Home » » HAID III

HAID III

KETIKA WANITA SAMAR TERHADAP DARAH YANG KELUAR DARINYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita samara terhadap darah yang keluar darinya sehingga tidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah istihadhah atau lainnya, apakah yang harus dilakukan wanita tersebut ?

Jawaban

Pada dasarnya darah yang keluar dari wanita adalah darah haidh dan umumnya wanita telah mengetahui darah haidh, jika darah yang keluar itu bukan darah haidh maka berarti darah itu adalah darah istihadhah, dan jika darah yang keluar itu bukan darah istihadhah berarti darah itu adalah darah haidh.

[Durus Wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/275]

APAKAH SEORANG WANITA HARUS SEGERA BERSUCI DENGAN TIDAK MELIHAT ADANYA DARAH KELUAR
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Pada hari terakhir dari masa haidh seorang wanita dan sebelum habis masa haidhnya ia tidak melihat bekas darah, haruskah wanita berpuasa pada hari itu sementara ia belum melihat gumpalan putih atau apa yang harus ia kerjakan ?

Jawaban

Jika kebiasaan wanita itu tidak melihat gumpalan putih pada akhir masa haidhnya sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka ia harus melaksanakan puasa akan tetapi jika kebiasaan wanita itu mendapatkan gumpalan putih pada akhir masa haidhnya maka ia belum boleh melaksanakan puasa sebelum ia melihat gumpalan putih.

[52 Su'alan an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.16]

TERUS MENERUS MENGELUARKAN CAIRAN BERWARNA KUNING SETELAH BERSUCI
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang wanita setelah habis masa haidhnya tidak mengalami keluarnya gumpalan putih akan tetapi ia mengeluarkan cairan berwarna kuning terus menerus, bagaimana hukumnya ini ?

Jawaban

Jika wanita itu tidak mengeluarkan cairan putih sebagai tanda berakhirnya masa haidh maka cairan kuning itu telah menggantikan kedudukan cairan atau gumpalan putih, karena cairan putih adalah merupakan tanda dan tanda itu bisa dipastikan dalam satu macam bentuk, karena tanda berakhirnya masa haidh tidak bisa dipastikan dengan satu macam petunjuk akan tetapi banyak petunjuk yang menunjukan pada hal itu, pada umumnya tanda berakhirnya masa haidh pada sebagian besar wanita adalah terdapatnya cairan/gumpalan putih, akan tetapi bisa jadi tanda habisnya masa haidh itu adalah selain itu, dan terkadang pula seorang wanita tidak mengeluarkan cairan putih dan tidak pula mengeluarkan cairan kuning sebagai tanda habisnya masa haidh, melainkan kering begitu saja hingga ia mendapatkan masa haidh selanjutnya, setiap wanita bisa memiliki kebiasaan yang berbeda dalam hal mengakhiri masa haidhnya.

[Durus Wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/247]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

JIKA MASA HAIDH LEBIH DARI BIASANYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita biasanya mengalami masa haidh selama enam hari, kemudian pada suatu bulan ia mengalami masa haidh melebihi masa haidh bisa selama beberapa hari ?

Jawaban.

Jika masa hadih seorang wanita biasanya selama enam hari kemudian pada bulan tertentu masa-masa haidh itu bertambah panjang hingga mencapai sembilan hari atau sepuluh hari, maka hukum haidh tetap berlaku pada dirinya, yaitu meninggalkan shalat hingga haidh itu berhenti, ketetapan ini diberlakukan karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membatasi masa haidh pada batasan tertentu, dan Allah berfirman.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : Haidh itu adalah suatu kotoran". [Al-Baqarah : 222]

Maka selama seorang wanita masih mengeluarkan darah haidh berarti ia tetap dikenakan hukum haidh hingga berhenti darah haidh itu lalu ia mandi, bersuci dan melaksanakan shalat, dan jika pada bulan berikutnya ia mengalami masa haidh kurang dari itu maka ia harus segera mandi jika telah selesai haidhnya kendatipun masa haidhnya itu tidak selama masa haidh sebelumnya.

Dan, yang penting bagi seorang wanita adalah jika ia mengeluarkan darah haidh maka hukum haidh berlaku baginya dengan meninggalkan shalat, walaupun masa haidhnya itu tidak sama dengan kebiasaan masa haidh yang lalu, ataupun masa haidh itu lebih cepat atau lebih lama dari masa haidh yang biasanya, kemudian jika habis masa haidhnya maka hukum haidh tidak berlaku lagi baginya, ayitu ia kembali mengerjakan shalat.

[Majmu Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/277]

JIKA WAKTU HAIDH BERUBAH DARI AWAL BULAN MENJADI AKHIR BULAN
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita biasa mengalami masa haidh di awal bulan, kemudian tiba-tiba ia mengalami haidh di akhir bulan, bagaimanakah pendapat Anda tentang hal ini ?

Jawaban.

Jika seorang wanita mengalami keterlambatan masa haidhnya, misalnya : jika biasanya ia mengalami haidh pada awal bulan lalu pada suatu bulan haidhnya itu datang pada akhir bulan, maka pendapat yang benar adalah, jika ia melihat darah bearti ia sedang haidh, dan bila ia tidak lagi melihat darah keluar berarti ia telah suci, demikian sebagaimana keterangan di atas.

[Majmu Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/278]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

MASA HAID LEBIH LAMA DUA HARI DARI MASA HAID BIASANYA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita mengalami masa haidnya itu lebih lama dua hari dari masa haidh yang biasanya, bagaimana hukum yang berlaku bagi wanita ini pada dua hari lebih itu ?

Jawaban.

Pertama, perlu kita ketahui bahwa darah haid adalah darah alami yang Allah ciptakan pada diri seorang wanita jika ia telah siap untuk hamil, karena darah haidh itu diciptakan untuk makan janin yang berada dalam perut ibunya, karena itu, wanita hamil tidak dapat haidh, sebab dengan izin Allah darah itu berubah menjadi makanan janin, lalu jika darah haidh itu adalah darah biasa maka darah itu akan keluar menjadi kotoran jika tidak ada janin bayi dalam rahim seorang wanita, dan Allah telah mensifati darah ini dengan menyebutnya sebagai kotoran, Allah berfirman.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : Haidh itu adalah suatu kotoran".[Al-Baqarah : 222]

Karena darah itu adalah kotoran maka darah itu adalah najis, dan setiap kali terdapat darah haidh maka hukum haidh berlaku bagi wanita itu walaupun masa haidh itu lebih dari masa haidh yang menjadi kebiasaannya, artinya jika kebiasaan masa haidh seorang wanita adalah enam hari kemudian pada bulan tertentu masa haidh itu lebih lama dua hari dari biasanya, maka dua tambahan masa haidh ini mengikuti ketetapan masa haidh yang enam hari itu, jadi selama delapan hari itu ia harus meninggalkan shalat, puasa dan juga ia tidak boleh disetubuhi oleh suaminya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menentukan waktu tertentu bagi masa haidh begitu juga sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan demikian, selama masih ada darah haidh maka selama itu pula hukum haidh berlaku, lalu jika darah itu telah berhenti maka pada saat itu pula hukum haidh tidak berlaku walaupun berhentinya darah haidh diluar kebiasaannya. Ketetapan semacam ini juga berlaku bagi orang yang mengalami masa nifas, maka bagi wanita yang telah berhenti darah nifasnya sebelum masanya, apakah haris shalat atau menunggu sampai masanya berkahir ? Seharusnya ia shalat karena ia telah suci dari nifas, dan di bulan ramadhan apakah ia harus berpuasa atau tidak ? Ya, tentu ia harus berpuasa jika itu terjadi di bulan ramadhan. Kemudian, apakah boleh suaminya menggaulinya ? Ya, boleh bagi suaminya untuk menggaulinya tanpa dimakruhkan. Sebab, bila ia telah dibolehkan untuk mengerjakan shalat, maka boleh pula untuk senggama.

[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/283]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

JIKA TERJADI KEJANGGALAN DATANGNYA HAIDH, LEBIH CEPAT ATAU TERLAMBAT DARI BIASANYA, ATAU LEBIH LAMA ATAU KURANG DARI MASA HAIDH YANG BIASANYA.
Oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa'di

 Pertanyaan.

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita mengalami kejanggalan dalam hal datangnya haidh, yaitu lebih cepat atau terlambat dari masa biasanya, atau lebih lama atau kurang dari masa haidh yang biasanya, apa yang harus dilakukannya ?

Jawaban.

Pendapat madzhab Hambali menyebutkan, bahwa hendaknya wanita tersebut tidak langsung menetapkannya sebagai masa haidhnya sampai terulangnya masa tersebut. Pendapat ini selayaknya tidak diikuti, dan umumnya orang-orang tetap menganut pendapat yang benar yang diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab Al-Inshaf, bahwa tidak ada jalan bagi kaum wanita tentang masa haidh dan masa datangnya haidh kecuali mengikuti pendapat ini, yaitu bahwa bila seorang wanita mengeluarkan darah maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Lalu jika darah itu telah berhenti maka ia haru segera mandi wajib (bersuci) dan melaksanakan shalat.

Ketetapan itu berlaku dalam keadaan bagaimanapun, baik datangnya haid itu lebih awal dari biasanya ataupun terlambat dari biasanya, sebagai contoh : Jika seorang wanita mengalami masa haidh selama lima hari lalu pada bulan lain ia mengalami masa haidh selama tujuh hari, maka ia harus berhenti shalat selama tujuh hari tanpa perlu menunggu kejadian haidh tujuh hari itu berulang-ulang. Beginilah yang dilakukan istri-istri shabat Radhiyallahu 'anhum serta istri-istri tabi'in setelah mereka, hingga para syaikh kami, tidak mengeluarkan fatwa tentang ini kecuali dengan pendapat ini.

Sementara pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menetapkan berpindahnya kebiasaan haidhnya karena kejanggalan baru kecuali kejanggalan itu telah terjadi sebanyak tiga kali, pendapat ini adalah pendapat yang tidak berdasarkan dalil, bahkan pendapat ini bertentangan dengan dalil, juga bertentangan dengan pendapat yang benar, bahwa tidak ada batasan tentang umur wanita dalam mengalami haidh, maka jijka ada wanita yang masih berumur dibawah sembilan tahun atau sudah melewati umur lima puluh tahun, jika ia mengeluarkan darah haidh maka ia hrus meninggalkan shalat, karena hukum asalnya memang demikian, sedangkan darah istihadah jelas bisa dibedakan dari darah haidh.

[Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Mu'allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di 7/98]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

HUKUM WANITA YANG MENGALAMI HAIDH PERTAMA
Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-Syaikh

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Asy-Syaikh ditanya : Tentang hukum wanita yang baru pertama kali mengalami haidh ?

Jawaban.

Pendapat yang benar, yang tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengambil pendapat-pendapat lainnya selain pendapat ini adalah bahwa jika seorang wanita yang belum pernah mengalami haidh mengeluarkan darah pada suatu waktu yang diperkirakan sebagai masa haidh, maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya sehingga habis masa haidnya, masa itu adalah masa haidh, dan tidak perlu baginya untuk menunggu sampai berulangnya peristiwa serupa (untuk menetapkan sebagai masa haisdnya).

Kaum wanita pada masa sekarang dan juga pada masa-masa sebelumnya hanya melaksanakan pendapat ini. Ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini. Adapun pendapat-pendapat ulama madzhab Hanbali sejauh yang saya ketahui adalah sama dengan pendapat ini, kemudian mereka menta'birkannya lima belas hari. Yang benar, pendapat ini adalah pendapat yang tidak ada dalil yang menguatkannya, untuk itu jika seorang wanita masih mengeluarkan darah hingga enam belas hari atau tujuh belas hari, atau delapan belas hari maka ia harus meinggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Seorang wanita harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya selama masih mengalir darinya darah yang bukan darah istihadhah (darah penyakit) dan darah istihadhah itu dapat dikenali.

Darah istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dalam jumlah yang banyak(defenisi darah istihadhah menurut Syaikhhul Islam). Dan perlu saya beritahukan di sini bawha ketika Allah menyebutkan tentang haidh, Allah tidak menyebutkan batas umur haidh, tidak menyebutkan masa haidh dan tidak merinci permulaan masa haidh, begitu pula Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyebutkan bahwa permulaan haidh adalah begini dan begitu. Pada dasarnya bahwa darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haidh, memang benar jika disebutkan bahwa ada darah yang dinamakan darah istihadhah, akan tetapi darah istihadhah ini memilki hukum tersendiri dan darah tersebut dapat dibedakan dengan darah haidh. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi kaum wanita kecuali harus melakasanakan pendapat ini. Bahkan sekalipun seseorang hendak mengobati wanita sehingga mereka melaksanakan pendapat tentu mereka tidak mampu dan tidak melaksankan pendapat orang tersebut. Dan ini meskipun bukan hujjah tapi bisa menerangkan bahwa apa yang disebutkan di dalam pendapat ini terdapat kesulitan.

[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/99]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

HAID SETELAH LIMA PULUH TAHUN
Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Bagaimanakah hukumnya jika haidh masih datang setelah umur lima puluh tahun ?

Jawaban

Yang benar adalah bahwa haidh tidak dibatasi dengan usia lima puluh tahun, bahkan jika terus mengeluarkan darah pada waktu putarannya, dengan sifat darah haidh dan sesuai dengan masa haidhnya, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haidh. Akan tetapi jika wanita itu telah lama tidak mengalami haidh setelah umur lima puluh tahun, maka darah yang keluar itu tidak dianggap darah haidh akan tetapi dianggap darah penyakit.

Adapun ucapan 'Aisyah Radhiyallahu a'nha : "Jika seorang wanita telah mencapai umur lima puluh tahun, maka ia telah keluar dari batas waktu haidh". Ucapannya ini disebutkan oleh Ahmad, ucapan Aisyah ini berita yang menggambarkan tentang kondisi wanita pada umumnya. Hal ini ia ucapkan untuk melakukan sikap mawas diri terhadap pokok-pokok syariat, karena pada dasarnya darah yang keluar itu tetap dianggap haidh kecuali ada dalil yang menyatakan bahwa darah itu bukan darah haidh.

[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/96]


KELUAR DARAH SEPERTI DARAH HAIDH SETELAH BERUSIA TUJUH PULUH TAHUN
Oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa'di

Pertanyaan.

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya : Jika seorang wanita telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh, apakah ia harus berhenti shalat ?

Jawaban.

Wanita yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh dan tidak bisa dibantah bahwa darah itu adalah darah haid, maka tidak diragukan lagi bahwa ia harus meninggalkan shalatnya, karena pendapat yang benar adalah bahwa keluarnya darah haidh itu tidak ada batasan umur termuda juga tidak ada batasan umur tertuanya, dan hukum darah tersebut adalah hukum darah haidh.

[Al-Majmu'ah Al-Kamilah Li Mu'allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di, 7/98]


[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

APAKAH ADA BATASAN WAKTU TERTENTU UNTUK MASA HAID YANG PALING SEDIKIT DAN YANG PALING LAMA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah ada batasan waktu tertentu untuk masa haidh tercepat dan masa haidh terlama dengan hitungan hari.

Jawaban.

Tidak ada batasan tertentu dengan jumlah hari untuk masa haidh tercepat dan masa haidh terlama, berdasrkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" [Al-Baqarah : 222]

Dalam ayat ini ada terdapat larangan untuk berhubungan badan dengan wanita yang sedang haidh, di sini Allah tidak menyebutkan batasan masa larangan itu menurut hitungan hari, akan tetapi basatan masa larangan itu hanya disebut sampai masa suci, berarti ayat ini menunjukkan bahwa alasan hukum Allah dalam hal itu adalah ada atau tidak adanya darah haidh, jika darah haidh itu ada maka ketetapan hukum larangan menyetubuhi wanita itu berlaku, dan jika wanita itu telah bersuci maka ketetapan hukum larangan menyetubuhi wanita itu tidak berlaku lagi.

Kemudian pula, tentang penetapan masa haidh tidak ada dalil yang menunjukkannya, padahal keterangan batasan masa haid ini amat penting untuk diketahui, seandainya batasan haid itu ada ketetapan waktunya maka pasti hal ini akan diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdasarkan ini, maka setiap kali seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu, kecuali jika keluarnya darah itu terus menerus dan tidak ada terputus, atau berhenti sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka berarti darah yang keluar itu bukan darah haidh melainkan darah istihadhah (darah karena penyakit).

[Fatawa Wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/271


[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Terbitan Darul Haq]

HAID WANITA HAMIL
Oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, "Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid".

Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.

Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.

Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :"Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".

Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :

[1]. Talak.
Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta'ala.

"Artinya : ....Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...." [Ath-Thalaaq : 1].

Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.

[2]. Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya" [Ath-Thalaaq : 4]


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin Nisaa' . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-'Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta]

BOLEHKAH WANITA HAIDH BERDIAM DI MASJID
Oleh Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan


Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Apakah wanita haidh dibolehkan untuk berdiam di masjid ?

Jawaban
Haram bagi wanita haidh untuk berdiam di masjid berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub" Diriwayatkan oleh Abu Daud

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya.

"Artinya : Sesungguhnya Masjid tidak halal bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub" Diriwayatkan oleh Ibnu Majah

Dibolehkan bagi wanita haidh untuk berjalan melintasi masjid tanpa berdiam di masjid itu, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : (Wahai Aisyah) Ambilkanlah untukku alas duduk dari masjid", maka aku berkata : "Sesungguhnya aku sedang haidh", maka beliau bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya haidhmu bukan di tanganmu (bukan kehendakmu)" Diriwayatkan oleh seluruh perawi hadits kecuali Al-Bukhari.

Dan dibolehkan bagi wanita untuk membaca dzikir-dzikir yang masyru', seperti membaca tahlil (Laa Ilaaha Illallah), takbir (Allahu Akbar), tasbih (Subhanallah) dan do'a-do'a lainnya yang bersumber dari wirid-wirid yang disyari'atkan di waktu pagi, sore, ketika tidur serta bangun dari tidur, juga boleh bagi wanita haidh untuk membaca kitab-kitab ilmiah seperti tafsir, hadits dan fiqh.

[At-Tanbiyat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman 14]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq hal. 160-161penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

MELEPASKAN IKATAN RAMBUT UNTUK MANDI HAID
Oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu-Syaikh

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apakah hukumnya melepaskan ikatan rambut ketika mandi setelah habis masa haidh.?

Jawaban
Menurut dalil yang lebih kuat adalah tidak ada kewajiban melepaskan ikatan rambut ketika hendak mandi bagi wanita yang telah selesai haidh, sebagaimana tidak adanya kewajiban tersebut untuk mandi junub. Hanya saja, memang terdapat dalil-dalil yang mensyari'atkan untuk melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh, akan tetapi perintah yang terdapat dalam dalil-dalil ini bukan menunjukkan hal yang wajib berdasarkan dari hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha.

"Sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?" dan dalam riwayat lain : "dan untuk mandi haid?", maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air atas kepalamu sebanyak tiga kali, ...." [Hadits Riwayat Muslim]

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh pengarang kitab Al-Inshaf dan Az-Zarkasyi, sedangkan dalam mandi junub maka hukum melepaskan ikatan rambut bagi wanita tidaklah sunnah (mandub). Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa 'Aisyah berkata : "Apakah aku harus memerintah mereka untuk memotong rambut itu ?" Kesimpulannya adalah :
melepaskan ikatan rambut tidaklah disyari'atkan saat mandi junub akan tetapi hal itu ditekankan dan dianjurkan saat mandi haidh. Penekanan ini pun berbeda-beda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah, berdasarkan keringanan dan kesulitan melepaskan ikatannya.

[Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/61]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal.21-22 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

SIFAT MANDI JUNUB DAN PERBEDAANNYA DENGAN MANDI HAID
Oleh Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya : Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita ? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits ? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haid?

Jawaban
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan
masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?". Rasulullah menjawab :

"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan demikian) kamu telah bersuci" [Hadits Riwayat Muslim].
Jika di atas kepala seorang lelaki maupun wanita terdapat ikatan atau pewarna rambut atau sesuatu lainnya yang dapat menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala, maka wajib dihilangkan, akan tetapi jika itu ringan dan tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala maka tidak wajib dihilangkan.

Adapun mandinya wanita setelah haidh, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya melepaskan ikatan rambutnya untuk mandinya. Yang benar, bahwa ia tidak harus melepaskan ikatan rambutnya untuk mandi tersebut, hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Muslim bahwa ia (Ummu Salamah) berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Sesunguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub ?" Rasulullah menjawab:

"Artinya : Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, (dengan demikian) maka kamu telah bersuci".

Riwayat hadits Nabi ini adalah merupakan dalil yang menunjukkan tidak adanya
kewajiban untuk melepaskan ikatan rambut untuk mandi junub atau untuk mandi haidh, akan tetapi sebaiknya ikatan rambut itu dilepas saat mandi haidh sebagai sikap waspada dan untuk keluar dari perselisihan pendapat serta memadukan dalil-dalil dalam hal ini.

[Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta', 5/320]


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia
Fatwa-fatwa Tentang Wanita penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, hal. 20-21 penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger