surat An-Nur ayat 31:
"Katakanlah kepada wanita beriman, Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, memelihara kemaluan mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa nampak. Hendaklah mereka menutupkan khimar13 mereka ke dada mereka; dan jangan menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, anak-anak mereka, anakanak suami mereka, saudara-saudara mereka, anak-anak saudara lakilaki mereka, anak-anak saudara perempuan mereka, wanita-wanita muslimah, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. janganlah mereka menghentak-hentakkan kaki mereka agar diketahui adanya perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah wahai orang-orang beriman, agar kalian beruntung
"Perlu diketahui,bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan itu ada dasarnya dari Sunnah, dan hal itu juga pernah dipraktekkan oleh para wanita di zaman Nabi _ sebagaimana ditunjukkan oleh sabda beliau _ kepada mereka,
"Janganlah wanita yang berihram itu mengenakan cadar maupun kaos tangan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 59 berkata,
"Ini menunjukkan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihram. Hal itu menunjukkan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka."
"Banyak nas-nas yang menunjukkan bahwa istri-istri Nabi me-makai cadar untuk menutup wajah-wajah mereka.
Diantara hadits-hadits maupun riwayat-riwayat yang mendukung pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
HADIST DARI AISYAH
"Saudah pernah keluar untuk suatu keperluan. Ini terjadi setelah turun ayat hijab. Dia adalah seorang wanita gemuk dimana dia tidak bisa menyembunyikan diri dari orang yang pernah mengenalnya (karena gemuknya). Umar melihat dia, lalu berkata, "Wahai Saudah, demi Allah, kamu tidak bisa menyembunyikan diri dari kami. Lihatlah, bagaimana kamu ini keluar-keluar. Maka, Saudah pun bergegas pulang yang ketika itu Rasulullah _ berada di rumah saya sedang makan malam dan tangan beliau _ masih memegang tulang yang masih tersisa sedikit dagingnya. Saudah masuk menemui Nabi _ dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku tadi keluar untuk suatu keperluan. Namun Umar mengatakan kepada saya begini-begini. Maka, Allah ta'ala menurunkan wahyu kepada beliau _. Dan masalah Saudah pun akhifnya terpecahkan. Kemudian dengan masih memegangi tulang tadi, beliau _bersabda,
"Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untukmemenuhi keperluan kalian
• Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (VIII: 430-431), Muslim (VII: 6-7), Ibnu Sa'ad
(VIII: 125-126), Ibnu Jarir (XXII: 25), Al-Baihaqi (VII: 88) dan Ahmad (VI: 56).
• Hijab di sini maksudnya adalah tabir untuk para istri Nabi yang disebutkan dalam firman Allah:
"Apabila kalian mempunyai keperluan dengan mereka hendaklah berbicara dari balik tabir. Karena hal itu lebih menjaga kesucian hati-hati kalian dan hati-hati mereka."
Ayat ini turun berkenaan dengan perkataan Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Vlll:428) dan lainnya
dari Anas yang berkata, 'Umar pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, yang mengunjungi engkau itu ada orang yang baik dan ada pula orang yang jahat. Alangkah baiknya kalau engkau menyuruh Ummahatul Mukminin untuk berhijab. Kemudian Allah menurunkan ayat ini.
Hadits ini menunjukkan bahwa Umar bisa mengenali Saudah dari badannya. Hal ini menunjukkan bahwa dia dalam keadaan terbuka wajahnya. Karena Aisyah menyebutkan bahwa Saudah bisa dikenali dari tubuhnya yang gemuk. Umar menginginkan supaya Saudah tidak dapat dikenali orang, oleh karena itu dia tidak usah keluar saja dari rumahnya. Akan tetapi Pembuat syariat (Allah) Yang Maha Bijaksana tidak menghendaki gagasan Umar tadi, karena hal itu akan memberatkan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini berkata, "Sesungguhnya Umar tidak ingin nantinya ada orang-orang yang memandangi istri Nabi _ sehingga dengan jelas dia berkata,'Buatkanlah hijab untuk istri-istri Engkau.' Usulan Umar tadi sangatlah perlu sehingga turunlah ayat Hijab. Di samping itu Umar juga berkeinginan agar istri-istri Nabi _ tidak usah keluar menampakkan dirinya, meskipun mereka memakai jilbab. Akan tetapi usulan ini terlalu berlebihan sehingga Nabi _ pun menolaknya.Nabi _ tetap membolehkan mereka keluar bila sewaktu-waktu ada keperluan agar mereka tidak merasa kerepotan dan keberatan."
Al-Qadhi lyadh berkata,
"Kewajiban berhijab yang dikhususkan bagi Ummahatul mukminin (maksudnya: istri-istri Nabi _) adalah meliputi juga menutup wajah dan kedua telapak tangan. Maka mereka tidak boleh membukanya meskipun untuk keperluan persaksian atau yang lainnya; dan mereka juga tidak boleh menampakkan wajahnya tersebut meskipun dalam keadaan berjilbab,kecuali karena keadaan darurat."
Al-Hafizh Ibnu Hajar (Vlll:530) berkata,
"Kemudian dia mengambil dalil dari hadits yang ada di dalam kitab Al-Muwatha' bahwa ketika Umar meninggal, Hafshah ditutupi oleh para sahabat wanitanya agar tidak bisa dikenali orang. Bahkan, Zainab binti Jahsy membuat penutup di atas tandunya agar tidak dikenali orang. Sekian.
Apa yang tersebut di atas bukanlah dalil (yang mapan) dari orang yang menganggap menutup wajah adalah hukumnya wajib bagi para wanita.Karena dalam kenyataan-nya sepeninggal Nabi _ para istri beliau _ berhaji dan melakukan thawaf. Para sahabat dan orang-orang sesudahnya juga mendengarkan hadits dari mereka, di-mana mereka hanyalah menutup seluruh badannya (dengan pakaian), namun tidak menutup wajahnya.
Dan telah tersebut di muka —dalam masalah Haji— pertanyaan Ibnu Juraij kepada Atha' tatkala dia menyebutkan thawafnya Aisyah: 'Itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab ataukah sesudahnya?' Maka dia menjawab, 'Saya tahu persis kalau hal itu terjadi setelah turunnya ayat hijab.' 76. Hadits ini diriwayatkan oleh
• Al-Bukhari (VIII:194-197) dengan syarahnya pada kitab FathAI-Bari), Muslim (VIII: 113-118),
• Ahmad (VI: 194-197), Ibnu Jarir (XVIII: 62-66) dan Abu Al-Qasim Al-Hanai di dalam kitab AI-Fawa-id (IX: 142/2) yang sekaligus menilai hadits ini hasan.
Lafazh lain yang ada di dalam tanda kurung adalah yang terdapat di dalam riwayat Al-Qasim Ai-Hana-i.
DARI ANAS,DALAM KISAH PERANG KHAIBAR DAN TERPILIHNYA SHAFIYAH MENJADI ISTRI NABI
Anas berkata, "Lalu, Rasulullah _ keluar dari Khaibar dan belum ada tanda-tanda untuk memperistrinya. Namun tatkala unta beliau yang hendak ditunggangi keluar Khaibar sudah dekat, maka beliau _ me-nyodorkan pahanya agar Shafiyah memancatkan telapak kakinya di atas paha beliau (untuk naik ke unta). Shafiyah tidak mau. Dia hanya mau meletakkan lututnya di atas paha Nabi _. Nabi _ pun lalu menutupinya dan memposisikan dia di belakang beliau _ (di atas unta).Beliau _ menutupkan selendang beliau _ di atas punggung dan wajah dia. Kemudian beliau _ mengikatkan selendang itu dari bawah kaki dia. Lalu beliau _pun berangkat. Beliau _memperlaku-kan dia sebagaimana memperlakukan istri-istri beliau _ yang lain.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII: 86-87) dengan beberapajalur periwayatan:
dari Abu Hurairah, dari Abu Ghathafan bin Tharif Al-Mirri, dari Anas bin Malik, dan dari Ummu Sinan Al-Aslamiyah. Ibnu Sa'ad berkata, 'Antara satu hadits dengan hadits lainnya saling melengkapi.' Saya katakan: Hadits serupa ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Anas yang telah kami kemukakan di muka pada hlm. 109.
DARI AISYAH dalam qishah AL-IFKI
"Biasa para pengendara melewati kami yang sedang berihram bersama Rasulullah _. Maka, jika mereka lewat di hadapan kami, maka masing-masing dari kami menjulurkan jilbab yang ada di atas kepala untuk menutup muka. Namun bila mereka sudah berlalu dari kami, maka kami pun membukanya kembali seperti semula."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (VI: 30), Abu Dawud, Ibnu Al-Jarud (hadrts no.418),Al-Baihaqi di dalam kitab Al-Haj. Sanad hadits ini hasan karena adanya beberapa hadits pendukung. Dan yang termasuk salah satu hadits pendukungnya adalah hadits pada urutan sesudahnya. Kedua hadits ini juga termuat di dalam kitab Al Irwa' (hadits no.1023 dan 1024)
DARI ASMA’ binti ABU BAKAR
"Kami biasa menutup wajah kami dari pandangan laki-laki dan se-belum itu kami juga biasa menyisir rambut ketika ihram."
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim (1:545). Dia berkata, "Hadits ini shahih, karena para periwayatnya adalah biasa dipakai oleh Al-Bukhari dan Muslim." Hal ini disepakati oleh Adz- Dzahabi. Akan tetapi sebenarnya para periwayat hadits ini hanya dipakai oleh Muslim saja. Karena Zakaria bin Adi yang ada dalam sanad hadits ini dipakai oleh Al-Bukhari tidak dalam kitabnya AI-Jami'Ash Shahih sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Tahdzib.
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh Malik (1:305) dari Fatimah binti Al-Mundzir.
DARI SHAFIYAH binti SYAIBAH
"Saya pernah melihat Aisyah melakukan thawaf mengelilingi ka'bah dengan memakai cadar."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII: 49). Begitu juga oleh Abdurrazzaq di dalam kitab AI-Mushannaf (V: 24-25) dari Ibnu Juraij, dari Al-Hasan bin Muslim, dari Shafiyyah. Semua periwayat hadits ini tsiqah, kecuali Ibnu Juraij yang mudallis dan meriwayatkan hadits ini dengan lafazh 'dari…..
DARI ABDULLAH bin UMAR
"Tatkala Nabi _sedang memperhatikan Shafiyah, beliau _meiihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau _ tahu kalau itu Aisyah dari cadarnya
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII:90). Katanya: Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al-Walid Al-Azruqi: Telah mengabarkan kepada kami Abdurrahamn bin Abur Rijal dari dia, (yaitu Abdullah bin Umar). Seluruh periwayat hadits ini tsiqah, namun ada keterputusan antara Abur Rijal dengan Ibnu Umar. Akan tetapi ada hadits serupa yang mendukungnya yang diriwayatkan oleh Atha' secara mursal. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Manshur bin Asakir di dalam kitab Al-Arba'in fi Manaqib Ummahat AI-Mu'minin (hlm. 89).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dengan dua jalur periwayatan lain yang sumbernya dari Al-Waqidi, dimana dia ini salah seorang periwayat yang dha'if sebagaimana telah disebutkan di muka.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad melalui jalur Al- Waqidi dengan sanadnyabahwa Hindun binti Utbah membuka cadarnya ketika berbaiat kepada Nabi_.
Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mandah melalui jalur periwayatanlain sebagaimana tersebut di dalam biografinya di dalam kitab Al-lshabah (IV:409).
DARI IBRAHIM bin ABDURRAHMAN bin AUF
"Bahwa Umar bin Khathab memberi izin kepada para istri Nabi _ untuk menunaikan haji yang terakhir kalinya. Umar mengutus Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf untuk menemani mereka." Ibrahim berkata, "Ketika itu Utsman berseru: 'Awas, jangan sampai ada seorang pun yang mendekati mereka dan jangan ada seorang pun yang memandangi mereka!'
Para istri Nabi _ tadi berada di dalam sekedup di atas unta. Tatkala m'ereka turun untuk singgah, Utsman tempatkan mereka di suatu dataran, sementara Utsman sendiri bersama Abdurrahman bin Auf berada di balik bukit. Dan tidak ada seorang pun yang naik ke tempat di mana mereka tinggal."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII: 152), katanya: Telah meriwayatkan kepada kami Al-Walid bin Atha' bin Al-Aghar Al-Makki, katanya: Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad, dari bapaknya, dari kakeknyabahwa Umar Ibnu Al-Khathab...dst.
Sanad hadits ini hasan. Para periwayat hadits ini adalah orang-orang tsiqah, dan biasa dipakai oleh Al-Bukhari dan Muslim.kecuali Al-Walid ini saja. Adz-Dzahabi menyebutkan tentang dia ini di dalam kitabnya Al-Mizan, yang diikuti oleh Al-Hafizh di dalam kitab AI-LiSan. Keduanya berkata, "Ibnu Adi menyebutkan tentang dia. Tidak semestinya dia dikatakan sedemikian itu. Karena dia itu telah dinilai tsiqah. Kemudian Al- Walid menyampaikan hadits kepadanya. Lalu, Ibnu Adi pun berlepas diri dari hadits yang dia sampaikan."
Namun ada riwayat lain dari Al-Waqidi yang menjadi penguat haditsnya Al-Walid ini yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad (VIII: 151). Di dalam atsar ini disebutkan bahwa para istri Nabi _ itu menutup wajah mereka. Akan tetapi atsar ini tidak menunjukkan kewajiban hal tersebut atas mereka. Sehingga hal itu tidak bertentangan dengan perkataan Al-Hafizh yang telah kami sebutkan tadi, bahwa mereka menampakkan diri di depan para sahabat lain dalam keadaan tertutup seluruh badannya, namun tidak tertutup wajahnya. Karena hal itu adalah merupakan suatu keperluan atau kemudahan yang memang diberikan oleh Pembuat syariat. Perkatan Al-Hafizh di atas nampaknya menyiratkan hal yang demikian ini. Wallahu a'lam. Ahmad (Vl:219) telah meriwayatkan dari Yazid bin Babanus, katanya: Pernah saya dan bersama sahabat saya datang ke Aisyah, lalu kami meminta izin masuk. Aisyah kemudian memberikan bantal kepada kami, dan saya pun menutupkan tabir, Kemu-dian sahabatku tadi berkata,
"Wahai.Ummul Mukminin, bagaimana pendapatmu tentang perkelahian.... dst.” Sanad hadits ini hasan.
Hadits-hadits yang di sebutkan di atas secara jelas menunjuk-kan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal dizaman Nabi _ dan istri-istri beliau _ pun mengenakannya.Selanjutnya, hal semacam itu juga dipraktekanoleh wanita-wanita shalehah sepeninggal mereka. Berikut ini akan di tampilkan dua contohnya:
DARI ASHIM AL-AHWAL
"Kami pernah mengunjungi Hafshah bin Sirin yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekalian untuk menutup wajahnya. Lalu, saya katakan kepadanya, 'Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Allah ta'ala telah berfirman:
"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari
haidh dan menyusui) yang sudah tidak punya keinginan
nikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian mereka."85
Ashim berkata kepada kami, 'Lalu dia mengatakan kepada kami, 'Apa lagi sesudah itu?' Kami menjawab,'.. dan kalau
mereka mau menjaga kesucian dirinya itu akan lebih baik bagi mereka." Dia kemudian . berkata, 'Ayat itu menetapkan adanya aturan hijab.'"
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (VII:93) melalui jalur Sa'dan bin Nashr: Telah meriwayatkan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Ashim bin Al-Ahwal... dan seterusnya.
Sanad hadits ini shahih. Sa'dan, nama aslinya adalah Sa'id. Namun dia lebih sering
dipanggil Sa'dan, sebagaimana disebutkan oleh Al-Khathib di dalam kitab Tarikh-nya.
Dia menyebutkan tentang ketsiqahan diri Sa'dan ini dari Daraquthni dan lainnya.
HAFSHAH bin SHIRIN adalah Ummu Hudzail Al-Anshariyah Al-Bashriyah, salah seorang tabi'iyah yang utama. Dia hafal Al-Qur'an ketika berumur 12 tahun dan meninggal pada usia 70 tahun.lyas bin Mu'awiyah berkata, Tidak ada seorang pun yang lebih saya utamakan daripada Hafshah." Dia meninggal pada tahun 101 H.
Para ahli tafsir berbeda-beda dalam menafsirkan maksud perkataan ini. Namun kebanyakan dari mereka menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 'jilbab', sebagaimana yang dikatakan oleh Hafshah ini. Ibnu Abbas serta dari beberapa orang tabi'in. Dan penafsiran semacam itu juga dibenarkan oleh Al-Qurthubi.
Jabir bin Zaid (dia seorang yang tsiqah lagi ahli dalam hal fikih, yang meninggal tahun 93H.)mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah 'khimar'. Ibnu Jarir dan Abu Bakar Al Jashash (111:411) meriwayatkan penafsiran semacam itu. Boleh jadi sandarannya adalah sebagaimana yang tersebut di dalam tafsir Al-Qurthubi:
"Orang Arab mengatakan: imra-atun wadhi’ adalah untuk seorang perempuan yang sudah tua yang menanggalkan khimar-nya."
Hal itu dikuatkan lagi bahwa ayat ini disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nur sesudah disebutkannya ayat yang menyuruh kaum wanita untuk mengenakan khimar secara mutlak. Lalu, seakan-akan Allah hendak mentaqyidnya, lalu menurunkan ayat ini. Wallahu a'lam.Kemudian saya juga melihat bahwa Ibnu Abbas menjelaskan ayat di atas dengan makna demikian, dan bahwa ayat: "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haidh dan menyusui) yang sudah tidak punya keinginan nikah, tidaklah berdosa menanggalkan pakaian mereka asal tidak dengan maksud menampakkan perhiasan"'adalah merupakan pengecualian dari ayat yang memerintahkan mengenakan khimar.
Penafsiran Ibnu Abbas di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadits no.4111) dan Al-Baihaqi (VII: 93) dengan sanad hasan. Yang jelas bahwa Jabir bin Zaid menerima penafsiran semacam itu dari Ibnu Abbas.
Dia memang termasuk orang yang banyak meriwayatkan tentang Ibnu Abbas. Boleh jadi inilah penafsiran yang tepat untuk lafazh: tsiyabahunna (pakaian mereka) yang dalam bentuk jamak. Saya juga melihat bahwa Syaikh Abdurrahman Ibnu Nashir As Sa'di menafsirkan semacam itu. Dia berkata di dalam kitab tafsir-nya (V: 445): "Yakni, pakaian yang tampak, seperti khimar dan sejenisnya yang sebelumnya telah Allah tetapkan untuk dikenakan oleh wanita sebagaimana tersebut di dalam ayat: '.... dan hendaklah mereka menutupkan khimar mereka ke dadanya'.
Al-Hafizh Abu Al-Hasan Al-Qathan juga telah menyampaikan .penjelasan yang sama di dalam kitabnya An-Nazharila Ahkam An Nazhar. 86. Sebagian dari ulama mutaakhirin mendukung apa yang telah kami sebutkan di atas dengan satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (1:389) melalui jalur Farj bin Fadhalah, dari Abdul Khabir bin Tsabit bin Qais bin Syammas, dari bapaknya, dari kekeknya yang berkata:
"Pernah seorangperempuan yang bernama UmmuKhalad datang kepada Nabi _dengan mengenakan cadar menanyakan perihal anaknya yang mati terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi M menegurnya, 'Kamu datang untuk menanyakan perihal anakmu, sementara kamu datang dalam keadaan bercadar?' Dia menjawab, 'Bilaanakku mendapatkan musibah, maka tidakakan bergunalah rasa maluku ini.' Rasulullah_ pun berkata, 'Anakmu mendapatkan dua pahala mati syahid.'Dia menjawab,'Mengapa begitu, wahai Rasulullah?'Beliau menjawab, 'Karena anakmu dibunuh oleh seorang Ahli kitab.'"
Ini merupakan nas yang jelas mengenai keutamaan cadar, yang dengan memakai cadar seperti itu tergolong menjaga rasa malu. Perbuatan dia ini disetujui oleh Rasulullah Akan tetapi kita tidak bisa berhujjah dengan hadits dengan sanad semacam ini, karena Al-Bukhari berkata: "Abdul Khabir ini, bila diambil riwayatnya oleh Farj bin Fadhalah, maka haditsnya laisa bil qaim (lemah). Farj sering meriwayatkan hadits-hadits mungkar."
Abu Hatim Ar-Razi berkata, "Abdul Khabir, haditsnya laisa bilqaim(\emar)), munkarul hadits (tertolak), sebagaimana tersebut di dalam kitab Mukhtashar Al-Mundziri (III: 359)."
Di sisi lain di dalam kitab TsiqahAI-'Ajali(h\m. 322, cetBeirut) pada bahasan biografi Ubaid bin Umar Al-Makki disebutkan: "Ada seorang wanita cantik yang tinggal di Mekkah bersama suaminya. Suatu hari dia melihat wajahnya di cermin, lalu berkata kepada suaminya, Apakah engkau tahu ada seorang yang meskipun melihat wajahku ini namun tetap tidak tergoda?' Suaminya menjawab, 'Ya, saya tahu.' Dia bertanya, 'Siapa?' Suaminya menjawab, 'Dia adalah Ubaid bin Umair.' Istrinya berkata lagi, 'Izinkanlah aku untuk mencoba menggodanya!' Suaminya berkata, 'Ya, aku mengizinkan.' Kemudian wanita tadi pun datang kepada Ubaid dan meminta fatwa kepadanya. Keduanya lalu berduaan di salah satu sudut masjidil haram. Wanita tadi berkata, 'Saya buka wajahku bagai sepotong rembulan.' Lalu, Ubaid pun menegur, 'Wahai hambaAllah, bertakwalah kepada Allah....'"
DARI ABU ABDILLAH MUHAMMAD bin MUSA AL-QADHI
"Aku pernah menghadiri majlisnya Musa bin Ishaq Al-Qadhi yang menjadi hakim di kota Rai pada tahun 286 H. Ketika itu ada seorang perempuan mengadukan persoalan karena walinya mengklaim bahwa suaminya masih mempunyai hutang mahar sebesar lima ratus dinar, namun dia tidak mengakuinya. Musa Al-Qadhi berkata, 'Manasaksi-saksinya?' Wanita itu berkata, 'Itu, sayatelah mendatangkan saksisaksinya.' Maka sebagian saksi-saksi yang ada itu diminta menghadap kepada wanita tadi untuk memberikan persaksiaannya.Lalu, salah seorang di antara para saksi itu berkata kepada wanita tadi, 'Bangunlah!' Melihat hal itu suaminya berkata, 'Apa yang kalian lakukan?' Salah seorang wakil dari mereka berkata, 'Para saksi ini ingin melihat istrimu dalam keadaan terbuka wajahnya, agar mereka dapat mengenalnya dengan jelas.'
Lantas suami wanita itu berkata, 'Saya mengaku di hadapan hakim bahwa aku memang mempunyai hutang mahar seperti yang diklaimkan itu. Tetapi istri saya jangan disuruh untuk membuka wajahnya.'Lalu istrinya pun menimpali, 'Saya pun bersaksi di hadapan hakim bahwa saya telah menghibahkan mahar ini kepadanya dan saya telah bebaskan dia dari (tanggungan mahar ini) di dunia dan di akhirat.'Lalu, hakim berkata, 'Ini tercatat sebagai bentuk akhlak yang mulia.
Riwayat ini diriwayatkan oleh Al-Khathib di dalam kitab Tarikh Baghdad(XIII: 53).
Berdasar dari apa yang telah di sebutkan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa masalah menutup wajah bagi seorang wanita dengan cadar atau yang sejenis itu seperti yang sekarang ini dikenakan oleh para wanita yang menjaga dirinya adalah perkara yang disyariatkan dan termasuk amalan yang terpuji, meskipun itu bukan hal yang diwajibkan.Namun, yang mengenakannya berarti dia telah melakukan suatu kebaikan dan yang tidak melakukannya pun tidak berdosa.
Dari penjelasan di atas nampak teranglah syarat pertama dari pakaian wanita bila dia keluar rumah, yaitu menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.
CATATAN I
Tidak diragukan lagi bahwa yang namanya wajah adalah sebagaimana telah DI sebutkan di muka dan sebagaimana terkenal di dalam kitab-kitab fikih, yaitu batasnya dari tempat tumbuhnya rambut kepala bagian depan hingga bawah dagu dan mulai dari cuping telinga kanan hingga cuping telinga kiri. Pengertian seperti itulah yang telah disebutkan oleh para ahli bahasa menurut arti asalnya. Al-Ashfahani berkata di dalam kitab Mufradat-nya,
"Wajah adalah anggota badan. Karena wajah merupakan anggota badan yang pertama kali bisa Anda tatap dan merupakan bagian yang paling mulia diantara anggota badan yang lain, maka kata wajah ini digunakan untuk menamai setiap segala sesuatu yang berada di depan, yang paling mulia atau yang paling asasi."
Bila telah jelas masalahnya demikian, maka pendapat Al Ustadz Al-Maududi di dalam tulisan bantahannya terhadap tulisan dimana dia berkata: "Adapun yang namanya wajah, maka yang dimaksud bukanlah hanya bulatan wajah saja, akan tetapi meliputi juga seluruh bagian telinga, menurut pengertian umumnya."Begitulah kata dia. tidak tahu apa dasarnya. Karena apa yang dia katakan itu bertentangan dengan pendapat ulama bahasa dalam mendefinisikan wajah sebagaimana tersebut di atas; dan juga bertentangan dengan hadits Nabi _ yang cukup jelas yang menyebutkan: "Kedua telinga adalah termasuk bagian dari kepala." Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dari Ibnu Abbas dengan sanad shahih dan juga terdapat banyak hadits lain yang mendukung sebagaimana di sebutkan di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Hlm. 40
CATATAN II
Firman Allah ta'ala di dalam surat An Nurayat 31: "...atau kepada kaum wanita mereka," maksudnya adalah kaum wanita mukminat, sebagaimana dikatakan oleh Mujahid dan lainnya dari kalangan ulama salaf. Berbeda dengan yang dikatakan oleh ulama-ulama belakangan. Mereka berpendapat, bahwa maksud ayat di atas adalah kaum wanita yang baik-baik, apakah muslimat maupun kafir.
Di dalam kitabnya Fat-hu Al-Qadir (IV:22) Syaukani berkata,
"Disandarkannya kata 'nisa' (wanita-wanita) kepada mereka (yaitu: kaum mukminat) menunjukkan bahwa yang di maksud adalah khusus, yaitu wanita-wanita mukminat."
Di dalam kitab Al-Adab (hlm. 407 cet. Libanon) Al-Baihaqi berkata,
"Adapun mengenai perkataan 'nisa-ihinna' telah disampaikan kepada kami dari Umar bin Khathab bahwa dia pernah menulis surat kepada Ubaidah bin Jarrah yang isinya: 'Sesungguhnya ada beberapa kaum wanita dari kalangan kaum muslimin masuk ke tempat pemandian yang di situ terdapat juga wanita-wanita Ahli kitab. Oleh karena itu, laranglah mereka!'
Dalam riwayat lain Umar berkata
"Sesungguhnya tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dilihat auratnya kecuali oleh wanita yang seagama dengannya."
Riwayat pertama di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di dalam kitab Sunan-nya (Vll:95) melalui jalur Isa bin Yunus, katanya, "Telah meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Al-Ghaz bin Rabi'ah Al-Jirsyi dari Ubadah bin Nusai Al-Kindi, katanya, 'Umar pernah menulis....'" Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits tersebut (XVIII:95).
Menurut saya, para periwayat hadits itu orang-orang yang bisa dipercaya. Akan tetapi sanadnya munqathi' (terputus), karena Ubadah tidak bertemu dengan Umar. Diantara Umar dan Ubadah, di dalam sanad hadits tersebut terdapat Nusai, yaitu ayah Ubadah. Begitu juga Sa'id bin Manshur. Dia juga meriwayatkan hadits itu di dalam kitab Sunan-nya sebagaimana tersebut di dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (111:284). Dan dia juga meriwayatkan hadits lain melalui jalur Al-Baihaqi, katanya, 'Telah mengabarkan kepada kami Ismail bin lyasy, dari Hisyam Al-Ghaz, dari Ubadah bin Nusai, dari bapaknya, dari Al-Harits bin Qais, katanya, 'Umar pernah menulis....' Para periwayat hadits di atas orang-orang yang dapat dipercaya, kecuali Nusai. Tidak ada ulama hadits yang menilai dia sebagai periwayat yang dapat dipercaya, kecuali Ibnu Hibban (V:482).
Sedangkan Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya At-Taqrib menyatakan bahwa dia seorang periwayat yang majhul (tidak dikenal). Namun demikian, pengertian semacam itu, (yaitu nisa-ihinna yang dimaksud para wanita mukminat ) telah menjadi kesepakatan para ahli tafsirdan ahli tahqiq, seperti: Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Syaukani dan ulama lainnya yang dalam menafsirkan ayat Al- Qur'an mereka senantiasa berpegang pada hadits-hadits Nabi _ Adapun pendapat para ulama khalaf tidak perlu kita perhitungkan.
Bila telah jelas seperti itu, maka ketahuilah, adanya bahaya yang sekarang ini menimpa kebanyakan orang kaya di kalangan orangorang Islam yaitu dengan adanya pembantu-pembantu wanita kafir di rumah-rumah mereka. Sebab, akan sulit dihindari terjadinya fitnah atau terlanggarnya syariat oleh suami-istri muslim tadi atau oleh salah satu di antara keduanya (dengan adanya pembantu wanita kafir itu)!
Bahayanya terhadap suami jelas, yaitu dikhawatirkan akan terjadinya perbuatan zina antara dia dengan pembantu tadi. Lebih-lebih bila suami tidak memiliki sifat iffah (sifat menjaga kesucian diri) di hadapan pembantu wanitanya itu karena pembantunya tadi wanita kafir yang tidak tau halal dan haram. Al-Qur'an telah menjelaskan bagaimana sikap dan perilaku ahli kitab (tentu termasuk juga wanita-wanitanya) yang seperti itu. Lalu, bagaimana kalau yang menjadi pembantu di rumah orang-orang Islam tadi wanita-wanita Srilangka para penyembah berhala yang tidak mempunyai kitab?
Adapun bahayanya terhadap istri, jelas sulit sekali di zaman sekarang ini para istri dan anak-anak perempuannya yang sudah baligh untuk selalu berjilbab agar tidak terlihat oleh pembantu wanitanya yang kafir, sebagaimana mereka berjilbab agar tidak terlihat oleh kaum laki-laki. Walaupun tentu ada saja yang bisa bersikap begitu, yaitu orang-orang yang dilindungi oleh Allah. Namun jumlah mereka sedikit sekali...................................BERSAMBUNG .....
DI COPAS DARI BUKU JILBAB WANITA MUSLIMAH Buku terjemahan
dari kitab jilbab Mar'ah Muslimah -edisi revisi- karya Syaikh Al-
Albani.
0 komentar:
Posting Komentar