Home » » DEMOKRASI ???Nggak penting!! (3)

DEMOKRASI ???Nggak penting!! (3)


SISTEM DEMOKRASI SELARAS DENGAN ISLAM?

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Orang yang menyelisihi kami tidak menjawab dengan mantap ketika mereka ditanya : “Mengapa kalian menerima demokrasi?”
Kadang mereka menjawab :

“Demokrasi di negeri kami sama artinya dengan ‘syura’. Di dalam Al Quran sendiri ada surat yang bernama Asy Syura dan Allah Ta’ala berfirman :

“Bermusyawarahlah mereka dalam urusan itu.”
Dan Allah juga berfirman :

“Dan perkara mereka dengan musyawarah di antara mereka.”

Kadang mereka mengatakan demokrasi itu ada dua macam, pertama demokrasi yang menyelisihi syariat dan kami mengingkarinya. Sebab demokrasi semacam ini merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan hukum kepada rakyat bukan kepada Allah. Yang kedua demokrasi yang sesuai dengan syariat yaitu hak umat untuk memilih pemimpinnya, mengawasi mereka, mengangkat mereka dan memecat mereka. Yang kedua ini kami beriman padanya dan kami berupaya untuk mengabdi Islam dari sisi ini. ]

Kali lain mereka mengatakan : “Kami semua dalam kondisi terpaksa!”

Atau mereka mengatakan demokrasi diambil dengan mengikut kaidah (mengambil) bahaya yang paling ringan.

Yang tergambarkan dalam berbagai contoh-contoh logis –walaupun dipaksakan– yaitu sampaikanlah dan jangan pernah merasa ragu. Saya hanya ingin menyingkap tabir dari jawaban berikut ini berupa hal-hal yang serba menakjubkan.

Adapun jawaban yang pertama dan dua jawaban yang lainnya telah berlalu penjelasannya. Sedangkan ucapan mereka bahwa demokrasi selaras dengan Islam dari satu segi atau selaras dengan Islam secara global mereka berdalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mengangkat penggantinya sementara Abu Bakar mengangkat penggantinya yakni Umar. Dan Umar mengangkat penggantinya yang terdiri dari enam orang dan sepakat untuk memilih salah satu dari enam orang tersebut.
Saya katakan, kalaulah kita terima bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengeluarkan isyarat tentang kekhilafahan Abu Bakar setelahnya tentu orang yang paham akan mengerti dan orang yang bodoh tetap akan bodoh.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Allah dan orang-orang yang beriman menolak semua calon pengganti Nabi kecuali Abu Bakar.”

Dan beliau juga bersabda :

“Berikan kepadaku suatu kitab untuk saya tulis kepada kalian. Kalian tidak akan sesat setelahku dan agar tidak mengangan-angankannya dan seterusnya … .”

Kalaulah benar bahwa Rasulullah tidak mengangkat pengantinya, manakah pendalilan atas celah perselisihan dari apa yang telah kalian sebutkan?

Kami bertanya, apakah umat memiliki hak untuk memilih penguasanya dengan cara apa saja meski menyelisihi Al Quran, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan Sunnah?

Jika kalian mengatakan iya maka jelaslah siapa sesungguhnya kalian dan manusia akhirnya mengetahui pemikiran kalian yang rusak. Maka dalil-dalil ini terarah kepada kalian maka runtuhlah kebatilan ini dan kokohlah pancang-pancang kebenaran.

Jika kalian mengatakan tidak maka umat tidak memiliki hak untuk memilih penguasanya kecuali dengan cara yang syar’i dan benar atau minimal dengan cara yang tidak ada larangannya dalam syariat.

Kami katakan, dari sini usailah perselisihan dengan disebutkannya dalil-dalil yang begitu banyak yang menunjukkan kebatilan sebagian perkara ini. Sesungguhnya sebagian perkara tersebut merupakan cabang dari pohon yang busuk. Bahkan pemilu merupakan akar dari demokrasi dan merupakan tangga yang dipakai untuk memperbudak manusia sebagian atas sebagian yang lain dengan cara mengikuti apa yang dihalalkan oleh para anggota dewan dan meninggalkan yang diharamkan oleh mereka.

Allah telah mencela orang yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai pembuat hukum selain Allah. Allah berfirman :

“Mereka telah menjadikan pendeta dan pastur mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.”
Lalu bagaimana para pencari kayu bakar pada malam hari (Maksudnya, orang mencari sesuatu namun dia tidak mempunyai pengetahuan tentang yang dicarinya (asal ambil). (Pent.)) membuat hukum dari selain Allah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang besar! Adapun kalau dikatakan “terpaksa” sudah dimaklumi hal ini ada syarat-syaratnya maka terpenuhikah syarat-syarat tersebut pada kalian? Begitu pula tentang kaidah “mengambil mudharat yang terkecil” apakah telah kalian jaga batasan-batasan yang telah dijelaskan Ahlul Ilmi dan semuanya ini akan datang jawabannya dengan rinci pada tempatnya, Insya Allah.

Adapun terhadap contoh-contoh yang logis maka jawabannya ialah bahwa akal yang sehat tidak akan menyelisihi penukilan (dalil) yang shahih seperti yang telah dijabarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang tidak tertandingi, Dar’u Ta’arudh Al Aql wan Naql dan seandainya dengan akal dikatakan cukup tentulah Allah Azza wa Jalla tidak mengutus Rasul-Nya dan menurunkan Kitab-Kitab-Nya.



PEMILU SUDAH ADA DI AWAL SEJARAH ISLAM ?

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Mereka mengatakan, dulu Abu Bakar dipilih dan dibaiat. Mereka juga menyebutkan pemilihan Umar dan Utsman. Lihatlah kitab Syar’iyyatul Intikhabat halaman 15.

Jawabannya :

Yang kamu katakan ini tidak benar dengan berbagai alasan.

Sudah merupakan hal yang jelas bagi seluruh kaum Muslimin bahwa pemilu dibangun di atas banyak kerusakan dan hal itu telah kami sebutkan pada kesempatan yang lalu. Maka mustahil para shahabat telah melakukan salah satu dari penyimpangan-penyimpangan tersebut apalagi kita katakan seluruhnya.

Para shahabat berkumpul dan bermusyawarah tentang siapa yang pantas menjadi khalifah kaum Muslimin. Setelah terjadi persilangan pendapat mereka pun bersepakat untuk membaiat Abu Bakar sebagai khalifah tanpa ada seorang perempuan pun yang ikut serta. Maka apa dalil kalian setelah ini?!

Abu Bakar mewasiatkan agar khalifah setelahnya adalah Umar. Kemudian para shahabat pun menunaikan wasiat beliau. Adapun Umar beliau menyerahkan perkara ini kepada dewan syura yang terdiri dari enam orang yang tatkala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat beliau ridha terhadap mereka dan masih termasuk 12 orang yang diberi khabar gembira akan masuk Surga. Ini perkara yang benar dan shahih. Adapun tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita maka kalian hendaknya menyimak penjelasan perkara tersebut. Kisah ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari sebagaimana termuat dalam Fathul Bari 7/61. 

Beliau tidak menyebut tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan wanita. Bahkan yang benar Abdurrahman bin Auf mengumpulkan enam orang yang dibebani urusan tersebut oleh Umar yaitu Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdurrahman.
Kisah ini menyebutkan bahwa enam orang yang ada adalah Ahlu Syura bukan selain mereka. Kisah ini benar dan shahih sebagaimana disebutkan di sini juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 7/69 dan Adz Dzahabi dalam Tarikh Islam halaman 303 dan Ibnul Atsir dalam At Tarikh jilid 3/36 dan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tarikhul Umam wal Muluk 4/231. Dan tidak satu pun dari mereka yang menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan kaum wanita. Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan kaum lelaki. Sebagaimana dikatakan Al Hafizh bahwa beliau pada malam tersebut berkeliling kepada para shahabat (laki-laki) dan tokoh-tokoh yang masih ada di Madinah dan semua mereka condong kepada Utsman. Begitu pula yang disebutkan oleh ulama-ulama di atas.

Ya, Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam Al Bidayah wan Nihayah tentang musyawarahnya Abdurrahman dengan para wanita namun kisah ini semuanya tanpa sanad.

Atas dasar penelitian ini dapat kami simpulkan :
1. Kebenaran kisah ini terdapat dalam Kitab Shahih Bukhari bahwa Abdurrahman berijtihad pada enam orang saja.
2. Beliau juga bermusyawarah dengan para tokoh dan para panglima tentara. Sanad kisah ini ada pada Imam Thabari dan mempunyai jalan-jalan yang saling menguatkan.
3. Kisah musyawarah Abdurrahman bin Auf dengan para wanita tidak mempunyai sanad. Dengan kata lain, kisah tersebut tidak ada asalnya (La ashla lahu). Yakni tidak kita dapati sanadnya yang shahih dalam kitab-kitab Sunnah sebagaimana dikatakan oleh banyak ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya. Dalil yang menunjukkan bahwa penyebutan musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita tidak ada sanadnya adalah bahwa para pakar sejarah — sebagaimana telah kami sebutkan– tidak menyebutkannya sama sekali hingga yang tanpa sanad sekalipun kecuali Ibnu Katsir rahimahullah. Ini kritik terhadap kisah tersebut dari sisi sanad. Adapun dari sisi matan ia bertentangan dengan nas-nas yang syar’i.

Pemilihan pemimpin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melalui caranya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat dalam bermusyawarah sebagaimana terjadi pada Abu Bakar dan Umar dalam perkara Al Aqra’ bin Habis dan Uyainah dan kisah tersebut terdapat dalam Shahih Bukhari dan lainnya. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wafat bangkitlah para shahabat untuk memilih khalifah tanpa ada seorang pun dari mereka yang meminta partisipasi orang perempuan dalam memilih khalifah. Begitu pula Abu Bakar telah menjadikan urusan (kekhilafahan) setelahnya pada Umar. Dan umar menjadikan perkara ini pada enam orang yang disebutkan di atas.

Kalau memang dianggap ada sanadnya dan kalaulah memang itu shahih maka itu merupakan penyelisihan terhadap perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabat dari sisi Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu.

Intinya, Abdurrahman bin Auf telah dizalimi tatkala dinisbatkan kepadanya bahwa beliau menentang dan menyelisihi nash-nash yang gamblang. Akan tetapi beliau berlepas diri dari hal itu sebagaimana serigala berlepas diri dari darah Nabi Yusuf Alaihis Salam. Karena dasar inilah tidak boleh menyandarkan kisah tersebut kepada Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu, sesungguhnya kisah tersebut adalah dusta.

Kemudian kalaulah kita anggap bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah bersama para wanita dan anak-anak, persoalan berikutnya adalah apakah beliau bermusyawarah bersama perempuan-perempuan lacur dan para pelaku kemaksiatan? Ataukah beliau bermusyawarah dengan orang-orang shalih yang memiliki ilmu dan makrifat?

Jika kalian menjawab dengan yang pertama berarti kalian telah jatuh. Dan jika kalian menjawab dengan yang kedua berarti gugurlah hujjah kalian. Karena pokok permasalahannya terletak pada mempersamakan pendapat para pelaku maksiat dengan pendapat Ahli Ilmu.

Satu hal yang umum diketahui bahwa ekspansi kekuasaan Daulah Islam pada zaman Umar telah menjangkau wilayah-wilayah yang teramat luas. Kami hendak bertanya, apakah Abdurrahman mengangkat seorang pejabat sementara kemudian membagi Daulah Islam itu menjadi distrik-distrik pemilihan, mengumpulkan suara kaum Muslimin seluruhnya dan mengambil suara terbanyak? Ataukah beliau hanya mencukupkan diri dengan penduduk Madinah, negeri turunnya wahyu yang di dalamnya terdapat Ahlul Halli wal Aqdi? Wallahul Musta’an.


BOLEH MENGAMBIL SEBAGIAN SISTEM JAHILIYAH ? 

 oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Berikut perkataan mereka di bawah judul Sikap Kami Terhadap Sistem-Sistem Lain (dari kitab Syar’iyyatul Intikhabat halaman 19) :

[ Namun apakah diharamkan jika kami mengambil sebagian dari sistem jahiliyah sedangkan yang sebagian ini merupakan sesuatu yang benar?

Mereka berkata, yang demikian ini diperbolehkan kendati tidak sampai tingkatan wajib mengambil sebagian perkara yang benar dan bermanfaat lagi disyariatkan dari sistem jahili tersebut. Dalil kami tentang hal ini ada dua :

Pertama, masalah memberikan perlindungan --yakni seseorang mengumumkan bahwa dia melindungi si fulan dan dengan pengumuman si fulan tersebut berada di bawah perlindungannya--. Sistem jahili ini diambil oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya, Rasulullah radliyallahu ‘anhu telah ridha dengan perlindungan paman beliau, Abu Thalib dan kisah masuknya beliau ke Makkah dengan perlindungan Muth’im bin Adi. ]

Saya katakan, kisah ini tidak shahih. Ibnu Ishaq meriwayatkannya dalam riwayat yang mu’dhal (sanadnya terputus di dua tempat atau lebih). Semua yang menyebutkannya seperti Ibnu Hisyam dan Ibnu Katsir berpegangan pada riwayat Ibnu Ishaq dan riwayat tersebut tidak shahih. Peneliti sejarah Nabi telah membantahnya meskipun kisah perlindungan Abu Bakar bersama Ibnu Daghnah shahih ada pada Bukhari dan selainnya. Yang lebih pantas bagi mereka –seandainya mereka perhatian dengan sanad yang bersih– untuk berdalil dengan yang shahih bukan dengan yang sanadnya telah jatuh. Ini adalah buah ucapan mereka :

“Zaman ini bukan zaman hadatsana wa akhbarana (telah menceritakan kepada kami dan telah mengkhabarkan kepada kami) dan kami tidak mau sibuk dengan ucapan mereka, ini hadits shahih atau lemah. Sesungguhnya ini membuang-buang waktu belaka.”

Sekarang saatnya kita mendiskusikan istidlal (pendalilan) ini dan pengakuan mereka bahwa ini adalah sistem jahili.

Kami katakan, istidlal di atas tertolak dari beberapa sisi :

Pertama, kisah ini kalaulah shahih sekalipun tidak terkait sama sekali dengan konteks permasalahan yang sedang kita bicarakan.

Pertanyaannya di sini, apa korelasi antara masalah pemilu dengan perlindungan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di sisi Muth’im bin Adi? Bukankah kita tinggal di negeri- negeri kita sendiri? Kita tidaklah terusir dan tergusur. Segala puji bagi Allah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dahulu terusir, berbeda dengan kita. Istidlal ini tidak pada tempatnya dan tidak ada kaitannya dengan materi yang sedang kita bahas. Alangkah banyaknya kerusakan dalam agama apabila seperti ini yang mereka lakukan.

Kedua, kalaulah bisa diterima bahwa masalah perlindungan yang disebutkan di atas merupakan dalil bolehnya berpartisipasi dalam pemilu maka di sini ada satu persoalan lagi, pernahkah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengalah dalam perkara al haq? Yakni pada saat Muth’im bin Adi melindunginya.

Atau pernahkah beliau melakukan satu dari sekian banyak kerusakan-kerusakan (pemilu) seperti di atas?

Jawabnya :

Tidak! Bila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak pernah mengalah dari kebenaran –ini pun kalau dianggap kisah tersebut benar– lantas apakah orang- orang yang masuk pemilu mengalah dari kebenaran? Jawabannya, ya! Mereka mengalah dari sekian banyak hukum yang telah Allah syariatkan dalam rangka memenuhi cita-cita dan ambisi mereka. Mereka pun melakukan kerusakan- kerusakan yang banyak sebagaimana yang telah lalu pembahasannya secara rinci.

Ketiga, mereka mengatakan sesungguhnya kita boleh mengambil sistem kafir selagi sistem tersebut mengandung kebenaran.

Saya katakan, perhatikan kata “benar” di sini. Kebenaran macam apa yang kalian ambil dari sistem pemilu? Bukankah telah kami katakan sesungguhnya menerima sistem pemilu itu berarti menjerumuskan diri ke dalam banyak kerusakan di antaranya adalah berbuat syirik kepada Allah pada banyak keadaan.

Apa standar bagi yang “benar” itu? Adakah di dalam sistem aturan kafir sesuatu yang “benar” yang tidak terdapat di dalam Islam? Khususnya yang berkaitan dengan cara-cara menegakkan hukum Allah di muka bumi?

Sebaliknya, justru pada sisi kitalah berbagai perkara menyangkut penjagaan hak- hak, perbaikan kondisi, menghilangkan keburukan, merealisasikan keadilan serta menebarkan agama Allah lebih banyak berkali lipat daripada yang dimiliki orang- orang kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (QS. Al Maidah : 50)

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Allah mengetahui dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 216)

Allah Azza wa Jalla berfirman :

Katakanlah : “Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Rabb kamu. Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.” (QS. Al Maidah : 68)

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang- orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al Jatsiyah : 18-19)

Allah Azza wa Jalla menginformasikan bahwa mereka tidak memiliki apa-apa kecuali hawa nafsu.

Apapun keadaannya, telah jelas bagi kita bahwa semua ini adalah kedustaan terhadap Allah dan Rasul-Nya serta terhadap Islam tanpa ilmu, pemahaman, pendalaman dan sebabnya adalah mereka tidak mengembalikan permasalahan- permasalahan kepada para ulama yang terpercaya yang mampu memberikan solusi dari ketergelinciran. Saya sebutkan kepada mereka firman Allah Azza wa Jalla :

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (QS. Al Haqqah : 44-47)

Adapun dalil kedua yang kalian pergunakan yakni bolehnya mengambil sistem jahili secara parsial menurut anggapan mereka.

Nash yang mendukung ucapan mereka adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Saya pernah hadir di rumah Abdullah bin Jad’an untuk bersekutu sebelum Allah memuliakanku dengan kenabian, hal ini lebih saya sukai daripada saya memiliki unta merah. Tokoh-tokoh Quraisy berkumpul dan bersekutu untuk menolong orang yang dianiaya di Mekkah. Andai saya diundang untuk hal seperti itu pasti saya akan mendatanginya.”

Sisi pendalilannya bahwa mereka orang-orang yang berafiliasi pada sistem dan fanatisme jahiliyah berkumpul dengan tujuan yang terpuji yakni bahu-membahu untuk menolong orang yang teraniaya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membolehkannya dan memberkahinya. Demikian dikutip dari kitab Syar’iyyatul Intikhabat.

Saya berkata, adapun hadits tentang hadirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada persekutuan orang-orang Quraisy telah diriwayatkan dari Imam Ahmad, Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dan Hakim dishahihkan oleh Adz Dzahabi juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.

Syaikh Al Albani telah membawakan dua syahid untuk hadits tersebut. Lihat Kitab Silsilah Ahadits Shahihah (4/524). Dan hadits ini mempunyai syahid-syahid yang lain pada riwayat Thabrani dan lainnya. Kesimpulannya, hadits tersebut shahih.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menghadiri persekutuan ini dan mendukungnya namun sistem jahili apakah yang diadopsi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam?

Jawabannya, tidaklah terjadi bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengambil sesuatu dari persekutuan ini satu sistem pun dan satu permasalahan pun. Bagaimana mungkin boleh bagi mereka mengambil sistem demokrasi sebagian maupun seluruhnya sedangkan Nabi tidak pernah mengambil sedikitpun sistem kafir yang telah diharamkan oleh Islam.

Saya ringkaskan, jawaban terhadap istidlal mereka bahwa Nabi menyetujui sebagian persekutuan yang terjadi pada jaman jahiliyah adalah sebagai berikut :

Para ulama telah berselisih dalam perkara hukum persekutuan ini. Di antara mereka ada yang mengatakan perkara ini telah dihapus oleh Islam dan Allah telah menggantinya dengan persaudaraan atas dasar agama. Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Tidak ada persekutuan dalam Islam.” (Riwayat Muslim)

Di antara mereka ada yang berpendapat tidak terhapus dalam kaitan menolong orang yang teraniaya. Berdasarkan pendapat yang mengatakan tentang dihapusnya persekutuan tersebut maka kalian tidak mempunyai dalil dalam penetapan sebagian persekutuan-persekutuan jahiliyah.

Adapun berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa persekutuan itu tetap (tidak dihapus) maka kami tanyakan pada orang tersebut, apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan suatu kerusakan dalam persetujuan beliau terhadap persekutuan-persekutuan ini? Apakah beliau juga pernah mengalah dalam dakwahnya dengan sebab-sebab persekutuan ini? Jika kalian mengatakan iya maka jelaskan kepada kami. Dan jika kalian mengatakan tidak maka itu yang betul. Lantas mengapa kalian berdalil dengannya untuk menunjukkan kebenaran sistem pemilu yang telah kami terangkan begitu banyak kerusakannya.

Kemudian kami bertanya kepada kalian apakah tatkala kalian katakan mengambil perkara parsial yang bermanfaat dan benar dan disyariatkan dari sistem jahiliyah adalah tidak mengapa?

Apakah kalian mencukupkan dengan perkara parsial yang bermanfaat menurut anggapan kalian ini? Atau kalian malah mengambil sistem demokrasi (seluruhnya)? Dan kalian ridha mengingkari kemungkaran menurut tata cara demokrasi?

Beritahu aku bagian-bagian demokrasi lainnya yang kalian tidak mau tunduk dan patuh kepadanya hingga kami bisa mengatakan bahwa kalian telah mengikuti Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan telah berlepas diri dengan lisan dan perbuatan! Jika kalian mengatakan, kami mengingkari penentuan rakyat sebagai hakim. Saya katakan ini ucapan teoritis belaka! Bukankah secara praktik kalian menerima pendapat mayoritas anggota di majlis perwakilan? 

Adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menghadiri persekutuan yang bermanfaat dan menetapkannya namun tetap berlepas diri (bara’) dari setiap perkara yang menyelisihi Islam, tidak mempraktikkannya, dan bahkan memboikot pelakunya, tempat-tempat dan sarana-sarana yang menghantarkannya. Alangkah jauhnya pemahaman orang generasi belakangan. Semoga Allah merahmati Salaf.


PEMILU ADALAH PERKARA IJTIHADIYAH ? 

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Mereka mengatakan bahwa pemilihan umum itu adalah perkara ijtihadiyah.

Kami katakan kepada kalian, apa yang kalian maksud dengan perkataan pemilu adalah perkara ijtihadiyah?

Jika yang kalian maksud dengan perkara ijtihadiyah adalah perkara baru yang belum dikenal pada masa turunnya wahyu dan masa Khulafaur Rasyidun maka jawabannya ada dua sisi :

Pertama, hal ini bertentangan dengan ucapan kalian yang lalu bahwa pemilu telah ada sejak awal mula kedatangan Islam. Tentu kalian ingat apa yang pernah kalian ucapkan dan tuliskan!

Janganlah kecondongan kalian terhadap sebuah pemikiran mendorong kalian untuk menyatakan sesuatu di satu forum kemudian kalian gugurkan di forum yang lain! Janganlah ketidakmampuanmu memahami berbagai macam informasi yang kalian dengar memperdayamu jatuh ke dalam kontradiksi ini.

Kedua, bencana-bencana besar ini memang tidak ada pada zaman turunnya wahyu namun bukan berarti segala sesuatu yang tidak ada pada zaman turunnya wahyu perkaranya dikembalikan kepada ijtihad dan orang yang menyelisihi kebenaran tidak boleh diingkari.

Terhadap setiap kejadian dan perkara yang terbilang “baru” sikap para ulama ialah mengembalikannya kepada kaidah-kaidah agama yang pokok dan universal. Mereka mengetahui kondisi-kondisi yang serupa dan sepadan kemudian menghubungkannya.

Dari sanalah mereka mengaitkan kedudukan perkara-perkara tersebut dengan hukum asalnya mubah, makruh, wajib, dan haram. Adapun tema yang sedang kita bahas ini sungguh telah berlalu penjelasan tentang kerusakan-kerusakannya.

Jika kalian mengatakan pemilu adalah perkara ijtihadiyah dalam arti tidak ada nash syar’i dalam masalah tersebut maka keterangan yang lalu sudah cukup menjawab pertanyaan ini.

Jika yang kalian maksud sebagai “masalah ijtihadiyah” adalah kalian katakan :

“Kami mengetahui keharaman dan kerusakan-kerusakan pemilu namun kami berpendapat bahwa berkecimpung di dalamnya akan mewujudkan maslahat yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan ikut serta dalam pesta demokrasi. Dan kalian wahai Salafiyyun memandang padanya ada mafsadat maka inilah yang dinamakan masalah ijtihadiyah yakni pemilu adalah sarana merealisasikan idealisme dan penerapan hukum-hukum syariah dalam kehidupan nyata. Ini adalah wacana yang di dalamnya terdapat perbedaan pandangan yang tidak seorang pun boleh diingkari.”

Saya katakan, seandainya sekarang ini bukan lima puluh tahun yang lalu pastilah hal ini ada benarnya. Yakni awal mula dipaksakannya ideologi demokrasi ini terhadap negara-negara kaum Muslimin karena pandangan selalu berbeda pada perkara yang baru.

Sudah enam puluh tahun lamanya kaum Muslimin tertatih-tatih di belakang demokrasi dan mereka tidak mendapatkan apa-apa. Maka apakah ini semua bukan merupakan pelajaran bagi kita? Bukankah kita telah menjadikan kaum Muslimin sebagai kelinci percobaan selama lebih dari setengah abad? Cobalah kita telisik kembali pengalaman sejak enam puluh tahun yang lalu. Di manakah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Seorang Mukmin tidak terjerumus dalam satu lubang (yang sama) dua kali.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah)

Jika kalian berpendapat bahwa pemilu ini tergolong perkara ijtihadiyah (dalam arti belum disepakati oleh para ulama) maka jawabannya sudah maklum bahwa ia mengingkari ijma’ yang shahih.

Yang tersisa kini tinggal memperinci masalab khilafiyah ini. Dalam hal ini salah satu kubu memiliki hujjah yang kuat dengan adanya pihak yang menyelisihi hujjah yang kuat tersebut. Namun bukan berarti tiap orang bebas memilih pendapat yang mana saja. Berapa banyak jumlah masalah yang disepakati (ijtima’iyah) bila dibandingkan dengan masalah yang dipertentangkan (ijtihadiyah). Kandungan kitab-kitab dipenuhi dengan bantahan-bantahan ulama terhadap ulama lainnya dalam masalah yang tidak pernah sunyi dari para penyelisih. Juga ada masalah khilafiyah yang dalil- dalilnya saling tarik-menarik tanpa ada pendapat yang jelas kuatnya.

Maka pada saat seperti itu di saat tidak ada pengingkaran yang pasti terhadap perkataan ulama atau suatu masalah khilafiyah yang harus kita lakukan adalah :

Pertama, meneliti dan mengkaji berbagai topik pembahasan yang di dalamnya ditemukan perkataan ini (yakni perkataan pemilu adalah masalah ijtihadiyah) dari para ulama. Apakah perkataan tersebut dapat menghantar kepada kerusakan- kerusakan yang telah lalu atau sebaliknya?

Kedua, ucapan mereka :

“Tidak ada pengingkaran yang pasti.”

Bukan berarti tidak boleh mengingkari. Bahkan orang yang diam tidak ada dosa baginya. Orang yang mengingkari dengan syarat-syarat yang syar’i dan perbuatannya itu dapat menghantar pada maslahat yang syar’i maka itu boleh bahkan sunnah.
Saya hendak bertanya, wahai orang-orang yang berpendapat bahwa pemilu adalah masalah ijtihadiyah dan bahwa orang yang menyelisihi (ijma’ ulama) dalam masalah ini tidak boleh diingkari! Kalian memaksakan pendapat ini kepada saudara-saudara kalian dari kalangan penuntut ilmu yang mengingkari perbuatan dan pendapat kalian. 

Apakah kalian menuduh mereka sebagai “saudara sepersusuan” orang-orang sosialis, kacung pemerintah serta tuduhan-tuduhan lainnya? Kalau saja kami boleh menyikapi zhahir perbuatan kalian dan bicara serampangan sebagaimana yang kalian lakukan pastilah akan kami katakan bahwa kedustaan ini lebih berhak ada pada kalian dan kalianlah pelakunya!

Akan tetapi kami tidak melakukan hal yang sama terhadap kalian semata-mata karena agama dan ketakutan kami kepada hari yang disebarkan catatan-catatan amal pada hari ketika wajah-wajah menjadi putih berseri dan wajah-wajah yang lain menjadi hitam.

Hanya kepada Allah Azza wa Jalla tempat mengadu. Hasbunallah wani’mal wakiil.

PEMILU TERMASUK MASHALIH ALMURSALAH 

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Kami terjun ke dalam pemilu karena ia termasuk mashalih al mursalah, begitu kata mereka.

Maka jawabannya :

1. Mashalih al mursalah bukanlah salah satu pokok agama yang wajib diamalkan namun ia merupakan washilah (sarana perantara) yang bila telah terpenuhi syarat- syaratnya baru boleh diamalkan. Para ulama ushul menyebut mashalihul mursalah setelah pembahasan masalah qiyas dan saat membahas al istihsan.

2. Definisi maslahat ialah perkara yang tidak ada nasnya secara langsung berupa pengharaman atau yang mewajibkan namun berada di bawah hukum pokok yang umum. Definisi lain yang disebutkan oleh para ulama ushul, maslahat adalah suatu keadaan yang tidak ada ketetapannya dari sisi syar’i.

Para shahabat telah mengambil mashalih mursalah. Begitu pula tabi’in dan atba’ut tabi’in. Termasuk maslahat mursalah adalah mengumpulkan Al Quran hanya pada naskah yang dipilih oleh Utsman, mengarang kitab fiqih dan kitab-kitab bahasa Arab serta kitab ilmu hadits dan mencampakkan selainnya. 

Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa mashlahat al mursalah tidak termasuk dalam hukum-hukum pokok namun ia termasuk perkara ijtihadiyah yang pendapat seseorang bisa salah dan bisa benar. Syariat secara keseluruhan datang dalam rangka merealisir kemaslahatan manusia, menghilangkan kesusahan dan kesempitan sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Miftah Darus Sa’adah (2/23).

Dari pemaparan singkat di atas dapat kita simpulkan bahwa syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Atas dasar ini mashlahat al mursalah mempunyai syarat-syarat yang wajib dijaga apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka boleh diambil. Maka, apakah kalian menjaga syarat-syarat tersebut? Dan akan kita bawakan syarat-syaratnya setelah menjelaskan syubhat kelima belas, Insya Allah.
Berkata Imam Asy Syathibi dalam kitabnya Al Muwafaqat (4/ 210) :

“Mengambil mashalih mursalah adalah benar dengan syarat mampu dan memaksakan.”

Mashalih mursalah adalah perkara-perkara yang tidak ada ketetapannya di sisi syariat. Di antaranya perkara-perkara yang bersifat umum dan khusus. Adapun pembahasan kita (pemilu) maka mafsadat-mafsadatnya telah lalu kita sebutkan yang mana orang berakal tidak ragu lagi menggolongkannya ke dalam mafasid al muharramah (mafsadat-mafsadat yang haram) sebagai ganti dari mashalih mursalah.



PEMILU DAN HIZBIYYAH ADALAH PERSOALAN ARTIFISIAL BUKAN SUBSTANSIAL ?

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Mereka mengatakan, kami tidak mendapati dalam Al Quran dan As Sunnah seujung kuku nash yang menyinggung permasalahan pemilu ini.

Kami katakan, perkataan kalian bahwa perkara ini adalah perkara artifisial dan bukan substansial adalah kesalahan yang sangat fatal.

1. Bagaimana mungkin ia merupakan perkara artifisial sementara terkandung di dalamnya penghamburan harta, pergumulan dengan musuh, masalah al wala’ wal bara dan pendekatan diri kepada Allah (politik adalah ibadah, ed.) sebagaimana yang kalian dakwakan. Juga kalian memandang diri kalian dengan pemilu tersebut sebagai para pembela kebenaran dan memandang wajib bagi kaum Muslimin untuk ikut bergabung bersama kalian di dalam hizbiyyah.

Kalau ini semua adalah perkara artifisial lantas apa yang substantif menurut kalian?
2. Bagaimana mungkin semua ini merupakan masalah yang artifisial padahal zahir keadaan kalian, baik perkataan maupun perbuatan menunjukkan bahwa ia (hizbiyyah) adalah satu-satunya manhaj dan pilihan yang tepat untuk menegakkan agama Allah? Apakah kalian telah bersikap jujur pada diri kalian sendiri? Jika kalian mengatakan ya, lantas adakah artifisialitas pada masalah terpenting dalam agama yakni mengokohkan tauhid di muka bumi?

Jika kalian mengatakan :

“Tidak, kami tidak percaya ketika kalian mengatakan hal tersebut.”
Maka cukuplah kalian sendiri yang akan menanggung akibatnya. Wallahul musta’an.
Islam seluruhnya adalah substansi yaitu akidah lurus yang menancap di dalam hati, tauhid yang uniyersal, al wala’ wal bara’ dan sikap tunduk kepada kebenaran. Tidak ada masalah-masalah kulit seluruhnya adalah isi.

3. Artifisialisme telah dicampakkan oleh Islam karena ia merupakan perbuatan orang munafik, menampakkan sesuatu yang berbeda dari apa yang mereka sembunyikan, mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang mereka perbuat, dan berbuat yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Munafiqun : 2)

Senjata kaum munafik adalah sikap yang tampak karena ini Allah Ta’ala berfirman tentang shalat mereka :

“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa’ : 142)

Dan semua kegiatan agama mereka seperti ini. Inilah artifisialisme yang telah dicampakkan oleh Islam. Semua ini membahayakan pelakunya dan dapat membuatnya terperosok ke jurang neraka yang paling bawah.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman.” (QS. An Nisa’ : 145)

Allah mengajak hamba-Nya untuk bersikap jujur dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, mencintai-Nya dan takut dari azab-Nya, ridha terhadap hukum-Nya dan pasrah terhadap syariat-Nya, dan waspada terhadap perintah dan larangan- Nya, tawakkal dan percaya kepada-Nya dan mendengarkan perkataan-Nya. Ini semua adalah substansi dan Islam seluruhnya mendorong kepada hal ini.

4. Tampaknya kalian banyak bergelut dengan istilah-istilah. Kalian telah siap sedia untuk memenuhi dunia ini dengan istilah-istilah serta menyibukkan masyarakat dan para penuntut ilmu dengan segala istilah itu. Lalu kalian mempopulerkannya dan kalian menipu manusia sampai batas waktu tertentu. Hukum-hukum pun telah “dipersiapkan” agar sesuai dengan sistem dan hawa nafsu kalian. Kompromi adalah hal yang masyru’ (disyariatkan), kompromi antara yang haq dan yang batil selama dalam hal itu ada kemaslahatan yang terwujud bersama hizbiyyah dalam pandangan kalian. Demi Allah kami katakan ini bukan sebagai celaan namun sangat memprihatinkan bahwa ini adalah kenyataan. Hak Muslim terhadap Muslim lainnya adalah jujur dan jelas dalam memberi nasihat dan kami telah menyinggung permasalahan ini dalam berbagai majlis.

Kami tidak melihat adanya jawaban bahkan kami melihat kalian terus menerus menyelisihi syariat dan bersungguh-sungguh dalam memojokkan Ahlus Sunnah. Maka menguatlah dorongan pada diri kami untuk mengajukan bantahan dan sanggahan ketika kalian menampakkan penyelisihan terhadap al haq.

Allah Yang Maha Mengetahui segala yang berada di balik tujuan dan Dia-lah tempat meminta tolong dan perlindungan.

KAMI BERNIAT BAIK 

oleh Abu Umar
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam

Mereka hendak mengatakan bahwa :

“Kami tidak berdosa karena niat dan tujuan kami yang baik. Keinginan kami tidak lain adalah menolong Islam.”

Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak bisa menggapainya. Kebaikan tidak akan terwujud dengan semata-mata bermodalkan niat yang baik dan mengabaikan kebenaran.

Sudah terang –laksana matahari di siang bolong– bahwa seluruh amalan tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan dua syarat yakni :

1. Ikhlas yakni seseorang beramal mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla dan
2. Selaras dengan syariat Allah sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.

Apabila hilang salah satu dari dua syarat di atas tidaklah diterima amalan tersebut di sisi Allah. Kami menganggap bahwa kalian memang menginginkan kebaikan. Namun itu tidaklah cukup. Amalan shalih harus sesuai dengan syariat dalam bilangan, tata cara, sifat dan bentuk, mula dan akhir, dalam pokok dan cabang hukum, serta dalam tempat dan waktu.

Dalil-dalil tentang hal itu adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru dalam urusan kami ini (agama Islam) maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Dan dalam Shahih Muslim :

“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari agama kami maka itu tertolak.”

Lafazh man termasuk lafazh-lafazh yang umum. Perbuatan apapun yang mengada- ngada ini seluruhnya tertolak. Maka otomatis ibadahnya ahli bid’ah tertolak. 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda :

“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat pelaku bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya.” (Riwayat Thabrani, Baihaqi, dan Adh Dhiya dari Anas radliyallahu ‘anhu)
Ahli ibadah ini memacu jiwanya dan bersemangat dalam beribadah kepada Rabb- nya. Namun Allah tidak menerima sedikitpun amalan yang ia lakukan kendati dia sangat mengharapkan pahala dari sisi Allah. Keikhlasannya dalam beramal tidak dibarengi dengan mengkaji sumber syariat amalan tersebut.

Tiap kali dia sungguh-sungguh bertaubat, taubatnya senantiasa tertolak meski niatnya baik dan tujuannya agung. Hal ini tidak menyelamatkan pelakunya dari kesalahan-kesalahan sama sekali.
Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Usamah bin Zaid, beliau mengatakan :

[ Saya pernah mengejar seorang musyrikin bersama seorang Anshar ketika kami hampir membunuhnya dia mengatakan Laa Ilaha Illallah. Temanku mengurungkan niatnya dan saya memenggalnya hingga tewas. Lantas saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal itu, beliau menjawab :

“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Saya berkata : “Wahai Rasulullah, dia mengucapkan demikian hanya untuk berlindung diri.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam balik bertanya : “Apakah kamu telah membelah hatinya? Lantas apa yang akan kamu lakukan dengan kalimat Laa Ilaha Illallah apabila telah datang hari kiamat?”

Usamah mengatakan, beliau terus mengulang-ngulangnya sampai saya berandai- andai bahwa saya belum masuk Islam kecuali pada hari ini. ]

Lihatlah Usamah dan maksudnya yang baik untuk menolong Islam. Apakah dia bermaksud jahat? Tidak! Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencela perbuatannya dan tidak memaafkan dengan sebab tujuannya yang baik.

Demikian pentingnya masalah ini hingga para ulama pun telah mengarang banyak kitab yang memperingatkan umat dari bahaya bid’ah.

Adapun bid’ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lihatlah kitab Al I’tisham karya Asy Syatibi. Dengan sangat baiknya beliau berbicara tentang bahaya bid’ah, jenis-jenis dan cabangnya.

Seandainya orang-orang yang mengatakan, “niatku baik dan tujuanku baik” dapat dibenarkan tentu hal ini akan menyebabkan banyak orang melakukan pembunuhan lantas berlindung di balik alasan “niatku baik”.

Orang yang mengkonsumsi minuman keras akan berkata “niatku baik”. Yang seperti ini banyak dan kerap terjadi karena menyangkut aktifitas hati. Kita tidak mampu untuk menetapkannya dan kita tidak bisa mengambil faidah kecuali dengan dalil yang menyertainya dari luar (hati).

Allah telah membimbing kita untuk mengambil lahiriah berbagai perkara dan Allah- lah yang menguasai urusan yang tersembunyi. Oleh karena inilah Umar berkata sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan lainnya :

“Sesungguhnya wahyu telah terhenti dan sesungguhnya kami menghukumi kalian dengan hal-hal yang tampak bagi kami dari perbuatan kalian. Barangsiapa yang nampak bagi kami kebaikannya maka kami berikan keamanan dan rahasianya bukanlah urusan kami sedikitpun. Allah yang akan menghisab rahasia-rahasia mereka. Barangsiapa yang nampak bagi kami kejahatannya, kami tidak akan memberikan jaminan keamanan dan tidak akan mempercayainya meski dia mengatakan :

‘Sesungguhnya hatiku berniat baik.’

Sesungguhnya kami tidak bersedia untuk menerima orang yang mengaku hatinya baik. Kami memiliki dalil-dalil yang menunjukkan bahwa zhahir yang baik adalah bukti atas batin yang baik dan rusaknya zhahir merupakan bukti atas rusaknya batin.
Rasulullah bersabda :

‘Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh jasad, bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad.’” (Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir)

Orang yang sudah diketahui kebaikannya lalu terjadi padanya kekeliruan dalam perkataan maupun perbuatan maka mungkin kekeliruan tersebut dilakukan atas dasar tujuannya yang baik. Dan mestinya dia diingatkan dari perkara-perkara yang keliru. Adapun orang yang sudah diketahui sebagai orang yang menyimpang dari syariah dan tidak mau menerima kebenaran maka kekeliruannya tidak mungkin ditolerir. Yang saya pahami, sebagian tokoh pergerakan Islam telah mengetahui bahwa pemilu adalah haram. Namun mereka terus ikut serta apapun keadaannya. Dan kami berbaik sangka bahwa mayoritas mereka menginginkan hal itu dalam rangka menolong Islam. Akan tetapi “betapa banyak orang yang mencari kebenaran tidak bisa menggapainya”. Bila memang benar kita ingin menolong agama Islam maka sebaik-baik petunjuk adalah petuniuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Seperti kata Imam Malik :

“Umat terakhir tidak akan bisa baik kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baik umat pertama.”

Wallahu musta’an.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger