatan), sedangkan bid’ah perbuatan itu ada yang zamaniyah (terkait dengan waktu) dan ada yang makaniyah (terkait dengan tempat).

Adapun bid’ah keyakinan contohnya adalah seperti bid’ahnya khowarij, rafidhah, mu’tazilah dan selain mereka yang menyandarkan keyakinan mereka pada ilmu kalam dan adapula diantara mereka yang menyandarkan keyakinannya kepada riwayat-riwayat dusta. Ibnu ’Abdil Barr berkata di dalam Jami’ Bayanil ’Ilmi wa Fadhlihi (2/95) :

”Ahlus Sunnah dan Atsar di seluruh negeri bersepakat bahwa ahlul kalam adalah ahlul bid’ah dan kesesatan. Tidak ada satupun ulama di seluruh negeri yang menganggap mereka masuk ke dalam thobaqot (tingkatan) para ulama.

Sesungguhnya, ulama itu hanyalah ahlul atsar dan bertafaqquh (memahami agama) dengan atsar dan mengutamakan atsar dengan kemantapan dan karakteristik khusus.”

Bid’ah ucapan diantara contohnya adalah melafazhkan niat, seperti mengucapkan ”aku berniat sholat ini, aku berniat berpuasa ini” dan selainnya tanpa terkecuali melainkan (melafazhkan niat) ketika manasik, seperti orang yang berumroh mengucapkan, ”Labbaikalloh ’umrotan”, orang yang berhaji mengucapkan, ”Labbaika haajjan” atau orang yang menggabungkan haji dan umroh mengucapkan, ”Labbaika ’umrotan wa haajjan”, karena semua ini ada di dalam sunnah yang menujukkan disyariatkannya hal ini.

Diantara contoh bid’ah ucapan lainnya adalah meminta kepada Alloh dengan (perantaraan) kehormatan Fulan dan dengan kedudukan Fulan atau yang semisalnya yang tidak ada satupun sunnah yang tetap dari Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam menuntunkannya.

Diantara bid’ah ucapan yang dapat menyebabkan kekufuran adalah seperti berdo’a kepada penghuni kubur, meminta tolong kepada mereka, meminta agar mereka memenuhi kebutuhan dan menghilangkan kesusahan, dan selainnya dari amalan yang seharusnya tidak boleh dipinta melainkan hanya kepada Alloh, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :

”Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS al-Jinn : 18)

Dan firman-Nya :

”Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS an-Naml : 62)

Adapun menghukumi orang yang melakukan hal ini dengan kekufuran maka (dapat dilakukan) setelah menegakkan hujjah, dan hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Saya telah menyebutkan tujuh diantara mereka (para ulama ini) pada pasal kelima di dalam muqoddimah buku Tathhirul I’tiqod wa Syarhush Shudur, yang pertama (ulama yang kusebutkan) adalah al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullahu dan yang terakhir adalah al-Imam Muhammad bin ’Abdil Wahhab rahimahullahu. Bid’ah perbuatan itu ada yang makaniyah (terkait dengan tempat) dan ada yang zamaniyah (terkait dengan waktu).

Diantara bid’ah makaniyah adalah mengusap kubur dan menciumnya. An-Nawawi berkata di dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab tentang masalah mengusap dan mencium dinding kubur Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam (8/206) :

”Janganlah tertipu dengan banyaknya orang awam dan perbuatan mereka ini. Karena sesungguhnya, al-Iqtida’ (mencontoh) dan beramal itu hanyalah terbatas dengan haditshadits yang shahih dan pendapat para ulama, maka janganlah menoleh kepada perbuatan yang diada-adakan oleh kaum awam dan selain mereka serta kebodohan mereka. Telah tetap di dalam Shahihain dari ’A`isyah radhiyallahu ’anha bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu di dalam agama ini yang tidak ada tuntunannya maka amalnya tertolak.”

Di dalam riwayat Muslim : ”Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalnya tertolak.”

Dari ’Abu Hurairoh radhiyallahu ’anhu beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat perayaan (ied) dan bershalawatlah kepadaku karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih. Fudhail bin ’Iyadh rahimahullahu berkata –yang maknanya- : ”Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan tidaklah akan mencederaimu sedikitnya orang yang meniti (jalan petunjuk ini), jauhilah olehmu jalan-jalan kesesatan dan janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa.” Barangsiapa yang berpendapat bahwa mengusap (kubur) dengan tangan atau yang semisalnya barokahnya lebih tersampaikan, maka hal ini merupakan kebodohan dan kelalaiannya, karena barokah itu hanya dapat diperoleh dengan menyepakati sunnah.

Bagaimana bisa mengharapkan keutamaan dengan sesuatu hal yang menyelisihi kebenaran?!” Diantara contoh bid’ah zamaniyah adalah peringatan upacara kelahiran, seperti peringatan maulid Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam.

Sesungguhnya peringatan maulid Nabi ini merupakan bid’ah yang diada-adakan pada abad ke-4 hijriah, tidak pernah ada tuntunannya sedikitpun dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam, dari para khalifah beliau serta para sahabat beliau, bahkan tidak pula ada para tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang melakukannya. Telah berlalu waktu selama 300 tahun pertama dan tidak pernah ditemukan adanya bid’ah ini. Buku-buku yang ditulis pada rentang zaman itu tidak pernah menyebutkan adanya perayaan maulid di dalamnya. Sesungguhnya lahirnya bid’ah ini adalah pada abad ke-4 hjiriah, yang diada-adakan oleh Ubaidiyun yang memimpin Mesir.

Taqiyudin Ahmad bin ’Ali al-Miqrizi menyebutkan di dalam kitabnya al-Mawa`izh bidzikril Khathath wal Aatsar (1/490) bahwa Fathimiyun sepanjang tahunnya mengadakan perayaanperayaan dan peringatan-peringatan. Beliau menyebutkan banyak sekali bentuk perayaan mereka, diantaranya peringatan maulid Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, peringatanmaulid ’Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu ’anhum dan peringatan kelahiran para khalifah yang ada pada zaman itu.

Ibnu Katsir berkata di dalam al-Bidayah wan Nihayah kejadian-kejadian yang berlangsung pada tahun 567 Hijriah, yang merupakan tahun berakhirnya kekuasaan daulah mereka, setelah kematian orang terakhir mereka yang ditumbangkan, beliau berkata :

”Tampak sekali di dalam daulah mereka kebid’ahan-kebid’ahan dan kemungkaran, banyaknya orang-orang yang rusak dan sedikitnya orang-orang yang shalih dari para ulama dan ahli ibadah...” Ibnu Katsir menyebutkan sebelum hal ini, bahwa Sholahuddin membatalkan (lafazh) adzan yang berbunyi hayya ’ala khoir il ’amal di seluruh negeri Mesir. Buku terbaik yang ditulis yang membahas masalah ini adalah buku al-Qoulul Fashli fi Hukmil Ihtifaali bi Maulidi Khoyrir Rusuli karya Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Anshori rahimahullahu.

Tidak diragukan lagi, bahwa mencintai Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam wajib ada di dalam hati setiap muslim melebihi dari kecintaannya kepada bapak, ibu, putera dan puterinya serta seluruh manusia, sebagai pengejawantahan sabda Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :

”Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian sampai menjadikan diriku lebih dicintainya daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Mencintai Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam itu, sesungguhnya hanyalah dengan meneladani beliau dan meniti manhaj beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, bukannya dengan mengada-adakan kebid’ahan, sebagaimana firman Alloh Azza wa Jalla :

”Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali ’Imran : 31)

BID’AH MENGUJI MANUSIA DENGAN PERSEORANGAN

Termasuk bid’ah mungkar yang terjadi di zaman ini adalah bid’ah imtihaanu ba’dhu ahlis sunnah ba’dhan bi-asykhash (menguji ahlus sunnah satu dengan lainnya dengan perseorangan). Sama saja, baik yang mendorong seseorang melakukan imtihan (pengujian) itu karena merendahkan individu yang dijadikan ujian, ataupun yang mendorong ia melakukannya karena ia begitu berlebih-lebihan terhadap individu lainnya. Apabila hasil pengujiannya selaras dengan kehendak orang yang menguji, maka akan mendapatkan sokongan, pujian dan sanjungan. Namun apabila tidak selaras dengan kehendaknya, maka akan melahirkan tajrih (celaan), tabdi’ (vonis bid’ah), hajr (isolir) dan tahdzir (peringatan).

Berikut ini adalah cuplikan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang pertamanya adalah tabdi’ (vonis bid’ah) di dalam menguji manusia dengan perseorangan terhadap orang yang merendahkan orang itu dan yang kedua adalah tabdi’ di dalam menguji manusia dengan perseorangan lainnya terhadap orang yang berlebih-lebihan terhadap orang itu. Beliau rahimahullah berkata di dalam Majmu’ al-Fatawa (3/413-4) mengenai perbincangan tentang Yazid bin Mu’awiyah :

”Yang benar dari pendapat yang diperpegangi oleh para imam adalah, ia tidak dikhususkan dengan kecintaan dan tidak pula dilaknat. Bersamaan dengan itu, walaupun ia seorang yang fasik dan zhalim, maka Allohlah yang mengampuni orang yang fasik lagi zhalim, apalagi jika orang itu memiliki kebaikan yang besar.

Al-Bukhari telah meriwayatkan di dalam Shahih-nya dari Ibnu ’Umar radhiyallahu ’anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”tentara pertama yang memerangi Konstantinopel diampuni dosa-dosanya”, dan tentara pertama yang memerangi Konstantinopel, komandan mereka adalah Yazid bin Mu’awiyah, dan turut berperang bersama beliau adalah Abu Ayyub al-Anshori... Maka wajib untuk bersikap tengah di dalam hal tersebut, dan berpaling dari membicarakan Yazid bin Mu’awiyah dan menguji kaum muslimin dengannya, karena ini termasuk bid’ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah.”

Beliau berkata (3/415) :

”Dan demikian juga dengan memecah belah ummat dan menguji ummat dengan suatu yang tidak diperintahkan oleh Alloh maupun Rasul-Nya Shallallahu ’alaihi wa Salam.”

Beliau berkata (20/164) :

”Tidak seorangpun yang berhak menentukan untuk umat ini seorang figur yang diseru untuk mengikuti jalannya, yang menjadi tolok ukur dalam menentukan loyalitas dan permusuhan selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, begitu juga tidak
seorangpun yang berhak menentukan suatu perkataan yang menjadi tolok ukur dalam berloyalitas dan memusuhi selain perkataan Allah dan RasulNya serta apa yang menjadi kesepakatan umat, bahkan perbuatan ini adalah kebiasaan Ahli bid’ah yang mana mereka menentukan bagi mereka seorang figur atau suatu pendapat tertentu, melalui itu mereka memecah belah umat, mereka menjadikan pendapat tersebut atau nisbat (penyandaran) tersebut sebagai tolok ukur dalam berloyalitas dan memusuhi”

Beliau berkata (28/15-16) :

”Apabila seorang guru atau ustadz memerintahkan untuk menghajr (mengucilkan) seseorang atau menjatuhkan (kehormatannya) dan menjauhinya atau yang semisalnya, maka harus dipertimbangkan terlebih dulu : jika orang tersebut telah melakukan dosa secara syar’i maka dihukum sebatas tingkat dosanya tanpa dilebihkan, dan jika ia tidak melakukan dosa secara syar’i maka ia tidak boleh dihukum dengan sesuatu apapun hanya karena kehendak seorang guru atau lainnya. Tidak selayaknya bagi para guru mengelompokan manusia dan menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara mereka, tetapi hendaklah mereka seperti saling bersaudara yang saling tolong menolong dalam melakukan kebajikan dan ketakwaan, sebagaimana firman Allah: “Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”

Sekiranya menguji manusia dengan perseorangan itu dibolehkan pada zaman ini, bertujuan untuk mengetahui siapakah ahlus sunnah dan bukan dengan pengujian ini, maka yang paling berhak dan utama untuk melakukannya adalah Syaikhul Islam dan mufti dunia serta Imam ahlus sunnah di zamannya, Syaikh kami, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz yang wafat pada tanggal 27 Muharam tahun 1420 H, semoga Alloh merahmati beliau, mengampuni beliau dan membalas beliau dengan pahala. Yang mana orang yang khusus (ulama) dan awam telah mengetahui keluasan ilmu beliau dan banyaknya kemanfaatan pada diri beliau, kejujuran beliau, kelemahlembutan beliau, belas kasih beliau dan antusias beliau di dalam menunjuki manusia dan mengarahkan mereka, demiikian anggapan kami dan tidaklah kami bermaksud mensucikan seorang pun di hadapan Alloh.

Beliau adalah orang yang memiliki manhaj yang satu di dalam berdakwah kepada Alloh, mengajarkan kebaikan kepada manusia, menyeru mereka kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, yang dikenal akan kelemahlembutan dan kehalusan budi beliau di dalam nasehat dan bantahan beliau yang banyak terhadap orang lain.

Manhaj beliau adalah manhaj yang lurus yang meluruskan ahlus sunnah bukan menentangnya, yang membangkitkan ahlus sunnah bukan yang melawannya, yang meninggikan ahlus sunnah bukan yang merendahkannya, manhaj yang mempersatukan bukan yang memecah belah, yang menghimpun bukan yang mengoyak-ngoyak, yang mengarahkan bukan yang merintangi dan yang mempermudah bukan yang mempersulit.

Aduhai, betapa butuhnya orang-orang yang sibuk dengan ilmu dan menuntutnya kepada suluk (akhlak) cara yang lurus dan manhaj yang agung ini, dalam rangka untuk mencapai kebaikan bagi kaum muslimin dan mencegah keburukan dari mereka. Wajib bagi orang yang meniru dan yang ditiru, yang melakukan ujian semacam ini supaya melepaskan diri dari cara yang telah memecah belah ahlus sunnah ini dan menyebabkan satu dengan lainnya saling bermusuhan oleh sebab ujian ini.

Demikian pula wajib bagi orang yang meniru untuk meninggalkan ujian ini dan meninggalkan setiap hal yang dapat mengantarkan kepada kebencian, hajr (pengucilan) dan taqothu’ (isolir) serta wajib bagi mereka untuk menjadi saudara yang saling menyayangi dan bekerja sama di dalam kebajikan dan ketakwaan. Orang yang ditiru, wajib pula bagi mereka berlepas diri dari metode ini dan mengumumkan baro` (sikap berlepas diri) mereka darinya dan dari perbuatan orang yang melakukannya. Dengan demikian, akan selamatlah orang yang meniru dari bala’ (bencana) ini dan orang yang ditiru dapat selamat dari ditiru oleh sebab ujian ini dan segala hal yang disebabkan olehnya berupa pengaruh buruk yang nantinya akan kembali kepada mereka dan selain mereka.

PERINGATAN DARI FITNAH TAJRIH DAN TABDI’ OLEH SEBAGIAN AHLI SUNNAH DI ZAMAN INI
 

Yang semisal dengan bid’ah Imtihaanu an-Naas bil Asykhosh (menguji manusia dengan perseorangan) yang terjadi dewasa ini dari sekelompok kecil Ahlus Sunnah yang gemar mentajr ih saudara-saudaranya sesame Ahlus Sunnah dan mentabdi’ mereka, sehingga mengakibatkan timbulnya hajr, taqathu dan memutuskan jalan kemanfaatan dari mereka. Tajrih dan tabdi’ tersebut dibangun di atas asumsi suatu hal yang tidak bid’ah namun dianggap bid’ah.

Sebagai contohnya adalah dua syaikh kita yang mulia, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan Syaikh Ibnu Utsaimin, semoga Allah merahmati mereka berdua, telah menfatwakan bolehnya memasuki suatu jama’ah (semacam yayasan khairiyah pent.) dalam beberapa perkara yang mereka pandang dapat mendatangkan kemaslahatan dengan memasukinya. Dari mereka yang tidak menyukai fatwa ini adalah kelompok kecil tadi dan mereka mencemarkan jama’ah tersebut. Permasalahannya tidak hanya berhenti sebatas ini saja, bahkan mereka menyebarkan aib siapa saja yang bekerja sama dengan memberikan ceramah pada jama’ah tersebut dan mereka sifati sebagai mumayi (orang yang lunak) terhadap manhaj salaf, walaupun kedua syaikh yang mulia tadi pernah memberikan ceramah pada jama’ah ini via telepon.

Perkara ini juga meluas sampai kepada munculnya tahdzir (peringatan) untuk menghadiri pelajaran (durus) seseorang dikarenakan orang tersebut tidak berbicara tentang fulan dan fulan atau jama’ah fulani. Yang mempelopori hal ini adalah salah seorang muridku di Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah, yang lulus pada tahun 1395-1396H.9 Dia meraih peringkat ke- 104 dari jumlah lulusan yang mencapai 119 orang. Dia tidaklah dikenal sebagai orang yang menyibukkan diri dengan ilmu, dan tidak pula aku mengetahuinya memiliki pelajaran-pelajaran ilmiah yang terekam, tidak pula tulisan-tulisan ilmiah, kecil ataupun besar.

Modal ilmunya yang terbesar adalah tajrih, tabdi’ dan tahdzir terhadap mayoritas Ahlus Sunnah, padahal si Jarih (pencela) ini ini tidaklah dapat menjangkau mata kaki orang-orang yang dicelanya dari sisi banyaknya kemanfaatan pada pelajaran-pelajaran, ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka.

Keanehan ini tidak berakhir sampai di situ, apalagi jika ada seorang yang berakal mendengarkan sebuah kaset yang berisi rekaman percakapan telepon yang panjang antara Madinah ( Yang beliau maksudkan adalah Syaikh Falih bin Nafi’ al-Harbi, pembesar neo Haddadiyah di zaman ini. Pent.) (Syaikh Falih, pent.) dan Aljazair. Di dalam kaset ini, fihak yang ditanya ‘memakan daging’ mayoritas ahlu Sunnah, dan di
dalamnya pula si penanya memboroskan hartanya tanpa hak.
Orang-orang yang ditanyainya mencapai hampir 30-an orang pada kaset ini, diantara mereka (yang ditanyakan) adalah Wazir (menteri), pembesar dan orang biasa. Juga di dalamnya ada sekelompok kecil yang tidak merasa disusahkan (yang tidak dicela karena termasuk kelompok kecil tersebut, pent.). Yang selamat (dari celaan) hanyalah orang-orang yang tida ditanyakan di dalamnya, namun mereka yang selamat dari kaset ini sebagiannya tidak selamat dari kaset-kaset lainnya.

Penyebaran utamanya adalah dari situs-situs informasi internet. Wajib baginya menghentikan memakan daging para ulama dan para thullabul ‘ilm dan wajib pula bagi para pemuda dan penuntut ilmu untuk tidak mengarahkan pandangannya kepada tajrihat (celaan-celaan) dan tabdi’at (pembid’ahan) yang merusak tidak bermanfaat ini, serta wajib bagi mereka menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat yang akan membawa kebaikan dan akibat yang terpuji bagi mereka di dunia dan akhirat. Al-Hafidh Ibnu Asakir –rahimahullah- mengatakan dalam bukunya, Tabyinu Kadzibil Muftarii (hal 29) :

“Ketahuilah saudaraku, semoga Allah menunjuki kami dan kalian kepada keridhaan-Nya dan semoga Dia menjadikan kita orang-orang yang takut kepada-Nya dan bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa, bahwasanya daging para ulama – rahmatullahu ‘alaihim- adalah beracun dan merupakan kebiasaan Allah (sunnatullah) merobek tabir kekurangan mereka pula.”

Telah kujabarkan dalam risalahku, Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, sejumlah besar ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar berkenaan tentang menjaga lisan dari mencerca Ahlus Sunnah, terutama terhadap ulamanya. Kendati demikian, hal ini tidaklah memuaskan sang pencela (jarih), bahkan dia mensifati risalahku tersebut tidak layak untuk disebarkan. Dia juga mentahdzir risalahku dan orang-orang yang menyebarkannya. Tidak ragu lagi, barang siapa yang mengetahui celaan (jarh) ini dan menelaah risalahku, ia akan menemukan bahwa perkara ini di satu lembah dan risalahku di lembah yang lain, dan hal ini sebagaimana yang dikatakan seorang penyair :

Mata boleh menyangkal cahaya matahari dikarenakan sakit mata
dan mulut boleh menyangkal rasa air dikarenakan sakit mulut

Adapun ucapan si Jarih ini terhadap risalah Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, yang mengatakan : “misalnya tentang anggapan bahwa manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Bazz dan manhaj Syaikh Utsaimin menyelisihi manhaj Ahlus Sunnah yang lainnya, maka hal ini adalah suatu kesalahan tidak diragukan lagi, yakni mereka berdua tidak memperbanyak bantahan dan membantah orang-orang yang menyimpang. Hal ini, sekalipun benar dari mereka, maka (ini artinya manhaj mereka) menyelisihi manhajnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan yang demikian ini artinya adalah sebuah celaan bagi kedua syaikh tersebut atau lainnya yang punya anggapan demikian!!!” Maka jawabannya dari beberapa sisi :

Pertama, hal tersebut tidaklah terdapat di dalam risalahku bahwa Syaikh Abdul Aziz tidak memperbanyak bantahan. Bahkan, bantahan beliau banyak. Hal ini telah diterangkan dalam risalahku (hal. 51) sebagai berikut : “Hendaknya bantahan tersebut dilakukan dengan keramahan dan lemah lembut disertai dengan keinginan kuat untuk menyelamatkan orang yang salah tersebut dari kesalahannya apabila kesalahannya jelas dan tampak. Selayaknya seorang yang hendak membantah orang lain, merujuk kepada metodenya Syaikh Ibnu Bazz ketika membantah untuk kemudian diterapkannya.”

Kedua, Sesungguhnya aku tidak mengingat telah menyebutkan manhaj Syaikh Utsaimin di dalam membantah, dikarenakan aku tidak tahu, sedikit atau banyak, apakah beliau memiliki tulisantulisan bantahan. Aku pernah bertanya kepada salah seorang murid terdekatnya yang bermulazamah kepadanya sekian lama tentang hal ini, dan dia memberitahuku bahwa dia tidak mengetahui pula apakah syaikh memiliki tulisan-tulisan bantahan. Yang demikian ini tidaklah menjadikan beliau tecela, dikarenakan beliau terlalu sibuk dengan ilmu, menyebarkannya dan menulis buku-buku.

Ketiga, bahwasanya manhajnya Syaikh Abdul Aziz bin Bazz – rahimahullahu- berbeda dengan manhaj sang murid pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan manhajnya syaikh dikarakteristiki oleh keramahan, kelembutan dan keinginan kuat untuk memberikan manfaat kepada orang yang dinasehati dan demi menolongnya ke jalan keselamatan.

Adapun sang pencela dan orang-orang yang serupa dengannya, manhajnya dikarakteristiki dengan syiddah (keras), tanfir dan tahdzir. Dan mayoritas orang yang dicelanya di dalam kasetkasetnya adalah orang-orang yang dulunya dipuji oleh Syaikh Abdul Aziz, yang beliau do’akan mereka (dengan kebaikan) dan beliau anjurkan mereka untuk berdakwah dan mengajari manusia serta mendorong dan beristifadah (mengambil manfaat) dari mereka.

Walhasil, sesungguhnya aku tidak menisbatkan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu- tentang ketiadaan bantahannya terhadap orang lain. Adapun Ibnu ‘Utsaimin, aku tidak ingat pernah menyebutkan dirinya pada perkara bantahan, dan apa yang dikatakan si pencela ini tidak sesuai dengan risalahku. Hal ini merupakan dalil yang nyata tentang kesembronoannya dan ketidakhati-hatiannya (tanpa tatsabut). Jika hal ini dari dirinya tentang ucapan yang tertulis, lantas bagaimana keadaannya tentang apa-apa yang tidak tertulis???

Adapun ucapan pencela risalahku, “Aku sesungguhnya telah membaca risalah tersebut, dan aku telah mengetahui bagaimana sikap Ahlus Sunnah terhadap risalah ini. Semoga engkau akan melihat bantahannya dari sebagian ulama dan masyaikh, dan aku tidak menduga bahwa bantahan-bantahan tersebut akan berhenti sampai di sini, sesungguhnya akan ada lagi yang membantahnya, karena sebagaimana dinyatakan oleh seorang penyair :

Datang Syaqiq (Saudara kandung) sambil menawarkan tombaknya Sesungguhnya Bani (anak-anak) pamanmu telah memiliki tombak Demikianlah (yang dinyatakan si pencela ini), Aaridlun, padahal yang benar Aaridlon.

Tanggapan : Bahwasanya Ahlus Sunnah yang ia maksudkan adalah mereka yang manhajnya berbeda dengan manhajnya Syaikh Abdul Aziz –rahimahullahu- yang telah kutunjukkan barusan, dan ia dengan perkataannya ini (bermaksud) menghasut (mem-bangkitkan semangat) orang-orang yang tidak mengenal mereka untuk mendiskreditkan risalahku setelah ia menghasut orang-orang yang mengenal mereka. Sesungguhnya aku tidak melontarkan tombak, namun sesungguhnya diriku hanya menyodorkan nasihat yang tidak mau diterima oleh si pencela ini dan orang-orang yang serupa dengannya. Dikarenakan nasehat itu bagi orang yang dinasehati, bagaikan obat bagi orang-orang yang sakit, dan sebagian orang-orang yang sakit menggunakan obat ini walaupun rasanya pahit dengan harapan akan memperoleh manfaat.

Diantara orang-orang yang dinasehati tersebut ada yang menjadikan hawa nafsunya menjauh dari nasehatku, tidak mau menerimanya bahkan mentahdzirnya. Aku memohon kepada Allah taufiq dan hidayah-Nya serta keselamatan untuk saudara-saudaraku semuanya dari tipu muslihat dan makar Syaithan.

Ada tiga orang yang menyertai si pencela ini, yang dua di Makkah dan Madinah dan kedua-duanya dulu muridku di Universitas Islam Madinah. Orang yang pertama lulus tahun 1384-1385 sedangkan yang kedua lulus tahun 1391-1392.

Adapun orang yang ketiga berada di ujung selatan negeri ini. Orang yang kedua dan ketiga inilah yang mensifati orang-orang yang menyebarkan risalahku sebagai mubtadi’, dan tabdi’ ini merupakan tabdi’ keseluruhan dan umum, aku tidak tahu apakah mereka faham atau tidak, bahwa yang menyebarkan risalahku adalah ulama dan penuntut ilmu yang disifatkan dengan bid’ah.

Aku berharap mereka mau memberikanku masukan/alasan mereka atas tabdi’ mereka yang mereka bangun secara umum, jika ada, untuk diperhatikan lagi. Syaikh Abdurrahman as-Sudais, Imam dan Khathib Masjidil Haram, pernah berkhutbah di atas mimbar di Masjidil Haram yang di dalamnya beliau mentahdzir dari sikap saling mencela Ahlus Sunnah satu dengan lainnya. Hendaknya kita alihkan perhatian kita kepada khuthbah beliau, karena sesungguhnya khuthbah beliau begitu penting dan bermanfaat. Aku memohon kepada Allah Azza wa Jalla untuk menunjuki seluruh ummat kepada apa yang diridhai-Nya, agar mereka mendalami agama mereka (tafaqquh fid din) dan menetapi kebenaran, serta agar mereka menyibukkan diri dengan perkara yang bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang tidak bermanfaat. Sesungguhnya Ia berkuasa dan berkemampuan atasnya. Semoga Sholawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabatnya.__

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger