Home » » HAID I

HAID I

MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin

[1]. Makna Haid

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

[2]. Hikmah Haid

Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.

Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

USIA HAID
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin

Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.

Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?

Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan :"Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu" [Al-Majmu 'Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386].

Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau diatas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisaa' oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, diterbitkan oleh Darul Haq, Penrjemah Muhammad Yusuf Harun, Ma.

MASA HAID
Oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.

Ibnu Al-Mundzir mengatakan : "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya".

Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur'an, Sunnah dan logika.

Dalil Pertama.
Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : "Haid itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci..." [Al-Baqarah : 222]

Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

Dalil Kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah.

"Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka'bah sebelum kamu suci".

Kata Aisyah : "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.

"Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im".

Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

Dalil Ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan.

Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ; jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima' (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu'minin.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : ..... Dan kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu ....." [An-Nahl : 89].

"Artinya : ..... Al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ...." [Yusuf : 111].

Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.

Dalil ini - yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam atau ijma' yang diketahui, atau qiyas yang shahih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : "Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah" [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 35].

Dalil Keempat.
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari ke empat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat ? Bukankah hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat ?

Dalil Kelima.
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur'an dan Sunnah.

Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah" [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 36].

Kata beliau pula : "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka". [Risalah fil asmaa' allati 'allaqa asy-Syaari' al-ahkaama bihaa. hal. 38].

Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan gampang.

Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". [Al-Hajj : 78].

Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui batas) dan sebarkan kabar gembira". [Hadits Riwayat Al-Bukhari].

Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa jika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabiiyah Lin Nisaa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Ustaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita, Penerjemah Muhammad Yusuf Harun, MA, Penerbit Darul Haq Jakarta]

HAL-HAL DILUAR KEBIASAAN HAID
Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin


Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid :

[1]. Bertambah Atau Berkurangnya Masa Haid
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

[2]. Maju Atau Mundur Waktu Datangnya Haid
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lalu tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lalu tiba-tiba haid pada akhir bulan.

Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada saat terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.

Pendapat tersebut merupakan madzhab Imam Asy-Syafi'i dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al-Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya : "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya di jelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dubutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnyapun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja" [Al-Mughni, Juz 1, hal. 353].

[3]. Darah Berwarna Kuning Atau Keruh
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.

Jika hal ini terjadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Kami tidak menganggap apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci".

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid". Dan dalam Fathul Baari dijelaskan :"Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih" dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".

Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata : "Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih", maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

[4]. Darah Haid Keluar Secara Terputus-Putus
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :

Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau termasuk dalam hukum haid ?.

Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab Al-Faiq (disebutkan dalam kitab Al-Inshaaf), juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih ; kalaupun dijadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tidak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. begitupula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari ; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.

Adapun yang masyhur menururt madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci ; kecuali apabila jumlah masanya melampui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampui itu adalah istihadhah.

Dikatakan dalam kitab Al-Mughni :"Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari tak perlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarnya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekali tidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat berhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta'ala berfirman :

"Artinya : ... Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..." [Al-Hajj : 78]

Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keaadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih".[Al-Mughni, Juz 1, hal. 355].

Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua mendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.

[5]. Terjadi Pengeringan Darah
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).

Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.

[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger