Home » » MAULID NABI 3

MAULID NABI 3

Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam

Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah

Sebelum kami menyebutkan satu persatu kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan maulid ini, di sini kami akan bawakan beberapa perkataan para ulama mengenai bentuk-bentuk perayaan maulid.

Para ulama telah membagi pelaksanaan perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menjadi dua bentuk:

Bentuk Pertama: Perayaan maulid yang kosong dari bentuk-bentuk kemungkaran dan maksiat. Hukum perayaan yang seperti ini adalah bid’ah dan baginya hukum-hukum bid’ah. Adapun perkataan para ulama tentang bentuk yang pertama ini akan kami paparkan pada bab setelah ini.

Muhammad bin Muhammad ibnul Hajj Al-Maliki Rahimahullahu berkata dalam Al-Madkhal (2/312), “Jika perayaan maulid kosong darinya -yakni dari mendengar nyanyi-nyanyian dan kemungkaran-kemungkaran yang mengikutinya- dan hanya sekedar acara makan-makan dengan meniatkannya (sebagai perayaan) maulid lalu mengundang saudara-saudaranya (kaum muslimin), serta perayaannya selamat dari semua perkara yang telah kami sebutkan berupa kerusakan-kerusakan, maka dia (tetap) merupakan bid’ah dengan semata-mata niatnya. Karena hal tersebut (perayaan maulid) adalah tambahan dalam agama dan bukan termasuk amalan para ulama salaf terdahulu”.

Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani Rahimahullahu menyatakan dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid ketika beliau menyebutkan dua bentuk perayaan maulid, “Yang pertama: Seseorang mengerjakannya (perayaan maulid) dari uang pribadinya untuk keluarga, teman-teman, dan kerabatnya, mereka tidak melampaui batas dari sekedar berkumpul untuk makan-makan dan mereka tidak mengerjakan sesuatu dosapun, maka bentuk yang kami paparkan ini adalah merupakan bid’ah yang dibenci dan tercela, karena tidak pernah dikerjakan oleh para pendahulu dari kalangan orang-orang yang taat, yang mereka ini adalah fuqoha` (ahli fiqih) Islam, ulama seluruh makhluk, penerang di setiap zaman, dan perhiasan semua tempat”.

Juga Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullah berkata dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikra Al-Maulid An-Nabawy, “Termasuk perkara-perkara yang dimunculkan oleh manusia berupa bid’ah-bid’ah yang mungkar adalah perayaan memperingati maulid Nabi Shallallahu alaihi wasallam di bulan Rabi’ul Awwal. Mereka dalam perayaan ini ada beberapa bentuk: Di antara mereka ada yang sekedar berkumpul, lalu dibacakan di dalamnya kisah maulid atau diadakan ceramah dan (pembacaan) sya’ir-syair dalam acara ini. Di antara mereka ada yang membuat makanan, kue-kue, dan selainnya lalu menyuguhkannya kepada orang-orang yang hadir, dan di antara mereka ada yang merayakannya di mesjid-mesjid dan di antara mereka ada yang merayakannya di rumah-rumah”.

Bentuk Kedua: Perayaan maulid yang dibumbui atau bahkan dipenuhi dengan kemungkaran-kemungkaran serta perkara-perkara yang diharamkan. Bentuk kedua ini ibarat kegelapan di atas kegelapan, karena asalnya perayaan maulid ini sudah merupakan bid’ah malah dihiasi dengan perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, wal’iyadzu billah. Berikut perkataan sebagian ulama yang berkenaan dengan bentuk kedua ini:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam sebuah fatwa beliau -sebagaimana dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau-, “Adapun berkumpul-kumpul untuk merayakan maulid disertai nyanyian, tarian dan yang semisalnya serta menjadikannya sebagai suatu ibadah, maka tidak ada seorangpun dari kalangan ahli ilmu dan iman yang ragu bahwa hal ini termasuk di antara kemungkaran yang dilarang, serta tidak ada yang menganggap baik amalan seperti ini kecuali orang yang bodoh atau munafiq”.

Al-Fakihani Rahimahullahu berkata dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid, “(Bentuk) Yang kedua, yaitu perayaan (maulid) yang dimasuki oleh berbagai pelanggaran-pelanggaran -lalu beliau menyebutkan beberapa kemungkaran-kemungkaran perayaan maulid, seraya berkata-, ”Bentuk yang seperti ini tidak ada dua orang yang berselisih tentang keharamannya dan tidak akan dianggap baik oleh orang yang memiliki kewibawaan. Tidak ada yang menghalalkan perbuatan ini kecuali jiwa-jiwa yang telah mati hatinya …”.

Syaikh Al-Fauzan Hafizhahullah berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikral Maulid An-Nabawy, “Di antara mereka (orang-orang yang merayakan maulid), ada yang (cara perayaannya) tidak terbatas pada sesuatu yang telah kita sebutkan (yakni tanpa ada kemungkaran), akan tetapi dia menjadikan pertemuan tersebut berisi perkara-perkara haram dan mungkar, seperti bercampur-baurnya lelaki dan wanita, tarian dan nyanyian, atau amalan-amalan kesyirikan, seperti beristigatsah (permintaan tolong dalam keadaan sangat genting) kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, menyeru (berdo’a kepada) beliau, meminta pertolongan kepada beliau agar dimenangkan atas musuh-musuh, dan selainnya …”.

Beberapa Kemungkaran yang Terjadi dalam Perayaan Maulid

Semua kemungkaran yang akan kami sebutkan di sini adalah ada dan terjadi dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Hanya saja mungkin sebahagian dari kemungkaran-kemungkaran ini tidak terdapat pada sebahagian negeri/daerah. Yang jelas kemungkaran-kemungkaran inilah yang disebutkan oleh para ulama -yang mereka ini telah meneliti tata cara maulid- dalam kitab-kitab mereka. Kemudian jumlah kemungkaran yang akan kami sebutkan bukanlah menunjukkan pembatasan bahwa kemungkarannya hanya itu. Akan tetapi masih banyak kemungkaran-kemungkaran lain yang mungkin lebih berbahaya dari apa yang akan kita sebutkan, terutama di negeri kita Indonesia ini. Oleh karena itulah, apa yang kami sebutkan di bawah hanyalah sekedar contoh yang mewakili semua kemungkaran-kemungkaran tersebut. Berikut uraiannya:

1. Meyakini disyari’atkannya perayaan maulid.

Padahal amalan ini adalah penentangan yang besar terhadap syari’at karena dia adalah bid’ah yang mungkar. Serta meyakini kesyirikan yang terjadi di dalamnya -berupa penyembahan kepada Nabi Muhammad- sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai bentuk kecintaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Maka apakah ada keyakinan yang paling rusak dibandingkan meyakini bid’ah sebagai sunnah dan meyakini kesyirikan sebagai ibadah ?!

2. Meyakini bahwa barangsiapa yang mendapati pada hari itu (hari maulid) satu saat ketika keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, lalu dia berdo’a kepada Allah saat itu, maka pasti akan terkabulkan.

Ini mereka kiaskan dengan adanya satu waktu pada hari Jum’at yang padanya dikabulkan do’a, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda tentang hari Jum’at:

“Di dalamnya terdapat satu waktu, seorang hamba yang muslim tidaklah mendapatinya sedang dia dalam keadaan berdo’a, memohon sesuatu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali Allah akan kabulkan permintaannya”. (HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 852)
Mereka menyatakan, “Jika hari Jum’at yang Nabi Adam ‘alaihis salam [Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang telah berlalu: “Sebaik-baik hari yang matahari terbit padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan, padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at”] diciptakan padanya, Allah jadikan padanya satu waktu, yang apabila seorang hamba berdo’a kepada Allah pada saat itu niscaya akan dikabulkan, maka bagaimana lagi dengan hari yang di dalamnya dilahirkan pimpinan para Nabi dan Rasul?!. Tentunya berdo’a pada saat itu lebih dikabulkan”. Lihat Al-Mawahib karya Al-Qosthollany (1/132).

Bantahan:

Orang yang mempunyai ilmu agama yang paling minim pun akan mengetahui rusaknya kias yang seperti ini. Karena terkabulnya do’a pada hari Jum’at diketahui dengan adanya nash dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun perayaan maulid adalah acara kerusakan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya berlepas darinya, sehingga tidak mungkin Allah akan mengabulkan do’a pada waktu itu.

Pernyataan ini telah disanggah oleh Syaikh Az-Zarqany di dalam syarh beliau terhadap kitab Al-Mawahib ini (1/132-133). Beliau berkata, “Kalau yang dia (Al-Qistholany) inginkan (dengan pernyataannya ini) adalah bahwa pada hari itu (kelahirannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) dan yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) sampai Hari Kiamat, padanya ada satu waktu (yang dikabulkan padanya do’a) sama seperti satu waktu yang ada pada hari Jum’at (yang dikabulkan padanya do’a) atau lebih afdhol dari itu, maka pendalilannya (pengqiasannya/penganalogian) ini adalah pengqiasan yang rusak. Kalau yang dia inginkan adalah waktu itu sendiri (yaitu waktu kelahiran Nabi Shallallahu alaihi wasallam saja, bukan hari maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat), maka ketentuan/ilmu) tentang adanya satu waktu pada hari Jumat (yang dikabulkan padanya do’a) belum ada pada saat itu (yakni pada saat Nabi Shallallahu’alaihi wasallam lahir). Akan tetapi ketentuannya datang dalam hadits-hadits yang shahih beberapa lama setelah itu (yaitu setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai seorang Rasul). Jadi kalau begitu, tidak mungkin keduanya bisa bertemu sehingga bisa dikatakan yang satunya lebih afdhol dari yang lainnya. Sementara yang satunya (hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah habis (telah berlalu) dan yang lainnya (yaitu hari Jum’at dan satu waktu yang adanya padanya) terus menerus ada sampai saat ini dan syariat telah menegaskan tentang hal tersebut. Sementara dari sisi lain, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hari kelahiran Nabi dan hari-hari yang semisal dengannya (yaitu hari maulid tiap tahunnya) di dalamnya terdapat satu waktu dikabulkannya do’a pada saat itu. Oleh karena itu, yang wajb bagi kita hanyalah bersandar penuh dengan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada kita (berupa dalil yang shahih) dan tidak boleh bagi kita membuat suatu perkara baru (bid’ah) -dalam agama- dari diri kita yang sangat lemah ini, kecuali dengan mengambil dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam“.

3. Mereka meyakini bahwa malam maulid lebih afdhol daripada Lailatul Qadr.
Hal ini -menurut mereka- bisa ditinjau dari tiga sisi :

a. Bahwa malam maulid adalah malam hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sedangkan lailatul Qadr merupakan pemberian Allah kepada beliau.

b. Lailatul Qadr dimuliakan dengan turunnya para malaikat, sedangkan malam maulid dimuliakan dengan hadirnya (lahirnya) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.

c. Lailatul Qadr keutamaannya terkhusus buat ummat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sedangkan malam maulid adalah keutamaannya meliputi seluruh makhluk. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.

Bantahan:

Ini adalah pendalilan yang tidak menguntungkan orang yang berdalil dengannya. Karena, jika yang diinginkan dengan malam maulid adalah malam lahirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan malam maulid tiap tahunnya sampai Hari Kiamat lebih afdhol daripada Lailatul Qadr, maka ini adalah kesalahan yang sangat nyata dan jelas. Dan jika yang diinginkan dengannya, hanya malam yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan saja (bukan malam maulid tiap tahunnya), maka Lailatul Qadr belum ada ketika malam lahirnya beliau sehingga tidak mungkin keduanya bertemu. Karena Lailatul Qadr ada setelah berlalunya puluhan tahun dari malam kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, sehingga tidak mungkin bisa diperbandingkan. Ini adalah jawaban dari Asy-Syihab Al-Haitamy Rahimahullahu sebagaimana dalam Syarh Al-Mawahib (1/136).

Kemudian, Lailatul Qadr telah dijelaskan keutamaannya dalam Al-Qur`an sedangkan malam maulid, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan tentang keutamaannya, baik dari Al-Qur`an maupun dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak pula dari perkataan seorangpun dari ulama ummat ini. (Lihat Al-Mauridur Rowy hal. 52 karya ‘Ali Qori`)

Dari sisi yang lain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada siang hari, bukannya malam hari sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Abu Qotadah Radhiallahu‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam ditanya tentang hari Senin, maka beliau menjawab,

“Itu adalah hari yang saya dilahirkan padanya” (Telah berlalu takhrijnya ).
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa beliau dilahirkan di siang hari dan beliau tidak berkata, “Itu adalah malam yang saya dilahirkan padanya”. Ini disebutkan oleh Imam Abu Hafsh Al-Fakihani dalam Al-Maurid fii Hukmil Maulid hal. 74-75.

4. Meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam keluar dari kuburnya bersama jasad atau hanya ruh beliau- dan menghadiri acara maulid.

Syaikh bin Baz Rahimahullahu berkata ketika menjelaskan rusaknya keyakinan ini dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, hal 13-14, “Sebagian mereka (yakni yang merayakan maulid) menyangka (meyakini) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (keluar dari kubur beliau) menghadiri acara maulid. Oleh karena itu, mereka berdiri untuknya sebagai ucapan selamat dan penyambutan. Ini adalah termasuk kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang jelek, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat, tidak pernah berhubungan dengan seorangpun dari manusia dan tidak menghadiri perkumpulan-perkumpulan mereka. Akan tetapi beliau terus-menerus berada di kubur beliau sampai hari kiamat, sedangkan ruh beliau berada di tempat yang paling tinggi di sisi Rabbnya dalam negeri kemuliaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Mu`minun:

“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kalian seluruhnya benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kalian seluruhnya akan dibangkitkan (dari kubur) di hari kiamat”. (QS. Al-Mu`minun: 15-16)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Saya adalah pimpinannya anak Adam pada hari kiamat, orang yang paling pertama dibangkitkan dari kuburnya, yang pertama kali memberi syafa’at dan yang pertama kali diizinkan memberi syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Atas beliau sholawat dan salam yang paling mulia dari Rabbnya. Jadi, ayat yang agung ini dan hadits yang mulia ini, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, semuanya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan selain beliau dari kalangan orang-orang yang sudah meninggal, seluruhnya mereka hanya akan keluar dari kuburnya pada hari kiamat….”.

5. Berdiri ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam hadir -menurut sangkaan mereka- sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan kepada beliau.

Telah dimaklumi bahwa menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam itu hanya dengan cara yang disyariatkan. Adapun cara yang seperti ini adalah perkara yang tidak disyariatkan dalam Islam, bahkan merupakan perkara yang diharamkan.

Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hajjawy Ats-Tsa’alaby Al-Fasy di dalam kitab beliau Al-Fikru As-Sami Fi Tarikh Al-Fiqh Al-Islamy (1/93) sebagaimana yang dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Imam Abu Hafsh Tajuddin Al-Fakihani di dalam Al Maurid fi Hukmil Maulid, beliau (Syaikh Muhammad bin Hasan) berkata, “Dan di antara al-istihsan (anggapan-anggapan baik) yang diharamkan adalah berdiri ketika hadirnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam -menurut sangkaan mereka-, karena telah datang nash-nash yang shorih (jelas/tegas) yang melarang hal tersebut….”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata di dalam Ziyaratul Qubur wal Istinjadu bil Maqbur, hal. 55-57 ketika beliau ditanya, “Apa hukumnya meletakkan kepala (di bawah) dan mencium lantai/tanah untuk menghormati orang-orang besar?”. Maka beliau menjawab, “Adapun meletakkan kepala untuk memuliakan orang-orang besar dari kalangan syaikh-syaikh dan yang selain mereka atau mencium lantai dan yang semisalnya, maka ini adalah perkara yang tidak ada perselisihan di kalangan imam-imam/ulama (kaum muslimin) tentang terlarangnya (haramnya) hal tersebut. Bahkan menundukkan punggung sedikit saja untuk selain Allah -’Azza wa Jalla- merupakan perkara yang terlarang”. Lalu beliau menyebutkan dalil tentang hal tersebut seraya berkata, “Telah tsabit dalam hadits yang shahih dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiallahu‘anhu beliau berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (pernah) shalat mengimami para sahabat dalam keadaan duduk karena sakit yang beliau alami, sedang mereka (para sahabat) shalat dalam keadaan berdiri. Maka beliau perintahkan para sahabat untuk duduk lalu beliau berkata, [“Janganlah kalian mengagungkan saya sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab) sebagian mereka mengagungkan sebagian yang lain”]. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain, [“Barang siapa yang senang manusia berdiri untuk (menghormati) nya maka hendaknya ia mengambil tempat duduknya di dalam neraka”]…”. Kemudian beliau (syaikhul Islam) berkata, “Maka sebagai kesimpulan bahwa berdiri (untuk menghormati), duduk, rukuk, dan sujud hanyalah hak Allah -’Azza wa Jalla- satu-satunya yang telah menciptakan langit dan bumi. Jadi apa saja yang merupakan hak Allah, maka tidak boleh dipalingkan kepada siapapun juga dari kalangan makhluk-Nya….”.

Kemudian dari sisi yang lain, berdiri yang seperti ini -yakni untuk membesarkan dan mengagungkan makhluk- adalah termasuk ibadah gerakan dalam shalat sehingga tidak boleh melakukannya kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sangat marah dan menegur para sahabat beliau tatkala mereka berdiri untuk menyambut beliau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Janganlah kalian berdiri sebagaimana orang-orang ‘Ajam (non Arab), sebagian mereka (berdiri untuk) mengagungkan sebagian yang lain”. (HR. Abu Daud no. 5230 dari Abu Umamah Al-Bahily Radhiallahu‘anhu) [Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albany Rahimahullahu dalam Adh-Dho’ifah no. 346, akan tetapi kandungan maknanya benar dan dikuatkan oleh hadits setelahnya. Wallahu A’lam. [ed.]]

Anas bin Malik Radhiallahu‘anhu telah berkata mengisahkan keadaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, "Tidak ada seorangpun yang lebih mereka (para sahabat) cintai daripada Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam, (Sekalipun demikian) mereka jika melihat beliau (Nabi Shallallahu’alaihi wasallam), maka mereka tidak berdiri karena mereka tahu akan kebencian beliau terhadap hal tersebut”. (HR. At-Tirmidzi no. 2754)

6. Berdo’a, beristianah (meminta pertolongan), beristighotsah (meminta pertolongan pada waktu genting), dan beristi’adzah (meminta perlindungan) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, walaupun sekedar menjadikan beliau sebagai wasilah (perantara) antara dirinya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal do’a adalah sebesar-besar ibadah, yang secara umum kapan suatu ibadah dipalingkan kepada selain Allah -baik itu malaikat yang paling dekat dengan Allah maupun Nabi yang paling mulia-, maka hal itu termasuk syirik akbar yang membuat pelakunya keluar dari Islam dan kekal dalam api neraka, jika tidak bertaubat sebelum meninggalnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman memerintahkan berdo’a langsung kepadanya tanpa ada perantara:

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”. (QS. Ghofir: 60)

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan:
“Do’a adalah ibadah”. (HR. Abu Daud no. 1479, At-Tirmidzy no. 2969, 3247, An-Nasa`iy dalam Al-Kubra no. 11464, dan Ibnu Majah no. 3828 dari Nu’man bin Basyir Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ no. 3407)
Sedangkan isti’anah, istighotsah, dan isti’adzah adalah termasuk bentuk-bentuk doa sehingga harus diserahkan hanya kepada Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. (QS. Al-Fatihah: 5)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu”. (QS. Al-Anfal: 9)

Tentang isti’adzah, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan para hamba untuk meminta perlindungan hanya kepada-Nya:

“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh”. (QS. Al-Falaq: 1)
“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”. (QS. An-Nas: 1)

Syaikh Ahmad bin Nashir Al-Ma’mary An-Najdy Rahimahullahu berkata di dalam Al-Hadiyyah As-Saniyyah wat Tuhfatul Wahhabiyyah, hal. 45, “Yang kami yakini dan kami beragama dengannya bahwa barangsiapa yang berdo’a kepada seorang nabi atau seorang wali atau yang lainnya, lalu ia meminta kepada mereka supaya memenuhi hajatnya dan menghilangkan kesusahannya, maka ini adalah kesyirikan yang sangat besar, karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkafirkan orang-orang musyrikin. Sebab dahulu mereka telah menjadikan para wali (dan yang semisalnya) sebagai pemberi syafa’at yang bisa memberikan manfaat atau menolak bahaya menurut sangkaan mereka, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata; “Mereka itu adalah pemberi syafa`at kami di sisi Allah”. Katakanlah; “Apakah kalian mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya baik di langit dan tidak (pula) di bumi?” Maha Suci dan Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka mempersekutukan”. (QS. Yunus: 18)”. -selesai ucapan beliau-

Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu berkata di dalam Majmu’ Fatawa (2/388) ketika beliau ditanya, “Apakah termasuk kesyirikan apabila seseorang berkata di sudut bumi manapun, [“Wahai Muhammad…..!, wahai Rasulullah (berdo’a atau minta pertolongan kepadanya)?]”.
Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang sangat mulia dan melalui lisan Rasul-Nya yang terpercaya, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa ibadah seluruhnya hanyalah milik Allah dan tidak ada hak sedikitpun juga (dari ibadah tersebut) bagi selain-Nya dan sesungguhnya do’a termasuk bagian dari ibadah. Jadi, barang siapa yang berkata di sudut bumi manapun juga, [“Wahai Rasulullah….!, wahai Nabi Allah….! atau Nabi Muhammad….!, tolonglah saya, selamatkanlah saya, berikan syafa’at kepada saya, tolonglah umatmu, sembuhkanlah yang sakit dari kaum muslimin, berilah petunjuk kepada mereka”], atau kalimat-kalimat yang semisal itu, maka sungguh dia telah menjadikan tandingan/sekutu bersama Allah di dalam (penyerahan) ibadah. Demikian pula hukumnya orang yang melakukan perbuatan seperti ini kepada selain beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam) dari kalangan para nabi atau para malaikat, wali-wali, berhala-berhala atau yang selainnya dari kalangan makhluk ini. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Azzariyat: 56)

Allah berfirman:

“Wahai sekalian manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 21)”. -Selesai ucapan beliau-

7. Menyembelih untuk selain Allah.

Ini juga termasuk pembatal keislaman seseorang, karena menyembelih untuk Allah adalah termasuk ibadah harta (maliyah) terbesar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan. Maka memalingkannya untuk selain Allah adalah termasuk kesyirikan yang paling besar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.”. (QS. Al-An’am: 162)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah mengancam orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah dengan laknat dari-Nya, melalui sabda beliau:
“Allah melaknat orang yang menyembelih kepada selain Allah”. (HR. Muslim no. 1978 dari ‘Ali bin Abi Tholib Radhiallahu‘anhu)[ Hadits itu juga bisa bermakna do’a laknat untuk mereka. Maka hendaknya orang-orang yang menyembelih untuk selain Allah takut terhadap do’a ini. [ed]]

8. Pembacaan sajak-sajak atau sholawat-sholawat bid’ah, bahkan ada yang sampai pada tingkat kesyirikan.

Seperti sebuah kitab sholawat -menurut mereka- yang berjudul Maulidul Barzanjy karya Ja’far bin Hasan Al-Barzanjy, Qoshidatul Burdah karya Al-Bushiry [Telah berlalu penyebutan beberapa kesalahan yang terdapat dalam kedua kitab ini pada bab keutamaan sholawat], Syaraful Anam, dan selainnya.

9. Menyiapkan berbagai jenis makanan disertai keyakinan bahwa masing-masing makanan memiliki makna dan fungsi tersendiri.

Ini adalah termasuk di antara bentuk-bentuk tathoyyur (pamali) yang diharamkan dan merupakan syirik ashgar (kecil) [Tapi bisa menjadi syirik asghar jika dia meyakini bahwa benda-benda atau makanan itulah yang mendatangkan manfaat atau yang menolak mudhorot selain Allah -Ta’ala-]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu:

“Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah kesyirikan”. (HR. Abu Daud no. 3910, At-Tirmidzy no. 1614, dan Ibnu Majah no. 3538 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 429)

Bahkan thiyaroh ini merupakan salah satu sifat orang-orang musyrik terdahulu, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan tentang Fir’aun dan para pengikutnya:

“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkat, “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan thiyaroh (sebab kesialan itu) kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Al-A’raf: 131)

Juga firman Allah Ta’ala:

“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib sial karena kalian, sesungguhnya jika kalian tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kalian dan kalian pasti akan mendapat siksaan yang pedih dari kami”. Para rasul itu berkata, “Kesialan kalian itu adalah karena (kesalahan) kalian sendiri. Apakah jika kalian diberi peringatan (kalian lantas mengancam kami)? Sebenarnya kalian adalah kaum yang melampaui batas””. (QS. Yasin: 18-19)

Dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya, maka seorang akan keluar dari golongan 70.000 orang [Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setiap 1000 orang ditambahkan 70.000 orang lagi, sehingga totalnya adalah 4.900.000 orang. Haditsnya dihasankan oleh Syaikh Ibnu Baz Rahimahullahu dalam syarh beliau terhadap hadits ini dari Kitabut Tauhid karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Rahimahullahu] yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhuma telah mengabarkan tentang sifat mereka:

“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay [Yakni pengobatan dengan menggunakan besi yang dipanaskan lalu ditempelkan ke tempat yang terasa sakit], tidak bertathayyur dan hanya kepada Rabbnya mereka bertawakkal”. (HR. Al-Bukhari no. 5378, 6107 dan Muslim no. 218).

10. Dijadikannya hari maulid sebagai salah satu ‘ied (hari raya) kaum muslimin oleh pemerintah suatu negara.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Maka ini tegas menunjukkan bahwa selain dari dua ‘ied (hari raya) di atas adalah hari ‘ied jahiliyah (yang tidak ada dasarnya dalam tuntunan Islam).

11. Perayaan ini merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap ahli kitab.
Padahal kita telah dilarang untuk menyerupai orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kalian termasuk orang-orang musyrikin”. (QS. Ar-Rum: 31)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka” (Telah berlalu takhrijnya).

Telah berlalu pembahasan ini secara lengkap pada bab keenam.

12. Adanya jalan dan kesempatan yang bisa mengantarkan kepada terjadinya bentuk-bentuk perzinahan

Yakni perzinahan dalam artian yang lebih luas sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau:

“Telah dituliskan atas anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan mendapatinya (melakukannya) tidak mungkin tidak: Maka kedua mata zinanya dengan melihat, kedua telinga zinanya dengan mendengar, lidah zinanya dengan berbicara, tangan zinanya dengan menyentuh, kaki zinanya dengan melangkah, hati berhasrat dan berangan-angan, dan hal itu akan dibenarkan atau didustakan oleh kemaluan”. (HR. Al-Bukhari no. 5889, 6238 dan Muslim no. 2657 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu dan ini adalah lafadz Muslim)

Di antara bentuknya adalah:

Terfitnahnya para lelaki dengan amrod (Anak lelaki yang gagah dan belum baligh yang belum tumbuh jenggotnya).

Ini merupakan jalan yang bisa mengantarkan kepada perbuatan sodomi (homoseks), wal’iyadzu billah. [Bagaimana seorang tidak tertarik dengan anak-anak kecil atau ABG yang sengaja dihias untuk tampil bernyanyi dan bersya`ir di depan khalayak ramai?!. Ini merupakan sebab terbesar timbulnya perbuatan sodomi oleh orang yang memiliki penyakit hati. Cukuplah peristiwa yang terjadi di zaman Nabi Luth -‘alaihis salam- sebagai ibrah dan pelajaran. Belum lagi, tampilnya wanita pilihan yang muda lagi cantik bersolek dengan busana yang indah untuk menghibur para hadirin, nas’alullahal ‘afiyah was salamah minal fitan.[ed]]

Terfitnahnya (tertariknya) lelaki -baik yang telah baligh maupun yang belum- kepada wanita -baik yang telah baligh maupun yang belum- dan demikian pula sebaliknya.
Padahal Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah memperingatkan hal ini dalam sabda beliau:

“Saya tidaklah meninggalkan setelahku suatu fitnah (ujian) di tengah manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki dibandingkan para wanita”. (HR. Al-Bukhari no. 4808 dan Muslim no. 2740, 2741 dari Usamah bin Zaid Radhiallahu‘anhu)

Dan beliau juga telah bersabda:

“Maka takutlah kalian dari (fitnah) dunia dan takutlah kalian dari (fitnah) wanita”. (HR. Muslim no. 2742 dari Abu Sa’id Al-Khudry Radhiallahu‘anhu)
Percampurbauran antara lelaki dan wanita.

Ini bertentangan dengan perintah Allah dalam Al-Qur`an yang mensyari’atkan adanya hijab antara lelaki dan wanita. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Apabila kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (para wanita), maka mintalah dari belakang tabir, cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (QS. Al-Ahzab: 53)

Rasul-Nya juga telah bersabda:

“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita”. Maka ada seorang lelaki dari Anshor yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang ipar?”, beliau menjawab, [”Ipar adalah kematian”]. (HR. Al-Bukhari no. 4934 dan Muslim no. 2172 dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu‘anhu)

Kaum pria memandang kepada aurat wanita yang bukan mahramnya dan demikian pula sebaliknya.

Padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah memerintahkan sebaliknya yaitu menundukkan pandangan dari lawan jenis yang bukan mahram. Perintah ini Allah arahkan kepada lelaki dalam firman-Nya:

“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka”. (QS. An-Nur : 30)

Juga kepada wanita:

“Katakanlah kepada para wanita beriman, hendaklah mereka menahan (menundukkan) pandangan-pandangan mereka dan memelihara kemaluan-kemaluan mereka”. (QS. An-Nur: 31)

Laki-laki menyentuh wanita yang bukan mahramnya dan sebaliknya.

Telah nyata adanya ancaman bagi lelaki dan wanita yang melanggar hal ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda:

“Andaikata kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Ar-Ruyany dalam Musnadnya no. 1282, Ath-Thobarony (20/no. 486-487), dan Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman no. 4544 dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 226)

Hadits ini menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram atau disentuh oleh wanita atau lelaki yang bukan mahram adalah termasuk dosa besar.

Keluarnya para wanita dari rumah mereka -tanpa ada hajat dan keperluan- dalam keadaan berhias, memakai wewangian, dan menampakkan perhiasannya.

Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, memerintahkan kepada para wanita:
“Dan hendaklah kalian (wahai para wanita) tetap (tinggal) di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dengan model berhias orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab: 33)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah bersabda:

“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka akan dibuat anggun oleh syaithan”. (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 273)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah bersabda:
“Jika seorang wanita memakai wewangian lalu dia melewati suatu kaum agar mereka (kaum tersebut) mencium wangi dirinya maka dia adalah begini dan begitu, -beliau mengucapkan perkataan yang keras-” (HR. Abu Daud no. 4173, At-Tirmidzy no. 2786, dan An-Nasa`i (2/283) dari Abu Musa Al-Asy’ary dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 323).

Dan dalam riwayat At-Tirmidzi: “Yakni dia adalah pezina”.

13. Adanya nyanyian-nyanyian, alat-alat musik, serta tarian-tarian.
Semua hal ini adalah perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan firman-Nya:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna yang karenanya dia menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”. (QS. Luqman: 6)

Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu berkata menafsirkan makna [“perkataan yang tidak berguna”], “Dia -demi Allah- adalah nyanyian”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21130, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 3542 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubrao (10/223))

Dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf no. 21137 dan Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (10/221, 223) meriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma bahwa beliau berkata mengomentari ayat di atas, "Ayat (dalam surah Luqman) ini turun berkenaan dengan nyanyian dan yang semisalnya”.

Maka ini adalah penafsiran dari dua pembesar sahabat dalam masalah tafsir Al-Qur`an yang keduanya menyatakan bahwa ayat tersebut turun untuk mengharamkan nyanyian, musik, dan yang semisalnya.

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam juga telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda Hari kiamat adalah dengan tersebarnya nyanyian dan alat musik. Beliau bersabda:

“Akan datang dari ummatku sekelompok kaum yang akan menghalalkan perzinahan, kain sutera (bagi lelaki), khamer, dan alat-alat musik”. (HR. Al-Bukhari no. 5268 dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ary Radhiallahu‘anhu) [Sebagian orang ada yang berusaha melemahkan hadits ini dengan beberapa alasan yang sangat lemah. Lihat alasan-alasan tersebut beserta bantahannya dalam Fathul Bari (1/52), Ighotsatul Luhfan (1/290-291), dan Tahrim Alatut Thorb hal. 81-82]

Syaikh Shalih Alu Asy-Syaikh berkata, “Hadits ini jelas menunjukkan keharamannya, karena penghalalan tidak mungkin dilakukan kecuali pada perkara yang diharamkan. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah benar, sungguh sekelompok manusia dari kalangan umat Muhammad sudah ada yang menggunakan alat-alat musik dan lagu-lagu dengan meremehkan dan tidak memperdulikan (larangan syari’at)”. Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho`i Asy-Sya`i’ah hal. 53.

Dan Imam Ibnul Qoyyim berkata menerangkan makna hadits di atas dalam Ighotsatul Luhfan (1/291), “Dan sisi pendalilan dari hadits ini adalah bahwa sesungguhnya alat-alat musik, semuanya adalah alat-alat yang melalaikan, tidak ada perbedaan pendapat di antara pakar bahasa dalam perkara ini. Dan seandainya hal itu (alat-alat musik, pen.) halal, maka pasti Nabi tidak akan mencerca mereka (kaum yang tersebut dalam hadits, pen.) karena penghalalan mereka atasnya (alat-alat musik, pen.) dan pasti tidak akan digandengkan penghalalannya dengan penghalalan minuman keras“.

14. Kurangnya penghormatan dan tadabbur kepada Al-Qur`an karena mereka menggabungkan -dalam acara maulid ini- antara Al-Qur`an dan nyanyian-nyanyian.

Ini menunjukkan kurangnya ketaqwaan di dalam hati. Memadukan antara Al-Qur’an dan nyanyian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syari’at dan merupakan perbuatan tidak mengagungkan syi’ar Allah, karena Al-Qur`an adalah syi’ar Allah yang terbesar di muka bumi ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al-Hajj: 32)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”. (QS. Muhammad: 24)

15. Hadir/berperan serta dan berinfak/mengeluarkan harta dalam perayaan maulid.
Ini adalah bentuk dukungan terhadap kerusakan dan kesesatan sebagaimana yang akan datang berupa fatwa para ulama tentang hal ini.

16. Boros dan mubazzir dalam hal makanan [Bentuk pemborosan ini sangat jelas terjadi ketika hari peringatan maulid.

Orang-orang yang hadir, baik tua maupun muda, semuanya berebutan makanan sehingga terkadang rebutan yang berbentuk “tawuran” tersebut membuat sebagian makanan terhambur dan jatuh di tanah, sedang mereka tidak memungutnya. Di lain tempat, sebagian orang seusai acara inti berupa ceramah, bukannya berebutan makanan, akan tetapi saling melempar makanan antara satu hadirin dengan yang lainnya. Di sudut kota lain, ada yang melemparkan semacam tumpeng atau nasi tujuh warna ke lautan atau ke sungai, ibaratnya seperti orang-orang musyrikin dan penganut animisme.

Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang berbuat boros dan memerintahkan kita agar tidak membuang makanan yang jatuh, akan tetapi makanan yang jatuh hendaknya dibersihkan lalu dimakan. Inilah sebagian di antara bentuk pemborosan mereka. [ed]]. Ini menyerupai sifat setan yang memerintahkan mereka untuk melakukan bid’ah maulid ini:

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”. (QS. Al-Isra`: 26-27)

Perbuatan ini juga termasuk perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila ada pada seorang hamba. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengabarkan:

“Sesungguhnya Allah membenci untuk kalian 3 (perkara): Qila wa qol (dikatakan seperti ini dan dia berkata seperti ini) [Ini ungkapan dari perbuatan senang menukil suatu perkataan tanpa memperjelas sebelumnya], membuang-buang harta dan terlalu banyak bertanya [Yakni pada perkara-perkara yang sudah sangat jelas]”. (HR. Al-Bukhari no. 1407, 2277, 5630, 6108, 6862 dan Muslim no. 593 dari Al-Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu‘anhu)

17. Dzikir berjama’ah.

Telah berlalu -pada bab keempat- kisah Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu yang mengingkari orang-orang yang berdzikir berjama’ah di zaman beliau. Ini menunjukkan bahwa dzikir secara berjama’ah sama sekali tidak pernah mereka lakukan bersama Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. [Untuk lebih puasnya, silakan anda baca kitab Adz-Dzikr Al-Jama’iy karya Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Khumayyis Hafizhahullah. Kesimpulannya, dzikir jama’ah adalah bid’ah dholalah (sesat), bagaimanapun mereka berusaha keras untuk ‘mencari-cari’ dalil, sebab pengingkaran sahabat Abdullah bin Mas’ud yang diisyaratkan oleh penulis (Syaikh Muhammad) sudah cukup menjadi “kata pemutus” dalam permasalahan ini. Beliau adalah sahabat yang telah menyaksikan kehidupan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini adalah bid’ah. Maka alangkah mengherankannya jika ada orang yang hidup di zaman belakangan yang menyatakan bahwa dzikir jama’iy ini ada di zaman kenabian, padahal Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu‘anhu telah mengingkarinya !!? [ed]]

18. Mengkhususkan adanya taushiah (ceramah agama) dalam setiap perayaan.

Ini juga merupakan suatu bid’ah. Karena taushiah adalah perkara yang dituntut kapan dan dimana saja. Syari’at memerintahkannya dalam bentuk umum tanpa mengikatnya atau membatasinya dengan waktu dan tempat tertentu. Maka mengkhususkan atau mengikat adanya taushiah khusus dalam perayaan maulid, tanpa ada dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah bid’ah (Lihat Ahkamul Jana`iz hal. 306 karya Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullahu).

{Lihat : Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid bab keenam dan ketujuh, Hukmul Ihtifal bi Dzikrol Maulid An-Nabawy, Hukmul Ihtifal bil Maulid warroddu ‘ala Man Ajazahu dan Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid bab ketiga}

[Dinukil dari Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
DIarsipkan di bawah: Matikan Bid'ah, Maulid Nabi

http://sunniy.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger