Home » » MANHAJ AHLUS SUNNAH WALJAMA'AH 1

MANHAJ AHLUS SUNNAH WALJAMA'AH 1



STUDI KOMPREHENSIF Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah ( Akidah, Ibadah, Ahlak & Dakwah ) Penyusun: Al-Ustadz Abu ‘Athiyah Nurul Mukhlishin, Lc., M.Ag (Kandidat Doktor International University of Malaysia)

Bagian I
MAKNA MANHAJ DAN AHLUSSUNNAH

I. Makna Manhaj Secara bahasa kalimat “manhaj“ berasal dari kata –nahaja- yang berati jalan yang terang ( Al-Jauhari, al-Shihah, 1/346 ) . Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang,

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS Al- Maidah:48)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas” (HR. Al- Darami no. 83)

Adapun manhaj yang dimaksud di sini adalah jalan hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang kemudian dilalui oleh para sahabat, Tabi’in dan pengikutnya dalam kebenaran hingga hari kiamat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

” Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orangorang yang musyrik". (QS Yusuf : 108)

II. Makna Ahlussunnah wal jamaah.

Kata “Ahlussunnah” terdiri dari dua suku kata yaitu ahlu yang berarti keluarga, pemilik, pelaku atau seorang yang menguasai suatu permasalahan. Dan kata Sunnah yang berarti apa yang datang dari Nabi baik berupa syariat, agama, petunjuk yang lahir maupun yang bathin, kemudian dilakukan oleh sahabat, tabiin dan pengikutnya sampai hari Kiyamat. (Majmu’ Fatawa III/ 357 )

Namun dalam perspektif syariah (fiqh) kata sunnah sering diartikan dengan Perbuatan yang kalau dilakukan mendapat pahala, dan kalau ditinggalkan tidak mendapat dosa. Namun yang dimaksud dengan As-Sunnah" di sini adalah adalah,” Thariqah (jalan hidup) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang juga dilalui oleh para shahabat yang telah selamat dari syubhat dan syahwat". Fudhail bin Iyadh berkata,”Ahlus Sunnah adalah orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal" (Lihat : Al-Lalika'i Syarhus Sunnah No. 51 dan Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah 8:1034 )

Karena tidak memakan yang haram termasuk salah satu sunnah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para shahabat.

Dengan demikian maka Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan sunnah shahabatnya. Imam Ibnul Jauzi berkata,” Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan atsar para shahabatnya adalah Ahlus Sunnah" (Talbisul Iblis oleh Ibnul Jauzi hal.16 dan lihat Al-Fashlu oleh Ibnu Hazm 2:107 )

Adapun kata jamaah berarti bersama atau berkumpul. Dinamakan demikian karena mereka bersama dan berkumpul dalam kebenaran, mengamalkannya dan mereka tidak mengambil teladan kecuali dari sahabat, tabiin dan ulama– ulama yang mengamalkan sunnah sampai hari Kiyamat.

Sedangkan menurut istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,

”Ahlussunnah wal jamaah adalah orang yang mengamalkan sunah Rasulullah dan berkumpul di dalamnya dengan beribadah kepada Allah baik dalam masalah aqidah (keyakinan), perkataan, perbuatan, dan panutannya adalah Shalafusshalih dari sahabat, tabiin dan pengikut tabiin”.

III. Kriteria Ahlussunnah wal jamaah

DR. Nashr Al-Aql dalam kitabnya “Mafhum Ahlussunnah ’inda Ahlissunnah”, menyebutkan beberapa kreteria Ahlussunnah wal jamaah di antaranya;

1. Mereka adalah sahabat Rasulullah yang mengerti, melihat dan mengamalkan sunnah Rasullullah pertama kalinya, oleh sebab itulah mereka berhak mendapat gelar demikian. Begitu juga para tabiin yang mengambil sunnah dari sahabat dan mengamalkannya tanpa menambah dan menguranginya. Dan juga para pengikut tabiin dan orang-orang setelahnya sampai hari kiyamat yang berusaha mencontohi dan mengikuti mereka dalam masalah akidah dan ibadah.

2. Ahlussunah adalah para salafusshalih yang mengamalkan Kitab dan Sunah sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam (Majmu’ Fatawa III/157 ), Yang mengikuti teladan para sahabat, tabiin dan ulama-ulama yang tidak pernah merubah dan membuat hal-hal yang baru dalam agama Allah.

3. Ahlussunnah wal jamaah adalah firqatunnajiyah (golongan yang selamat) di antara golongangolongan yang ada. Yang selalu mendapatkan pertolongan dari Allah sampai hari kiyamat. (Majmu’ Fatawa III/157 )

4. Mereka adalah orang–orang yang ghuraba’ (asing) karena tetap berpegang kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam keadaan yang orang lain melupakan dan meninggalkannya. Mereka juga memperjuangkan tegaknya As- Sunnah di saat tersebarnya bid’ah dan kesesatan dan kerusakan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ”Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali menjadi asing sebagaimana semula. Maka beruntunglah orang–orang yang asing” (HR.Muslim dalam kitab al-Iman ) . Dalam riwayat lain disebutkan,

“Beruntunglah al-Ghuraba’ yaitu orang yang shalih di tengah manusia yang jahat, orang yang mengingkarinya lebih banyak dari yang mengikutinya” (Shahih al-Jami’ oleh Al-Bani I/12 No. 3816 )

5. Dinamakan Ahlussunnah karena mereka mengamalkan sunah sebagaimana mestinya. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam “Amalkanlah sunnahku” (HR.Jama’ah )

Penamaan Ahlussunnah dilakukan setelah terjadinya fitnah pada awal munculnya firqahfirqah. Ibnu Sirin berkata, ”Mereka (pada mulanya) tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Mereka melihat bila ia termasuk Ahlus Sunnah hadits mereka diambil, dan bila termasuk ahlul bi'dah maka hadits mereka tidak di ambil". (Diriwayatkan oleh Muslim dalam Muqaddimah kitab shahihnya hal.15 )

Al-Imam Malik pernah ditanya :"Siapakah Ahlus Sunnah itu? Beliau menjawab,”Ahlussunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal seperti Jahmi, Qadari, atau Rafidli". (Al-Intiqa fi Fadlailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. hal.35 oleh Ibnu Abdil Barr )

Istilah Ahlus Sunnah sudah terkenal dikalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) sebagai kebalikan dari istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Ahlus Sunnah adalah orang yang tetap berpegang pada sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para shahabatnya. Jadi gelar Ahlussunnah bukanlah hal-hal yang muhdats (dibuat-buat baru), tetapi mempunyai sandaran syar’I yaitu:

1. Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena beliau memerintahkan untuk mengamalkan sunnahnya. Dan memerintahkan untuk berjamaah dan melarang untuk berpecah belah dan keluar darinya. Jadi Ahlussunnah adalah gelar yang diberikan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam.

2. Bersumber dari atsar para sahabat dan generasi terbaik umat ini dari sifat mereka yang telah disepakati oleh para ulama umat yang mereka tulis dalam kitab-kitabnya.

3. Sebuah nama yang dipakai untuk membedakan mereka dengan pelaku bid’ah, bukan seperti yang dituduhkan bahwa istilah ahlussunah tidak muncul kecuali setelah terjadi perpecahan di antara umat Islam.

IV. Apakah mereka terbatas hanya pada satu masa dan tempat?.

Ahlussunnah tidak hanya terbatas pada satu priode dan tempat. Tetapi terkadang mereka lebih banyak di suatu tempat atau masa dan berkurang di masa atau tempat yang lain. (Fathul Bari 13/259, dan Syarah Kitab Tauhoid ,Syekh Abdullah Al- Ghunaiman II/240 )

Beberapa karakteristik dari Ahlussunah yang disebutkan sendiri oleh para salafusshalih adalah ;

1. Mereka yang berpegang pada tali Allah yang kuat. Abu Bakar al-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “ As-Sunnah adalah tali Allah yang kuat, barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah memutus talinya Allah” (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 120 ), Umar bin al- Khattab radhiyallahu ‘anhu menambahkan,

“Sesungguhnya Ashabussunan (pengamal sunnah) itu lebih mengetahui tentang Kitabullah” (Sunan ad-Darimi I/49 )

2. Mereka adalah teladan baik yang mengajak kepada jalan yang benar. Umar bin Qais al-Malaiy (wafat tahun 143 H) berkata, “Apabila anda melihat seorang pemuda yang tumbuh dewasa bersama Ahlussunnah maka peliharalah, dan kalau besar bersama pelaku bid’ah maka jagalah dirimu darinya. Karena sifat seorang akan tumbuh dewasa sesuai dengan masa kanaknya” (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 133 ). Dalam kitab kitab yang sama ditambahkan,

“Sesungguhnya pemuda apabila bergaul dengan orang alim maka akan selamat, tetapi apabila bergaul dengan yang lainnya maka akan terpengaruh (al-Ibanah;I/206) Ibnu Syaudzab (wafat tahun 120 H) berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda apabila dewasa diberikan taufik untuk bergaul dengan pelaku sunnah” (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 133
.

Demikian juga yang dikatakan oleh as- Sahityani (wafat tahun 131 H), “Termasuk kebahagiaan bagi seorang apabila diperkenankan oleh Allah untuk bergaul dengan Ahlussunnah” (Syarah I’tiqad Ahlussunah, Al-lalika’iy I/65 )

Dan dari Ibnu Abbas diriwayatkan ketika menafsirkan firman Allah surat Ali Imran ayat 106 beliau mengatakan,” Adapun orang yang putih mukanya adalah Ahlussunnah wal Jamaah, dan orang yang hitam mukanya adalah ahli bid’ah dan kesesatan “ (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 137 ) .

3. Mereka tidak mau diberi gelar dan atribut kecuali dengan nama Ahlussunah. Barang siapa yang bergabung pada kelompok yang bukan Ahlussunah maka akan mendapatkan kerugian dan kebinasaan karena Ahlussunah-lah golongan yang selamat karena mendapatkan pertolongan dari Allah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah jalannya orang–orang yang mukmin. Ibnu Abbas berkata,”Barang siapa yang mengikuti kelompok-kelompok pelaku bid’ah ini maka dia telah melepaskan ikatan Islam dari dirinya.“ (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal. 137 ).

Ketika Imam Malik ditanya siapakah Ahlussunnah itu ?, beliau menjawab, “Mereka orang yang tidak mempunyai nama lain atau identitas yang dikenal dengannya seperti Jahamiy (pengikut kelompok Jahamiyah), Rafidhiy (pengukut Rafidhah) atau Qadhariy (pengikut Qadariyah)” (Tartibul Madarik I/72 ) .

Begitu juga jawaban Ibnu Al-Qayyim ketika ditanya tentang Ahlussunnah beliau berkata,

“Sesuatu yang tidak mempunyai nama kecuali Ahlussunnah” (Madarijus sallikin III/174 ) .

Malik bin Maglul lebih tegas lagi mengatakan, “Apabila ada seorang menamakan dirinya dengan bukan Islam dan As-Sunnah maka masukkanlah dia pada agama apapun yang kamu kehendaki (Ad-Durarul Mansyur, As-Suyuthi II/63 ). Maka Maimun bin Mahran menasihatkan untuk jangan sekali-kali menamakan dirinya dengan nama selain Islam” (As-Syarh wal Ibanah, Ibnu Batthah hal.137)

Referensi:
1. Muzilul Ilbas fi al-Ihkam ‘ala an-Naas, editor Syaikh Sa’d bin Shabir Abduh.
2. Ta’rif al-Khalaf bi Manhaj al-Salaf, DR. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan
3. Al-Minhaj baina al-Ishalah wa al-Tagrib, DR. Muhammad bin Shalih Ali

Bagian II
Manhaj Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah

Ahlussunnah adalah jama'ah yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam sabdanya,”Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tetap membela al-haq, mereka senantiasa unggul, yang menghina dan menentang mereka tidak akan mampu membahayakan mereka hingga datang keputusan Allah (Tabaraka wa Ta'la), sedang mereka tetap dalam keadaan yang demikian". (HR. Al-Bukhari 4/3641, 7460; dan Muslim 13 /65-67 pada syarah Imam Nawawy )

Ahlussunnah adalah al-firqotun najiyah, yang pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mereka adalah umat yang satu sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

,”Sesungguhnya kalian adalah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah kepada-Ku". (Al-Anbiyaa : 92 )

Orang Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah, namun belum pernah berhasil, sebagaimana firman Allah ,

” Segolongan (lain) dari Ahli Kitab telah berkata (kepada sesamanya) : (pura-pura) berimanlah kamu kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (para sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah pada akhirnya, mudah-mudahan (dengan cara demikian) mereka (kaum muslimin) kembali kepada kekafiran". (Ali Imran : 72 )

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memberitahukan akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sebagaimana sabda beliau,” Sesunguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaa'rasiddin yang mendapat petunjuk setelah Aku". (28 HR. Abu Dawud 5/4607, Tirmidzi 5/2676 Dia berkata hadits ini hasan shahih ; Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43 )


Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam,”Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan; dan telah berpecah kaum Nashara menjadi tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Maka kami-pun bertanya, siapakah yang satu itu ya Rasulullah ..? ; beliau menjawab : yaitu barang-siapa yang berada pada apa-apa yang aku dan para sahabatku jalani hari ini". (HR. Abu Dawud 5/4607 dan Tirmidzi 5/2676 dan Dia berkata hadits ini hasan shahih ; Ahmad 4/126-127 dan Ibnu Majah 1/43 )

Setelah kita mengetahui bahwa kelompok ini adalah golongan yang selamat dari kesesatan, maka kita perlu mengetahui nama-nama dan cirri-cirinya agar kita dapat mengikutinya. Di antara nama-namanya adalah : Al-Firqotun Najiyah (golongan yang selamat), Ath-Thooifatul Manshuroh (golongan yang ditolong), dan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang maksudnya adalah sebagai berikut: Kelompok ini adalah yang selamat dari api neraka sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam,” Seluruhnya di atas neraka kecuali satu (Maksudnya yang tidak masuk ke dalam neraka adalah satu). Kelompok yang tetap berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As Sunnah dan apa-apa yang dipegang oleh As-Saabiqunal Awwalun (para pendahulu) dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Rasulullah bersabda,”Mereka itu adalah siapa-siapa yang berjalan diatas apa-apa yang aku dan sahabatku lakukan hari ini".

Mereka itu bisa dibedakan dari kelompok lainnya pada dua hal penting;

pertama, berpegang teguhnya mereka terhadap As-Sunnah sehingga mereka di sebut sebagai pemilik sunnah (Ahlus Sunnah). Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang berpegang pada pendapat, hawa nafsunya sehingga dinisbahkan kepadanya seperti Al-Qadariyah dan Al-Murji'ah. Atau dinisbatkan kepada para imamnya seperti Al-Jahmiyah, atau dinisbatkan pada pekerjaan-pekerjaannya yang kotor seperti Ar- Rafidhah dan Al-Khawarij.

Kedua, mereka adalah Ahlul Jama'ah karena mereka bersepakat untuk berpegang teguh dengan Al-Haq dan jauhnya mereka dari perpecahan.

Mereka adalah golongan yang ditolong Allah sampai hari kiamat. Karena gigihnya dalam menolong agama Allah , sebagaimana firman-Nya,

”Jika kamu menolong Allah niscaya Allah akan menolong mereka". (Muhammad : 7 )

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, "Tidak ada yang menghina dan menentang mereka itu akan mampu membahayakan mereka sampai datang keputusan Allah sedang mereka itu tetap dalam keadaan demikian".

Di antara prinsip dan manhaj Ahlussunnah wal jamaah adalah sebagai berikut:

Prinsip Pertama: Beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir-Nya. Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya meyakini Rububiyyah Allah, uluhiyyah-Nya dan Asma wa –Sifat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

”Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al- Fatihah: 1-2)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

”Dan Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka berdo'alah kamu dengannya". (Al-A'raf : 180 )

Beriman kepada Para Malaikat-Nya yakni membenarkan adanya para malaikat dan mereka adalah mahluk mahluk Allah yang diciptakan dari cahaya. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada Allah dan menjalankan perintah Allah di dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,”Bahkan malaikat-malaikat itu adalah mahluk yang dimuliakan, mereka tidak mendahului-Nya dalam perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya". (Al-Anbiyaa : 26-27 )

Iman kepada Kitab-kitab-Nya Yakni membenarkan adanya kitab Allah dan segala kandungannya berupa hidayah (petunjuk) dan ia diturunkan sebagai petunjuk bagi manusia. Dan yang paling agung diantara sekian kitab tersebut adalah Al-Qur'an, karena ia sendiri merupakan mukjizat dari Allah. Allah berfirman,

”Katakanlah (Hai Muhammad) : 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur'an niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling bahu membahu". (Al-isra : 88)

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah mengimani Al- Qur'an kalam (firman) Allah, bukan makhluq baik huruf maupun artinya. Berbeda dengan pendapat Jahmiyah dan Mu'tazilah yang mengatakan Al- Qur'an makhluk baik huruf maupun maknanya. Juga berbeda dengan Asyaa'irah yang mengatakan kalam (firman) Allah hanyalah artinya, sedangkan huruf-hurufnya adalah makhluk. Kedua pendapat tersebut bathil berdasarkan firman Allah ,

” Dan jika ada seorang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar KALAM ALLAH (Al-Qur'an)" (At-Taubah :6 )

Iman Kepada Para Rasul yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang disebutkan namanya oleh Allah maupun yang tidak. Dan penutup para nabi adalah nabi Muhammad , tidak ada nabi sesudahnya.

Termasuk beriman kepada para rasul adalah tidak menyepelekan mereka dan tidak berlebih-lebihan terhadap mereka seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

”Dan orang-orang Yahudi berkata : 'Uzair itu anak Allah ; dan orang-orang Nasharani berkata :'Isa Al-Masih itu anak Allah...". (At-Taubah : 30 ) Sebaliknya orang-orang sufi dan ahli filsafat telah menghina para rasul dan lebih mengutamakan para pemimpin mereka, sedang kaum penyembah berhala dan atheis telah kafir kepada seluruh rasul tersebut. tetapi Ahlussunah tidak membeda-bedakan antara semua Rasul, sebagaimana firman Allah ,

”Kami tidak membeda-bedakan satu diantara Rasul-rasul-Nya ....". (Al-Baqarah : 285 )

Iman Kepada Hari Akhirat yakni membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang pristiwa setelah kematian seperti adzab dan ni'mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hisab (perhitungan), mizan (ditimbangnya) segala perbuatan dan pemberian buku catatan amal dengan tangan kanan atau kiri, jembatan (sirat), serta Surga dan Neraka.

Keimanan yang membuat bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan jelek dan serta bertaubat dari dosa. Berbeda dengan orang-orang musyrik dan dahriyyun yang mengingkari adanya hari kiamat, atau orang Yahudi dan Nashara yang tidak mengimaninya dengan benar, Allah berfirman,

”Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata Sekali-kali tidaklah masuk Surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ......". (Al- Baqarah : 111)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

“Dan mereka berkata : Kami sekali-kali tidak akan disentuh api neraka kecuali hanya
dalam beberapa hari saja". (Al-Baqarah : 80).

Iman kepada taqdir maksudnya meyakini bahwasanya Allah mengetahui apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi, menulisnya dalam Lauhul mahfudz. Segala sesuatu yang terjadi berdasarkan telah dikehendaki dan diciptakan oleh Allah . Allah mencintai keta'atan dan membenci kemaksiatan. Manusia mempunyai kekuasaan, kehendak dan kemampuan memilih pekerjaan yang mengantar mereka pada keta'atan atau kemaksiatan, tetapi semua itu mengikuti kemauan dan kehendak Allah. Berbeda dengan Jabariyah yang mengatakan manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan. Sebaliknya Qodariyah mengatakan hamba itu memiliki kemauan yang berdiri sendiri dan dialah yang menciptkan pekerjaannya. Kemauan dan kehendaknya terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Allah membantah kedua pendapat di atas dengan firman-Nya,

” Dan kamu tidak bisa berkemauan seperti itu kecuali apabila Allah menghendakinya".(At- Takwir : 29)

Prinsip Kedua, iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kema'siatan.

Iman bukan hanya perkataan dan perbuatan tanpa keyakinan sebab itu merupakan keimanan kaum munafiq. Bukan pula sekedar ma'rifah (mengetahui) dan meyakini tanpa ikrar dan amal sebab itu merupakan keimanan orangorang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman,

Dan mereka mengingkarinya karena kedzoliman dan kesombongan (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu" (An-Naml : 14;Baca juga Al- An'aam : 33 dan Al-Ankabut : 38 ).

Iman juga bukan sekedar keyakinan dalam hati atau perkataan tanpa perbuatan karena yang demikian adalah keimanan Murji'ah. Allah seringkali menyebut amal perbuatan termasuk iman sebagaimana firman-Nya,

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang apabila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang telah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu'min yang sebenarnya ..." (Al-Anfaal : 2-4)

Juga firman Allah ,
” Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian"(Al-Baqarah : 143)

Prinsip Ketiga: Tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.

Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya kafir. Misalnya meninggalkan shalat karena malas, maka pelakunya tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna.

Apabila dia mati sedang dia belum bertaubat maka dia berada dalam kehendak Allah. Jika Allah berkehendak Dia akan mengampuninya, atau menghukumnya namun tidak kekal di neraka, sebagaimana firman Allah ,

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.(An-Nisaa : 48)

Ahlus Sunnah wal Jama'ah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar walau bukan termasuk syirik dan Murji'ah yang mengatakan si pelaku dosa besar sebagai mu'min sempurna imannya. Mereka mengatakan dosa dan ketaatan tidak berpengaruh pada iman.

Prinsip Keempat: Wajib ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama tidak memerintahkan untuk kema'shiyatan. Apabila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan maka dilarang menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran yang lainnya, Allah berfirman,

” Hai orang-orang yang beriman, ta'atlah kamu kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian ..." (An-Nisaa : 59)

Diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,”Dan aku berwasiat kepada kalian agar kalian bertaqwa kepada Allah dan mendengar dan ta'at walaupun yang memimpin kalian seorang hamba".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah menentang seorang amir (pemimpin) yang muslim itu merupakan ma'shiyat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sebagaimana sabdanya,”Barangsiapa yang ta'at kepada amir (yang muslim) maka dia ta'at kepadaku dan barangsiapa yang ma'shiyat kepada amir maka dia ma'shiyat kepadaku". (HR. Bukhari 4/7137, Muslim 12 / 223 Syarah Nawawi )

Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para pemimpin yang zalim dan menasehati serta medo'akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.

Prinsip Kelima: Haramnya memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur. Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah tentang wajibnya ta'at kepada mereka dalam halhal yang bukan ma'shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.

Berbeda dengan Mu'tazilah yang mewajibka keluar dari pemimpin yang melakukan dosa besar walaupun belum termasuk amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut sebagai amar ma'ruf nahi munkar. Padahal sebenarnya tindakan mereka itu termasuk kemunkaran yang besar karena menimbulkan bahaya yang besar bagi umat.

Prinsip Keenam: Tidak mencela dan membenci para sahabat Rasulullah. Hal ini telah dicontohkan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

”Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara-suadara kami yang telah mendahului kami dalam iman dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman : Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". (Al-Hasyr : 10)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,”Janganlah kamu sekali-kali mencela sahabat-sahabatku, maka demi dzat yang jiwaku ditangan-Nya, kalau seandainya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang diantara mereka tidak juga setengahnya". (HR. Bukhari 3/3673, dan Muslim 16/ 92-93 Syarah Nawawy )

Ahlus Sunnah memandang bahwa khalifah setelah Rasulullah secara berurutan adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma'in. Barangsiapa yang mencela salah satu di antara mereka, maka dia lebih sesat daripada keledai karena bertentangan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka .Berbeda dengan sikap ahlul bid'ah dari kalangan Rafidhoh maupun Khawarij yang mencela dan meremehkan keutamaan para sahabat.

Prinsip Ketujuh: Mencintai Ahlul bait (Keluarga) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Hal ini sesuai dengan wasiat Rasul dengan sabdanya,”Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku". (HR. Muslim 15/180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629 )

Termasuk Ahlul bait adalah keluarga Rasulullah yang beriman dan juga istri-istrinya yang menjadi ibu kaum mu'minin Radhiyallahu ‘anhuma wa ardhaahuma, yang telah disucikan oleh Allah , sebagaimana firman-Nya,

”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya". (Al-Ahzab : 33)

Prinsip Kedelapan: Membenarkan adanya karomah para wali Allah. Karomah yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui sebagian mereka, berupa sesuatu yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbeda dengan Muktazilah dan Jahamiyah yang mengingkari adanya karomah. pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya. Namun sebagian orang pada zaman sekarang tersesat dalam masalah karomah, mereka berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang sebenarnya bukan termasuk karomah seperti jampi jampi, pekerjaan para ahli sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian luar biasa lainnya adalah karomah merupakan kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada para hamba-Nya yang sholeh dan bersumber dari Allah semata. Sedangkan sihir adalah kejadian yang luar biasa yang diperlihatkan para tukang sihir dan orangorang kafir dengan maksud untuk menyesatkan manusia dan mengeruk harta-harta mereka dan bersumber pada kekafiran dan kemaksiatan.

Prinsip Kesembilan: Dalam berdalil selalu mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam baik secara lahir maupun bathin sesuai dengan pemahaman Salafussalih.

Hal ini sesuai dengan wasiat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam,”Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidiin yang mendapat petunjuk".

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mendahulukan perkataan siapapun terhadap
firman Allah dan sabda Rasulullah. Oleh karena itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah. Setelah itu mereka mengambil apa-apa yang telah disepakati ulama umat ini. Segala hal yang diperselisihkan selalu dikembalikan kepada Al- Kitab dan As-Sunnah, sebagaimana firman Allah , Maka jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari akhir, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya". (An-Nisaa : 59)

Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema'shuman seseorang selain Rasulullah dan mereka tidak berta'ashub pada suatu pendapat sampai pendapat tersebut disesuaikan dengan Al- Kitab dan As-Sunnah. Mereka meyakini bahwa mujtahid itu bisa salah dan benar dalam ijtihadnya. Mereka tidak boleh berijtihad sembarangan kecuali siapa yang telah memenuhi persyaratan tertentu menurut ahlul 'ilmi.

Perbedaan-perbedaan diantara mereka dalam masalah ijtihad tidak boleh menimbulkan permusuhan dan saling memutuskan hubungan diantara mereka, sebagaimana dilakukan orangorang yang ta'ashub dan ahlul bid'ah. Mereka tetap metolerir perbedaan yang layak (wajar), dan tetap saling mencintai satu sama lain. Sebagian mereka tetap shalat di belakang yang lain betapapun perbedaan masalah far'i (cabang) diantara mereka. Sedang ahlul bid'ah saling memusuhi, mengkafirkan dan menghukumi sesat kepada setiap orang yang menyimpang dari golongan mereka.

Prinsip kesepuluh: Prinsip-prinsip di atas menjadikan mereka senantiasa berakhlak mulia sebagai pelengkap aqidah yang diyakininya.

Diantara sifat-sifat mulia tersebut adalah mereka beramar ma'ruf dan nahi mungkar sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,”

Jadilah kalian umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, beramar ma'ruf dan nahi munkar dan kalian beriman kepada Allah".(Ali-Imran : 110)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ”Barangsiapa diantara kamu menyaksikan suatu kemunkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, apabila tidak mampu maka rubahlah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya dan yang demikian itulah selemah-lemah iman". (HR. Muslim 1/Juz 2 hal. 22-25 syarah Nawawy dari Abu Sa'id Al-Khudry )

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tetap menjaga tegaknya syi'ar Islam dengan menegakkan shalat Jum'at dan shalat berjama'ah sebagai pembeda terhadap ahlul bid'ah dan orang-orang munafik yang tidak mendirikan shalat Jum'at maupun shalat Jama'ah.

Mereka juga menegakkan nasehat bagi setiap muslim dan bekerja sama serta tolong  menolong dalam kebajikan dan taqwa sebagaimana sabda Nabi,” Agama itu nasehat, kami bertanya : untuk siapa .? Beliau menjawab : Untuk Allah dan Rasul-Nya dan para imam kaum muslimin serta kaum muslimin pada umumnya". (41 HR.Muslim 2/36-37, Abu Daud 5/49944, dan An-Nasaai 7/4197, Imam Ahmad 4/102 dari Tamiim Ad-Dary )


Mereka juga tegar dalam menghadapi ujianujian dan sabar ketika mendapat cobaan-cobaan dan bersyukur ketika mendapatkan keni'matan dan menerimanya dengan ketentuan Allah. Singkatnya mereka selalu berahlak mulia dan berbuat baik kepada kedua orang tua, menyambung tali persaudaraan, berlaku baik dengan tetangga, dan mereka senantiasa melarang dari sikap bangga, sombong, dzolim (aniaya) sebagaimana firman Allah ,

”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".(An-Nisaa : 36)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, ”Sesempurna-sempurna iman seorang mu'min adalah yang baik ahlaknya". (HR. Ahmad 13 No. 7396, Tirmidzi 3/1162, Abu Daud 5/4682, dan Al- Haitsamy dalam Mawarid No. 1311, 1926 )

Semoga Allah Azza wa jalla menjadikan kita semua menjadi bagian dari mereka. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam, keluarganya beserta shabat-sahabatnya. Aamin.

Disarikan dari buku “Prinsip-Prinsip 'Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah” Syaikh Dr Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

http://dear.to/abusalma
Maktabah Abu Salma al-Atsari

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger