Home » » 15 FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH 3

15 FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH 3


Kesebelas : Keyakinan mereka secara totalitas dengan aqidah ini yang mereka beristiqomah di atasnya serta jauhnya mereka dari memperlihatkan pertikaian dan perdebatan. Hal ini merupakan aspek tertinggi tentang urgennya kemantapan di dalam aqidah yang benar, yaitu pemiliknya akan menjadi orang yang yakin dengannya. Ahlus sunnah memiliki kerelaan dan kepercayaan yang sempurna terhadap agama dan keyakinan yang mereka__ pegang. Oleh karena itulah ahlus sunnah, tidak seperti kelompok lainnya, tidak memerlukan produk yang ada pada mereka berupa pemikiran dan akal. Sedangkan pelaku hawa nafsu dan bid’ah, anda dapati mereka adalah orang yang labil gemar bepindah-pindah dari pendapat orang yang satu ke orang yang lain, bertanya dan meminta arahan kepada mereka dalam masalah agama, karena mereka merasa ragu, tidak mantap dan tidak tenang.

Adapun Ahlus Sunnah, mereka berada di atas keyakinan yang sempurna, mereka tidak mau menerima percekcokan dan perdebatan di dalam aqidahnya. Mereka merasa mantap dan tenang dengan aqidahnya dengan kemantapan yang tinggi dan merasa terikat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Kitâbullâh, yang tidak datang dari segala sisi dan tidak pula dari belakangnya kebatilan, dan sunnah nabi-Nya yang tidaklah diucapkan dari hawa nafsu, sehingga mereka menjadi tenang dan mantap dengan ketenangan dan kemantapan yang tinggi terhadap aqidah yang mereka yakini. Mereka tidak membutuhkan perdebatan, percekcokan dan sebagainya. Namun mereka tetap di dalam aqidahnya di atas jalan dan cara yang satu, semenjak dari generasi awal hingga akhir, mereka tidak plin-plan dan tidak goyah, tidak labil dan tidak pula bimbang. Adapun ahli bathil, maka keadaan mereka berbeda. Allôh Ta’âlâ berfirman :

“Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (QS az- Zukhruf : 58)

Anda dapati mereka adalah orang yang goyah dan bimbang, lebih condong kepada pemikiran dan akal manusia dan banyak melakukan kelabilan di dalam agama.

Saya nukilkan di dalam pembahasan ini sejumlah atsar dari para salaf rahimahumullâhu yang sangat besar manfaatnya :
Abū Hudzaifah berkata kepada Abū Mas’ūd :

“Sesungguhnya kesesatan yang paling sesat adalah, anda mengakui sesuatu yang anda ingkari dan mengingkari yang anda akui. Jauhilah sikap labil di dalam agama, karena agama Allôh itu hanya satu.” (al- Ibânah karya Ibnu Baththoh II/505).

‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz berkata :

“Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”

Beliau rahimahullâhu juga berkata :

“Barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak daripada membenahi. Dan barangsiapa tidak memperhitungkan perkataannya sebagai amalnya, maka akan berlimpah dosa-dosanya. Serta barangsiapa yang banyak berdebat, ia akan senantiasa bersifat labil berpindah-pindah dari satu agama ke agama lainnya.” (al-Ibânah II/504).

Mi’an bin Isâ berkata :

“Pada suatu hari, Mâlik berangkat ke Masjid sedangkan beliau dalam keadaan bersandar pada tanganku. Kemudian, seorang pria yang disebut dengan Abūl Juwairiyah menemui beliau dan dia adalah seorang yang tertuduh irjâ`, lalu ia berkata : “Wahai Abâ ‘Abdillâh (Imâm Mâlik), dengarkanlah sesuatu dariku, aku akan
bicara kepada anda, berargumentasi dan menceritakan pemikiranku.” Imâm Malik bertanya, “Apabila engkau dapat mengalahkanku?”, dia menjawab, “Jika aku dapat mengalahkan anda maka anda harus mengikutiku.” Imâm Mâlik bertanya kembali : “Apabila ada orang lain yang berbicara kepada kita lalu mengalahkan kita?”, ia menjawab, “kita ikuti dia.” Lantas Imâm Mâlik berkata :

“Wahai hamba Allôh, Allôh telah mengutus Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi was Sallam dengan agama yang satu. Sedangkan aku melihatmu adalah orang yang labil berpindah dari satu agama ke agama lain.”

Perkara agama ini menjadi perkara yang labil menurut mereka berpindah-pindah dari orang yang satu ke orang lain dan dari pemikiran yang satu ke pemikiran lainya.

Dan inilah makna ucapan ‘Umar bin ‘Abdil ‘Azîz yang telah lewat sebelumnya, “Barangsiapa yang menjadikan agamanya hanya untuk perdebatan, maka lebih banyak labilnya.”

Mâlik berkata :

“Adalah orang tersebut (beliau mengisyaratkan kepada salah satu imam salaf tanpa menyebut namanya), apabila datang kepadanya sebagian orang pelaku hawa nafsu, beliau berkata : “Adapun saya, maka saya berada di atas keterangan dari Tuhanku, sedangkan anda dalam keadaan ragu dan mendatangi orang yang juga ragu seperti anda lalu anda debat.” Imâm Mâlik melanjutkan : “Imam tersebut berkata : mereka merasa bingung dengan keadaan mereka sendiri kemudian meminta tolong kepada orang yang mengetahui mereka.” (al- Ibânah II/509). Yaitu (orang yang mengetahui) agama mereka. Merasa rancu dengan keadaan mereka yaitu dengan keraguan dan dugaan para pelaku hawa nafsu dan sebagainya. Kemudian mereka memohon kepada orang yang mengetahui agama mereka, yang akan menghilangkan keragu-raguan yang menyelimuti mereka, namun mereka datangkan dari pendapat dan hawa nafsu akal seseorang.

Ishâq bin Isâ ath-Thobâ’ berkata :


“Mâlik bin Anas adalah orang yang mencela perdebatan di dalam agama, beliau berkata, “Tiap kali datang kepada kami seseorang yang gemar berdebat dengan orang lain. Kami berkeinginan membantah dengan apa yang diturunkan oleh Jibril kepada Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (al-Ibânah II/507).

Hasan al-Bashrî berkata :

“Perbendahaaran harta paling bernilai seorang mukmin adalah agamanya. Apabila hartanya ini hilang, maka hilanglah agamanya besertanya. Ia tidak akan mau meninggalkannya untuk orang lain dan tidak pula mempercayakannya.” (al-Ibânah II/509)

Beginilah keadaan ahlus sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang menyandarkan agama dan aqidahnya kepada akal, hawa nafsu dan pemikiran manusia. Mereka hanya berpegang erat dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabî-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menurut timbangan pemahaman salaful ummah.

Dzakwân berkata :

“Hasan al-Bashrî melarang perdebatan di dalam agama, beliau mengatakan bahwa berdebat itu kerjanya orang yang ragu dengan agamanya.” {al-Ibânah II/519).

Adapun orang yang tidak memiliki keraguan di dalam agamanya, maka ia tidak butuh sedikitpun dengan berbagai bentuk perdebatan.

Hisyâm bin Hasan berkata :

“Seseorang mendatangi Hasan al-Bashrî lalu berkata, ‘Wahai Abâ Sa’îd, kemarilah, saya ingin berdiskusi (baca : berdebat) dengan anda tentang masalah agama.’ Hasan al-Bashrî berkata, “Aku adalah orang yang jelas agamaku, sedangkan anda adalah orang yang sesat agamanya sehingga menjadi kabur.”

Maksudnya adalah, pergilah dan carilah agamamu. Adapun saya adalah orang yang mantap dengan agamaku, tenang dan mengenalnya. Jadi, aku tidak butuh dengan pedebatan dan percekcokan.

Ahmad bin Sinân berkata :

“Abū Bakr al-Ashom mendatangi ‘Abdurrahman bin Mahdî lalu berkata, ‘Saya datang untuk berdiskusi dengan anda tentang masalah agama.’ Ibnu Mahdî menjawab, ‘Jika engkau merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu, berhentilah sampai aku keluar untuk untuk sholât, apabila tidak, kembalilah bekerja’, lalu orang tersebut berlalu dan tidak mau menetap.” (al- Ibânah II/538)

Di dalam kisah di atas, menunjukkan bahwa ahlus sunnah menyibukkan diri dengan kebenaran yang mereka pegang, dengan beribadah kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Ibnu Mahdî berkata kepada Abū Bakr al-Ashom, ‘Jika kamu merasa ragu dengan sesuatu dari agamamu berhentilah sampai aku keluar untuk untuk sholât’, maksudnya adalah, ‘Saya terlalu sibuk dengan ketaatan kepada Allôh, saya mau sholat dulu, berhentilah (di situ) sampai aku keluar untuk sholât dan aku tidak punya urusan denganmu. Jika kau tidak mau kembalilah ke pekerjaanmu. Kemudian orang itu berlalu dan tidak mau menetap.”

Demikianlah sejumlah nukilan yang bermanfaat yang aku nukil dari kitab al-Ibânah karya Ibnu Baththah al-‘Ukburî rahimahullâhu. Buku ini adalah buku yang agung di dalam pembahasan ini, dan kesemua nukilan dari ulama salaf rahimahullâhu ini menjelaskan akan mantapnya agama mereka, stabilnya jiwa mereka dan kuatnya penjagaan dan perhatian mereka terhadap agama. Mereka tidak menyandarkan agamanya kepada perdebatan dan percekcokan, atau pemikiran yang menyimpang dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadikan faktor utama mantapnya mereka terhadap kebenaran.

Kedua Belas : Keyakinan kaum salaf bahwa masalah keimanan kepada Allôh, nama-nama dan sifat-Nya serta hari akhir, juga perkara-perkara aqidah lainnya yang
datang dari para Rasūl yang mereka bersepakat atasnya, kesemuanya ini adalah perkara yang baku yang tidak dimasuki naskh (penghapusan hukum) maupun perubahan dan semisalnya. Karena aqidah itu bukanlah bidang yang bisa dimasuki an-naskh, oleh karena itulah para nabi dari yang awal sampai yang akhir bersepakat
di atas aqidah yang sama, sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah hadîts yang shahîh dari Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda :

”Para Nabi itu bersaudara tiri dan ibu mereka berbeda-beda, namun agama mereka satu.” (Shahîh Muslim IV/1837).

Ketiga Belas : Terang, mudah dan jauhnya aqidah ahlus sunnah dari kerancuan, sedang selain ahlus sunnah, anda dapati aqidahnya diliputi oleh kerancuan dan ketidakjelasan, serta dipenuhi oleh syubuhât. Adapun aqidah ahlus sunnah wal jamâ’ah sangat terang, seterang matahari di tengah hari bolong, yang mana terangnya ini diperoleh dari mata air dan sumbernya yang jelas.

Imâm Ibnul Qoyîm berkata di dalam kitab beliau ash- Showâ`iq ketika menjelaskan aqidah yang benar ini, yang terangnya seterang sumbernya :

”Bagaikan cahaya matahari bagi pengelihatan, yang tidak memiliki penghalang. Yang secara umum tidak berubah sisi pendalilannya, tidak pula memiliki kelemahan dan probabilitas, merasuk ke pendengaran tanpa izin, dan memenuhi akal dengan air yang segar yang membasahi dahaga orang yang kehausan, keutamaannya dibandingkan dalil-dalil akal dan kalam bagaikan keutamaan Allôh dibandingkan makhluk-Nya. Tidak mungkin ada seorangpun yang bisa mencela aqidah ini seakan-akan memiliki kerancuan, melainkan dirinya bagaikan mencela hari yang cerah di tengah terbitnya matahari.” (ash-Showâ`iqul Mursalah III/1199)

Orang yang ingin mencela aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah, keadaannya serupa dengan seorang lelaki yang mendatangi manusia di tengah hari dan berkata kepada mereka: saya jelaskan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari bukan siang. Beginilah keadaan orang yang datang dan ingin membuat keragu-raguan terhadap kebenaran aqidah yang shahîh lagi lurus ini, yang diambil dari Kitâbullâh dan Sunnah Rasul-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Keadaannya sebagaimana yang difirmankan oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ:

”Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS al- Hajj : 46)

Keempat Belas : Diantara (penyebab) mantapnya aqidah ahlus sunnah dan selamatnya dari penyimpangan adalah, mereka mau mengambil ibrah dan pelajaran dari keadaan ahli hawa terdahulu. Dikatakan di dalam sebuah pepatah, ”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”. Ahli hawa yang meninggalkan Kitâbullâh dan Sunnah, menyebabkan mereka menjadi plin plan, menyimpang, labil (berubah-ubah) dan goyah, serta jauh dari kemantapan dan kekokohan. Tidak pernah anda dapati ada seorang ahli hawa yang mantap dan kokoh sikapnya, karena mereka ini terus menerus dan selamanya dalam keadaan labil. Saya nukilkan di sini keterangan dari para ulama tentang pensifatan keadaan ahli ahwâ`:

Syaikhul Islâm berkata :

Ahli kalam adalah manusia yang paling sering berubahubah (labil) pendapatnya dari pendapat yang satu ke pendapat yang lain. Mereka menetapkan suatu pendapat di suatu tempat, namun di tempat lain mereka membantahnya dan mengkafirkan orang yang berpendapat dengannya. Ini merupakan dalil bahwa mereka tidak memiliki keyakinan, karena sesungguhnya iman itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kaisar (Heraklius) ketika bertanya kepada Abū Sufyân tentang siapa saja yang turut masuk Islam bersama nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, ia berkata : ”Adakah seorang diantara mereka yang kembali dari agamanya disebabkan karena ia murka kepadanya setelah ia masuk ke dalamnya?” Abū Sufyân menjawab, ”Tidak”. Kaisar berkata, ”Demikianlah keimanan itu, apabila telah merasuk ke dalam sanubari hati seseorang, tidak ada seorangpun yang murka padanya.” (Majmū’ Fatâwâ IV/50).

Di dalam kisah di atas terhadap ibrah dan pelajaran tentang keadaan ahli ahwa bahwa mereka tidak memiliki kemantapan dan keajegan, namun mereka senantiasa berada di dalam kelabilan dan kegoncangan.Termasuk sifat yang dijelaskan oleh para ulama tentang keadaan ahli ahwâ` adalah, ucapan Abū Muzhoffar as- Sam’a?yang dinukil olehh at-Taim?dan Ibnul Qoyyim, beliau berkata :

”Apabila anda memperhatikan keadaan ahli ahwa, anda dapati mereka ini dalam keadaan berpecah belah dan berselisih, bergolong-golongan dan berpartai. Tidak mungkin anda temukan ada dua orang diantara mereka yang berada di atas satu manhaj di dalam masalah aqidah, mereka saling membid’ahkan satu dengan lainnya. Bahkan mereka sampai jatuh kepada pengkafiran, seorang anak sampai mengkafirkan ayahnya, seorang mengkafirkan saudaranya dan tetangganya. Anda lihat mereka senantiasa dalam keadaan saling bertikai, membenci dan berselisih. Habis umur mereka namun mereka tidak pernah bersatu.” (Mukhtashor ash-Showâ`iq al-Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518).

Syaikhul Islam berkata menjelaskan sifat ahli ahwa:

”Mereka juga senantiasa menyelisihi ahli hadits, mereka adalah tempatnya kerusakan amal, bisa jadi berasal dari aqidah yang jelek dan nifaq, dan bisa jadi pula dari hati yang sakit dan iman yang lemah. Diantara mereka ada yang meninggalkan perkara wajib, melanggar batas, meremehkan hak dan hati yang kesat, yang tampak pada setiap orang dari mereka. Secara umum guru-guru mereka gemar melakukan dosa besar, walaupun ada diantara mereka yang dikenal dengan kezuhudan dan ibadahnya. Sesungguhnya, zuhud dan ibadahnya orang awam ahlus sunnah lebih baik daripada mereka. Suatu hal yang telah diketahui bersama, bahwa ilmu itu adalah pondasinya amal, dan benarnya suatu pondasi mengharuskan benarnya furu’ (cabang amal). (Majmū’ Fatâwâ IV/53) Ibrahim an-Nakho’?berkata :

”Para salaf memandang bahwa bersikap plin plan di dalam agama merupakan keraguan hati terhadap Alloh Azza wa Jalla.” (al-Ibânah karya Ibnu Baththoh II/502)

Malik bin Anas berkata :

”Penyakit yang paling mematikan adalah, sikap labil di dalam agama.” Beliau berkata, ”Seorang pria berkata : Aku tidak pernah bermain-main dengan agama maka janganlah kamu sekali-kali bermain-main dengan agamamu.” (al-Ibânah II/506)

Barangsiapa memperhatikan keadaan ahli ahwa, niscaya ia akan mendapati bahwa realita keadaan mereka adalah sedang bermain-main dengan agama dan labil (berubah-ubah pendirian). Pendapat, akal, pemikiran dan bentuk kelompok ini bermacam-macam dan berbeda-beda, tidak pernah mantap dan ajeg.

Sampai-sampai ada seorang lelaki dari ahlis sunnah datang kepada salah satu pembesar ulama ahli kalam yang sedang dirundung kebimbangan, keraguan dan kegoncangan. Ahli Kalam itu bertanya (kepada ahlu sunnah tadi) : ”Apa yang anda yakini?”, pria itu menjawab, ”saya meyakini apa yang diyakini oleh kaum muslimin, yaitu yang datang dari Kitabulloh dan Sunnah Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.” Ahli Kalam itu bertanya kembali, ”Apakah anda merasa mantap dengan keyakinan itu dan berlapang dada?”, pria itu menjawab, ”Iya”. Kemudian ulama ahli kalam itu berkata, ”Adapun saya, demi All鬶 saya tidak tahu apa yang saya yakini? demi Alloh saya tidak tahu apa yang saya yakini? Demi Allah saya tidak tahu apa yang saya yakini?” sembari menangis tersedu-sedu hingga basah jenggotnya. (Lihat Syarhul Aqîdah ath-Thohâwiyah hal. 246).

Hal ini disebabkan karena urusan mereka adalah berdebat, berdiskusi dan sebagainya. Siapa saja yang memperhatikan keadaan ahli ahwa, ia akan dapat memetik pelajaran dan ibrah dari mereka, sebagaimana perkataan pepatah sebelumnya,

”Seorang yang berbahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain”.

Ahlus sunnah dengan segala pujian bagi Alloh adalah berada di atas sunnah, ia senantiasa meminta kepada Alloh Tabâroka wa Ta’âlâ supaya memantapkannya di atas sunnah.

Kelima Belas : Diantara faktor mantapnya ahlus sunnah di atas keyakinan yang benar adalah : mereka senantiasa bersatu padu dan tidak berpecah belah.

Adapun ahli ahwa, mereka telah memecah belah agama mereka dan mereka bergolong-golongan. Setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang mereka miliki.

Qotadah berkata :

”Sekiranya khowarij itu berada di atas petunjuk niscaya mereka akan bersatu, namun mereka berada di atas kesesatan sehingga mereka saling berpecah belah.” (Tafsîr ath-Thobarî III/178).

Hal yang seperti ini tidaklah sedikit terjadi pada ahli bid’ah. Adapun ahlus sunnah, mereka saling bersatu padu dan berhimpun, tidak ada pada mereka perpecahan ataupun perselisihan di dalam agama Alloh. Mereka beada di atas jalan yang lurus, saling berjanji, berwasiat dan bersabar di atasnya.

Abūl Muzhoffar as-Sam’ânî berkata :

”Diantara hal yang menunjukkan bahwa ahli hadits itu berada di atas kebenaran adalah, sekiranya anda menelaah semua kitab-kitab mereka yang tertulis baik dari awal sampai akhir, baik yang terdahulu maupun yang kontemporer, walaupun negeri dan zaman mereka berbeda dan saling berjauhan, dan tempat tinggal setiap orang dari mereka tersebar di seluruh penjuru dunia, anda dapati bahwa mereka di dalam menjelaskan masalah aqidah berada pada satu manhaj dan jalan. Mereka berjalan di atas jalan ini, tidak menyimpang dan berpaling darinya. Hati mereka satu di dalam keyakinan tersebut, dan tidak anda dapati perselisihan dan perpecahan sedikitpun di dalam transmisi (penukilan) mereka kecuali hanya sedikit sekali. Bahkan, sekiranya anda mengumpulkan semua yang mereka ucapkan dan yang mereka nukil dari pendahulu (salaf) mereka, anda dapati seakan-akan berasal dari hati dan lisan yang satu. Apakah benar ada dalil lain yang lebih terang daripada ini? All鬶 Ta’âlâ berfirman :

”Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`ân? kalau kiranya Al-Qur`ân itu bukan dari sisi Allôh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS an-Nis鈆 : 82)

Dan firman-Nya :

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QSali-imron: 103) [Mukhtashor ash-Showâ`iqul Mursalah karya Ibnul Qoyyim hal. 518)

Hal ini juga merupakan diantara faktor-faktor besar yang dapat menghantarkan ahlus sunnah mantap di atas kebenaran dan konsisten di atas aqidah yang benar serta selamat dari penyimpangan, keplinplanan dan perubahan.

Inilah poin terakhir yang hendak kupaparkan penjelasannya, akan tetapi saya cukupkan sampai di sini dan akan saya jelaskan sebagian aspek lain dari aqidah yang menjelaskan persatuan ahlus sunnah wal jama’ah di atas aqidah dan jalan mereka yang satu, dari orang pertama hingga orang terakhir mereka, apabila anda perhatikan pendapat-pendapat mereka di zaman ini dan pendapat mereka di zaman awal, yaitu zaman Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, anda dapati bahwa mereka berada di atas perkara yang satu, karena mereka mengambilnya dari sumber yang satu pula.
Imam Malik rahimahullâhu berkata :

”Segala sesuatu yang pada zaman nabi tidak termasuk agama, maka tidak akan termasuk agama pula pada hari ini dan tidak pula termasuk agama hingga hari kiamat. Tidak akan baik keadaan akhir umat ini melainkan dengan baiknya umat generasi awal.”

Apabila anda memperhatikan aqidah mereka di zaman ini juga di zaman-zaman sebelumnya, anda dapati mereka berada di atas aqidah yang satu. Akan saya berikan beberapa contoh hal ini :

Contoh 1 : Apabila anda mencermati aspek tauh頳 dan ikhlash, yaitu mengikhlaskan (memurnikan) amal hanya untuk Alloh Ta’âlâ semata, anda dapati bahwa mereka dari generasi awal sampai akhir adalah para penyeru tauhid, semuanya menyeru kepada pemurnian perbuatan hanya bagi Alloh semata dan semuanya memperingatkan dari kesyirikan dan segala bentuk peribadatan selain kepada Alloh. Tidak akan anda dapati ada diantara mereka yang mengajak kepada kesyirikan atau menyelisihi tauhid, sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas ahli ahwa, yang menyeru kepada berbagai bentuk penyimpangan ini dan memberikan nama dengan selain namanya. Mereka menamakan berbagai macam kesyirikan dengan tawassul atau syafâ’at atau selainnya.

Contoh 2 : Mereka semua bersepakat untuk mendorong berpegang kepada sunnah dan melarang dari segala bentuk bid’ah dan hawa nafsu. Anda tidak akan melihat seorangpun dari mereka melainkan menyeru kepada sunnah dan memperngatkan dari bid’ah. Anda tidak akan dapati ada diantara mereka yang menganggap baik hawa nafsunya dan mendorong kepada bid’ah, atau ada orang yang menjelaskan bahwa ada suatu bid’ah yang baik (hasanah), atau yang semisalnya. Hal ini tidak akan pernah ditemukan pada ahlis sunnah. Karena seluruh ahlus sunnah dari generasi awal sampai akhir mereka memperingatkan dari bid’ah dan hawa nafsu, dan menyeru manusia untuk berpegang teguh dengan Kitabulloh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.

Contoh 3 : Keimana mereka kepada Asma wa sifat Tabâroka wa Ta’âlâ. Anda dapati bahwa mereka dari generasi pertama hingga akhir berada di atas manhaj yang satu, menetapkan nama dan sifat bagi Alloh sebagaimana apa yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dan apa yang ditetapkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam untuk diri-Nya. Mereka menafikan (menolak) segala apa yang Allôh dan Rasūl-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam nafikan bagi diri-Nya, berupa kekurangan dan sifat cela, tanpa melakukan tahrîf (merubah makna), ta’thîl (meniadakan), takyîf (mempertanyakan kaifiyatnya) dan tamtsîl (menyerupakan dengan makhlūq). Kaidah mereka di dalam hal ini adalah sebagaimana yang Alloh beritakan :

”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya dan Ia adalah Maha Mendengar lagi Melihat.” (asy-Syūrâ : 11).

Mereka semua di dalam pembahasan ini berada di atas manhaj yang satu. Adapun selain mereka, anda dapati mereka melakukan tahrîf, ta’thîl, takyîf dan tamtsîl atau selainnya dari metode-metode yang beraneka ragam yang dimiliki oleh setiap madzhab dari madzhab-madzhab (yang menyimpang) ini.

Contoh 4 : Manhaj mereka yang satu di dalam metode ber-istidlâl (menggali dalil). Hal ini telah lalu penjelasannya. Intinya, metode mereka di dalam istidlâl adalah satu dan sandaran mereka juga satu, yaitu Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam.

Sebagai penutup risalah ini, saya memohon kepada Alloh Tabâroka wa Ta’âlâ dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi agar mejadikanku dan
anda sekalian sebagai hamba-hamba-Nya yang sholih, menkaruniakan kita semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan sunnah dan meneladani atsar salaful ummah, menjauhkan kita dari hawa nafsu dan bid’ah, menganugerahkan kita aqidah yang benar, iman yang selamat, perangai yang lurus dan adab serta akhlaq yang baik, memberikan kita semua taufiq-Nya, memberikan petunjuk kepada kita semua kepada jalan yang lurus dan menjadikan kita termasuk orang yang memberikan petunjuk dan diberi petunjuk, orang yang mendengarkan suatu ucapan dan mengikuti yang terbaik darinya, karena sesungguhnya Alloh adalah berkuasa dan mampu untuk melakukan hal ini.

Semoga Sholawât, Salam, keberkahan dan kenikmatan Alloh senantiasa terlimpahkan kepada utusan dan hamba-Nya Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau.

[Risalah ini asalnya merupakan ceramah yang saya sampaikan pada tanggal 7/3/1420 H, kemudian ditranskrip dari kaset dan dilakukan beberapa pembenahan ringan dan saya biarkan dalam ushlub (gaya) ceramah. Hanya Alloh sematalah yang maha memberikan taufiq.]__

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger