MU’TAZILAH
Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.)
Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)
Gerakan Kaum Mutazilah
Gerakan kaum Mu’tazilah pada mulanya memiliki dua cabang:
1. Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubaid dengan murid-muridnya, yaitu Utsman bin Ath Thawil, Hafasah bin Salim dan lain-lain. Berlangsung pada permulaan abad ke-2 H. Kemudian pada awal abad ke-3 H wilayah Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al Allah (wafat 235 H), kemudian Ibrahim bin sayyar (221 H) kemudian tokoh Mu’tazilah lainnya.
2. Di Baghdad (Iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyar bin Al Mu’tamar Salah seorang pemimpin Basrah yang pindah ke Baghdad kemudian mendapat dukungan dari kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al Musdar, Ahmad bin Abi Daud dan lain-lain.
Inilah imam-imam Mu’tazilah di sekitar abad ke-2 dan ke-3 H. di Basrah dan di Baghdad. Adapun khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut aliran ini dan mendukungnya adalah :
1. Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125 – 126)
2. Ma’mun bin Harun Ar Rasyid (Khalifah Bani Abbasiyyah, 198 – 218 H)
3. Al Mu’tasim bin Harun Ar Rasyid (Khalifah Bani Abbasiyyah, 218 – 227)
4. Al Watsiq bin AL MU’tashim (Khalifah Bani Abbasiyah 227 – 232 H)
Di antara Tokoh-tokoh ulama Mu’tazilah lainnya adalah:
1. Utsman Al Jahidz, pengarang kitab Al Hewan (wafat 255 H).
2. Syarif Radhi (406)
3. Abdul Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi’ul Qudhat.
4. Syaikh Zamakhsari pengarang tafsir Al Kasysyaf (528).
5. Ibnu Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655).
Paham Mu’tazilah
Abul Hasan AL Kayyath berkata dalam kitabnya Al Intisar : “Tidak seorang-pun berhak mengaku sebagai penganut Mu’tazilah sebelum ia mengakui al Ushul Khamsah (lima dasar) yaitu : At Tauhid, al Adl, al Wa’du wal wa’iid, al Manzilah baina manzilatain dan al amru bil ma’ruf wan nahyi an munkar. Jika ia telah menganut semuanya, maka ia telah menganut paham mu’tazilah.
Itulah cakupan dari pemahaman sekte ini. Secara singkat pengertian masing-masing dasar tersebut adalah sebagai berikut :
1. TAUHID, memiliki arti “penetapan bahwa al Qur'an itu adalah makhluk”. Sebab jika al Qur'an bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah dzat yang Qadiim (menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika al Qur'an adalah Qadiim, berarti syirik/ tidak ber-tauhid).
2. AL ‘ADL, memiliki arti “pengingkaran terhadap taqdir”, sebab –seperti kata mereka– bahwa Allah tidak menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkannya. Apabila Allah menciptakan keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya, berarti Dia berbuat dzalim. Sedang Allah adalah adil dan tidak berbuat dzalim.
3. AL WA”DU WAL WA”IID (terlaksananya ancaman), maksudnya adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak boleh bagi Allah untuk tidak menyiksanya dan menyelisihi ancaman-Nya, sebab Allah tidak meng-ingkari janji. Artinya –menurut mereka– Allah tidak memaafkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik) bagi yang dikehendakin-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah.
4. AL MANZILAH BAINA MANZILATAIN, artinya orang yang berbuat dosa besar berarti keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran. Akan tetapi ia berada dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mu’min dan tidak juga kafir).
5. AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR, yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Beberapa I’tiqaq kaum Mu’tazilah yang Bertentangan dengan Ahlus Sunnah
1. Mereka berpendapat bahwa baik buruknya sesuatu ditentukan oleh akal dan bukan oleh syari’at. Dengan demikian –dalam pandangan mereka– akal menduduki kedudukan yang lebih tinggi dari pada syari’at.
2. Mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat. Apa yang tercantum dalam al Qur'an dan sunnah berupa asma’ dan sifat Allah merupakan sekedar nama yang tidak memiliki pengaruh sedikitpun dari nama tersebut. Dengan demikian mereka menafikkan adanya sifat-sifat tinggi dan mulia bagi Allah.
3. Mereka berpendapat bahwa al Qur'an adalah makhluk. Ahlus sunnah berpendapat dan bersepakat bahwa al Qur'an adalah Kalamulloh dan bukan makhluk.
4. Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar dari golongan mu’min, maka dia tidak disebut lagi sebagai seorang mu’min namun juga tidak disebut kafir. Ahlus sunnah berpendapat bahwa seorang mu’min yang berbuat dosa besar, ia tetap disebut sebagai seorang mu’min yang berbuat kefasikan.
5. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat nanti pada hari kiamat (ketika di dalam surga), karena hal itu akan menimbulkan pendapat, seolah-olah Allah berada di dalam surga atau Allah dapat dilihat. Ahlus sunnah berpendapat bahwa orang-orang beriman yang telah masuk surga akan dapat melihat Allah. (Q.S. al Qiyamah : 22-23).
6. Mereka tidak menyakini bahwa Nabi Muhammad mi’raj dengan ruh dan jasadnya.
7. Mereka berpendapat bahwa manusialah yang menjadika pekerjaannya, dan Allah sama sekali tidak ikut campur dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
8. Mereka tidak menyakini adanya “Arsy dan Kursi.” Mereka mengatakan bahwa jika kedua-duanya benar-benar sebesar itu –sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits– lalu diletakkan dimana kedua benda tersebut. Mereka mengatakan bahwa kedua benda tersebut hanyalah sekedar menggambarkan kebesaran dan keagungan Allah.
9. Mereka juga tidak mengakui adanya malaikat “Kiraman Katibin” atau malaikat Raqib dan Atid. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah telah meliputi segalanya, sehingga tidak perlu lagi mengambil pembantu dari kalangan malaikat.
10. Mereka tidak menyakini adanya mizan, hisab, shirat, al haudh dan syafa’at pada hari kiamat.
Peristiwa yang paling menggemparkan dalam sejarah perjalanan sekte mu’tazilah ini adalah peristiwa Al Qur’an ialah makhluk. Sebuah peristiwa yang telah menelan ribuan korban dari kaum muslimin, yaitu mereka yang tidak setuju pada pendapat bahwa Al Qur'an adalah makhluk. Mereka tetap bersikukuh pada pendapat mereka, bahwa Al Qur'an adalah kalamullah sebagaimana yang dipahami para salaf. Termasuk ulama yang mendapatkan ujian berat dari peristiwa Al Qur'an makhluk adalah Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
SESATKAH MU’TAZILAH?
Dari ke lima landasannya dapat di identifikasi kesesatan orang yang berfaham mu’tazilah.
Ditambah prinsip-prinsip lain seperti
- Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
- Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
- Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)
Betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
Sama halnya dengan khawarij ,paham mu’tazilah juga bisa tumbuh saat ini.Catatan ini bukan dalam rangka menvonis kelompok ini teridentifikasi sebagai neo mu’tazilah,tokoh ini pemikirannya mu’tazilah.Tapi dari penjelasan singkat ini kita bisa mentashfiyyah diri kita dari pemahaman mu’tazilah.
Kenyatannya jika kita mau mencermati catatan singkat ini ,kita dapat mengetahui kadang dalam satu kelompok ,firqoh,golongan,pergerakan di masa sekarang ini ada beberapa faham yang dianut sekaligus.
Pada firqoh ini tumbuh berkembang tidak berurusan dengan politik seperti yang ditempuh firqah Khawarij dan Syi’ah, tetapi lebih kepada sebuah gerakan pemikiran yang senang berdebat yang menempuh metode mantiq Yunani dan filsafatnya untuk menguatkan gagasannya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Syi’ah
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Syi’ah merupakan madzab politik yang pertama kali muncul dalam kancah perpecahan umat Islam. Sekte ini uncul dan semakin nampak pada masa Khalifah Ustman telah terbunuh. Para ahli sejarah banyak menyimpulkan bahwa pencetus sekte ini adalah seorang tokoh yang bernama Abdullah bin saba’, seorang pendeta yahudi di Yaman yang berpura pura masuk Islam dengan tujuan untuk menghancurkan Islam dari dari dalam. Abdullah bin saba’ merengek dihadapan khalifah Ustman untuk diberi jabatan atas keislamanya, namun beliau menolak. Sejak itulah dendam Abdullah bin saba’ kepada Ustman semakin memuncak.
Langkah politik Abdullah bin saba’ dimulai dengan adanya demonstrasi penutupan agar khalifah Ustman diturunkan dari jabatanya dengan siasat mengedepankan siasat Ali sebagai gantinya. Beberapa gelintir kaum muslimin terjebak dalm perangkap ini, sehingga mereka mendukung gerakan ini. Sahabat Ali melihat gelagat jahat dari makar yang dibuat oleh Abdullah bin saba’, sehingga beliau membuat langkah-langkah defensif untuk membendung gerakan Abdullah bin saba’. Namun apa yang diharapkan oleh Abdullah bin saba’ tercapailah sudah yaitu dengan terbunuhnya Khalifah Ustman bin Affan yang semua itu tidak lepas dari rekayasa Abdullah bin Saba’. Lalu naiklah khalifah Ali sebagai Amirul mu’minin mengganti-kan Utsman bin Affan. Namun setelah naiknya Ali sebagai khalifah, Abdullah bin saba’ mem-buat strategi baru untuk melampiaskan dendamnya; memecah belah umat Islam dan meng-hancurkan mereka.
Banyak sikap aneh dan pemahaman sesat Abdullah bin saba’ yang berkembang sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Di antaranya bahwa khalifah Ali masih hidup dan akan kem-bali lagi kedunia untuk menuntut balas atas perbuatan khalifah yang di rampas secara tidak sah oleh ketiga khalifah sebelumnya. Ia juga berpendapat bahwa Ali adalah Tuhan yang harus disembah, kadang ia juga mengatakan bahwa Ali adalah Nabi yang sebenarnya, dan bukan Muhammad. Lebih parah lagi bahwa cukup banyak kaum Muslimin yang imannya lemah terperangkap pada jebakan Abdullah bin saba’ ini. Hingga akhirnya mereka mencintai Ali di luar batas kewajaran. Ada yang menuhankan beliau, ada juga yang mendewakan beliau dan ada pula yang hanya sebatas mendudukkan di atas ketiga sahabat sebelumya.
Fitnah Abdullah bin saba’ bukan hanya sampai kepada penuhanan Ali bin Abi Thalib saja, namun juga meluas hingga pada keturunan sang khalifah tersebut. Hingga munculah istilah Syia’ah Itsna Asyariah, yaitu sekte syi’ah yang menjadikan 12 keturunan Ali sebagai imam mereka yang ma’sum. Ada pula yang mengambil 7 imam dari 12 imam tersebut dan ada pula yang mengambil imam Zaid yang kemudian terkenal dengan sebutan Syi’ah Zaidiyah.
Demikian perkembangan Syi’ah, sebuah partai yang semula bernuansa politik namun lama kelamaan berkembang menjadi sebuah sekte yang lebih banyak berbuatan aqidah dan syari’ah. Bahkan sekte tersebut telah berani memunculkan suatu madzab fiqh mereka yang terkenal, yaitu Ja’fariyah.
Beberapa I’tiqad kaum Syi’ah yang bertentangan dengan Ahlus sunah
1. Adanya wasiat tentang amanat Khalifah yang diberikan Rasulullah Shallallohu’alaihi wa salalm. kepada Ali Bin Abi Thalib sebelum meningnya beliau. Dengan anggapan seperti itu akhirnya kelompok Syi’ah mengangap bahwa khalifah rasyidah sebelum Ali merampas hak khalifah yang seharusnya dimiliki oleh Ali Radhiallohu’anh.
2.Mereka hanya mengartikan pengertian Ahlul, Bait sebatas keturunan Ali dan Fatimah. Lebih dari pada itu mereka menolak bila seluruh Ummul Mu’minin dimasukkan dalam kelompok Ahlul Bait.
3. Tentang persoalan imamah, mereka hanya menerima imamah tersebut hanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan fatimah. Dan imam tersebut haus ma’sum dari segala jenis dosa. Mereka juga menganggap bahwa imam-imam tersebut lebih mulia dari seluruh manusia bahkan lebih mulia dari Nabi Muhamad dan para sahabat.
4. Kaum Syi’ah telah mengkafirkan ketiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib. Bahkan mereka juga mengkafirkan sebagian besar para sahabat, kecuali hanya segelintir saja yang tidak mereka kafirkan.
5. Mereka menganggap imam yang kedua belas yang mereka sebut dengan imam mahdi, kini sedang bersembunyi, dan suatu ketika akan datang kedunia dan memenuhinya dengan keadilan ebagaiman sebelumnya telah dipenuhi dengan kezhaliman.
6. Mereka memiliki mushaf yang berbeda dengan mushaf Ustmani yang merupakan mushaf seluruh kaum Muslimin. Kalaulah mereka hari ini menunjukkan mushaf maka tindakan itu merupakan taqiyah mengelabuhi lawan-lawan politiknya.
7. Mereka meyakini boleh kawin mut’ah (kawin kontrak), yang menurut pemahaman ahlu sunnah hukum kawin mut’ah seperti itu telah dimasuki dengan syari’at yang datang se-telahnya. Ahlu sunah menganggap bahwa perbuatan nikah mut’ah sama hukumnya dengan zina.
8. Mereka memiliki hari Nairuz, yaitu hari tahun barunya bangsa Persi. Sebagaimana mereka berpendapat bahwa mandi pada hari itu adalah sunah.
9. Mereka hanya menerima hadist-hadist yang diriwayatkan oleh ahli bait dan imam-imam syi’ah saja. Lebih dari itu mereka menolak hadist yang diriwayatkan oleh imam-imam hadist yang lebih mashyur.
10. Mereka memiliki i’tiqad taqiyyah, yaitu sikap menyembunyikan faham yang sebenar-nya dan melahirkan kepada selain kelompok mereka apa yang sebenarnya tidak mereka yakini.Sikap taqqiyah ini merupakan ajaran ajaran waji bagi mereka, bahkan merupakan agama syi’ah itu sendiri.
11. Di antara mereka ada yang beranggapan bahwa hukum-hukum agama merupakan sya-ri’at hanya diperuntukkan bagi umum. Sedang imam-imam mereka yang ma’sum tidak lagi diharuskan untuk mengerjakan syari’at.
12. Mereka memilih i’tiqah raj’ah, yaitu kembalinya Nabi Muhamad, Ali bin Abi Thalib Hasan dan Husain ke alam dunia serta imam-imam lainnya. Mereka datang untuk menghukum musuh-musuhnya yang merampas hak khalifah, dalam hal ini adalah tiga sahabatyang menjadi khulafaur rasyidin.
13. Mereka juga menganut faham wihdatul wujud, yaitu bersatunya dzat imam mereka dengan Allah.
(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171)
http://www.alumnids.com/artikel-islam/aqidah/13-aqidah/73--induk-aliran-aliran-sesat-3.html
0 komentar:
Posting Komentar