Home » » 15 FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH 1

15 FAKTOR MANTAPNYA AQIDAH 1


Judul Asli :
من التغيرات وسلامتها عقيدة السلف ثبات
Penulis :
Fadhîlatu asy-Syaikh ‘Abdur-Razzâq bin ‘Abdil
Muhsin al-‘Abbâd
Alih Bahasa :
Muhammad Abū Salmâ

Dengan nama Allôh yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji hanyalah milik Allôh Rabb (Pemelihara) Alam semesta, dan akibat yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Sholâwat dan Salâm senantiasa terlimpahkan kepada penghulu para rasūl, Nabî kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh sahabat beliau. Adapun setelah itu :

Sesungguhnya, ‘Aqîdah Islâmîyah yang murni lagi suci, yang digali dari al-Kitâb dan as-Sunnah, memiliki kedudukan yang tinggi lagi teratas di dalam agama, bahkan kedudukannya bagaikan kedudukan suatu pondasi bagi bangunan, bagaikan kedudukan hati terhadap jasad dan kedudukan akar bagi pohon. Allôh

Ta’âlâ berfirman :

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS Ibrâhîm : 24).

Jadi, perkara aqidah ini merupakan perkara yang sangat besar, kedudukannya tinggi dan statusnya mulia. Perkaranya tertanam di dalam jiwa dan terpendam di dalam hati pemiliknya, sehingga dari aqidah-lah mereka beranjak dan condong kepadanya serta demi aqidah pula-lah mereka membela. Begitu tingginya kedudukan aqidah di dalam jiwa dan hati mereka, sehingga menyebabkan hati menjadi mantap dan jiwa menjadi kokoh. Hal ini membuahkan dan membentuk perangai yang baik, manhaj yang lurus, kesempurnaan di dalam amalan, ketekunan di dalam ketaatan dan ibadah, dan menetapi perintah Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Setiap kali aqîdah ini semakin kokoh tertanam di dalam jiwa dan semakin mantap terpendam di dalam hati mereka, pada saat itulah aqidah akan membawa mereka kepada setiap kebaikan dan mendorong mereka kepada segenap keberhasilan, kebaikan dan keistiqomahan. Begitulah, mereka mencurahkan perhatian yang besar terhadap aqidah, dan semakin bertambah perhatian dan pemeliharaan mereka terhadap aqidah melebihi semua hal yang urgen dan penting. Aqidah menurut mereka lebih urgen ketimbang makanan, minuman, pakaian dan seluruh kebutuhan mereka, karena aqidah merupakan hakikat hati mereka. Allôh Ta’âlâ berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS al- Anfâl : 24)

Aqidah adalah kehidupan hati mereka yang sejati, merupakan pondasi tumbuhnya amalan, lurusnya perangai dan baiknya manhaj dan cara (beragama) mereka. Karena itulah, perhatian mereka semakin besar terhadap aqidah, baik secara keilmuan maupun keyakinan, sehingga membuahkan hasil berupa kesungguhan, ketekunan, keistiqomahan dan penjagaan di dalam mentaati Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ. Sesungguhnya, Aqidah Islâmiyah yang shahih (benar) lagi murni dan suci, merupakan perkara yang paling penting diantara hal-hal penting lainnya dan merupakan kewajiban yang paling ditekankan. Untuk itulah perhatian terhadap aqidah haruslah didahulukan daripada hal-hal yang penting dan urgen lainnya. Apabila kita memperhatikan sirah (sejarah) salaf (pendahulu) kita yang terbaik –semoga Allôh merahmati dan menempatkan mereka ke dalam surga, dan semoga Allôh membalas (segala jerih payah) mereka terhadap kaum muslimin dengan balasan yang baik- kita melihat bagaimana besarnya perhatian dan kesungguhan mereka terhadap aqidah, dan bagaimana mereka mendahulukan masalah aqidah dengan perhatian dan kesungguhan melebihi semua hal. Karena aqidah adalah keinginan mereka terbesar, puncak ambisi dan semulia-mulianya tujuan mereka. Bentuk perhatian mereka terhadap aqidah melalui upaya dan kesungguhan yang bermacam-macam. Diantara bentuk perhatian mereka terhadap aqidah yang merupakan faktor yang turut menjaga kokoh dan kekalnya aqidah adalah, karya tulis mereka yang sangat bermanfaat dan buku-buku berfaidah yang menetapkan, menjelaskan dan menerangkan masalah aqidah serta menyebutkan argumentasi dan dalil-dalilnya. Membelanya dari tipu daya para penipu, permusuhan para agresor, pengingkaran kaum atheis dan penyelewengan kaum kaum ekstremis serta semisalnya yang acap kali mengusik permaslahan seputar aqidah dan menjadi sasarannya.

Para salaf –rahimahumullâhu-menjalankan peran yang agung ini dengan kesungguhan yang luar biasa dan pengamalan yang besar, sebagai bentuk pengkhidmatan dan sokongan terhadap aqidah dan menegakkan kewajiban besar. Mereka menulis tentang aqidah sebagai penjelas dan penerang, berargumentasi dan berdalil dengan ratusan buku, bahkan ribuan buku baik yang panjang maupun yang ringkas, baik yang komprehensif mencakup segala bab maupun yang khusus hanya mencakup satu aspek dari aspek-aspek aqidah, baik yang meletakkan dasar bagi al Haq dan kebenaran maupun yang membantah penyeleweng lagi pendusta (yang tak dapat dipercaya). Kemudian, orang yang belakangan mengambil aqidah dari pendahulu mereka yang terang seterang matahari di siang hari bolong, yang begitu jelasnya tanpa ada kesamaran dan kekaburan, disebabkan argumentasinya, keselamatan dan kekuatan dalilnya, yang begitu terang dan jelasnya.

Kaum mu’minin ahli ittibâ’ mewarisinya dari generasi ke generasi dan dari waktu ke waktu. Setiap generasi menjaga dan memelihara aqidahnya dengan upaya yang begitu besar, kemudian menyampaikannya kepada generasi setelahnya apa adanya tanpa perubahan, penggantian maupun penyelewengan dan lain sebagainya. Generasi setelahnya menjaga dan memperhatikan aqidah sebagaimana pendahulu mereka menjaga dan memperhatikannya. Demikianlah aqidah ini terwarisi dari generasi ke generasi, dan akan senantiasa ada sekelompok dari ummat Muhammad Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam yang berada di atas kebenaran dan mendapatkan pertolongan (kemenangan), tidaklah mencederai mereka orang-orang yang mencerca dan menyelisihi mereka, sampai datangnya hari kiamat.

Tema pembahasan kita ini adalah tentang mantapnya aqidah as-Salaf ash-Shâlih –rahimahumullâhu- dan terbebasnya (selamatnya) dari segala bentuk perubahan, seiring dengan perubahan waktu dan zaman yang panjang. Ia adalah aqidah yang didakwahkan oleh Nabi ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan aqidah yang para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan lebih baik berada di atasnya, yang mana mereka saling menyampaikan satu dengan yang lainnya, dan saling mewariskannya hingga sampai di zaman kita dalam keadaan yang murni lagi suci.

Ironinya, banyak kaum dan mayoritas manusia menyimpang dan menyeleweng dari aqidah (yang benar). Jalan mereka saling berpecah belah dan merekapun menyimpang dari jalan yang benar lagi lurus. Nabi yang mulia ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm telah mengisyaratkan bahwa kejadian ini akan berlangsung dan terjadi.

Beliau bersabda :

“Sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup diantara kalian sepeninggalku nanti, niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang lurus lagi terbimbing setelahku. Genggamlah sunnah tersebut dan gigitlah dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan (di dalam agama), karena setiap perkara yang diadaadakan (di dalam agama) itu ada bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [HR Abū Dâwud (4607) dan at- Turmudzî (2676)].

Beliau bersabda di dalam hadits yang lain :


“Dan umat ini akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga kelompok dan semuanya masuk neraka kecuali satu.” [HR Ahmad (4/102) dan Abū Dâwud (4597). Dishahihkan oleh al-Albânî di dalam as-Silsilah ash- Shahîhah (203)].

Kelompok yang satu itu adalah kelompok yang selamat agamanya, lurus manhajnya dan shahih aqidahnya. Karena mereka mengambilnya dari sumbernya yang masih murni dan mata airnya yang tidak tercemar dengan suatu kekeruhan sedikitpun. Mereka mengambilnya dari Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullah wa Salâmuhu ‘alaihi. Keberuntungan mereka di dalam aqidah dan semua perkara agama
terletak pada keselamatan, ilmu, hikmah dan kemuliaannya, sehingga mereka lebih berhak menjadi kelompok yang selamat itu dan sebagai ahlinya. Karena mereka mengambil aqidahnya dari sumbernya yang utama dan mata airnya, yaitu Kitâb Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allôh pun menyelamatkan mereka sehingga mereka tidak direnggut oleh hawa nafsu dan tidak ditelan oleh syubuhât. Mereka tidak condong kepada akal, pemikiran, hati dan perasaan atau yang semisalnya dalam rangka mencari pengetahuan aqidah yang benar. Mereka hanya berpijak pada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Tidak diragukan lagi bahwa ada berbagai faktor yang menjadi penyebab langgengnya aqidah, keselamatan dan kemantapannya di dalam diri pemiliknya dengan taufik dari Allôh Subhanahu wa Ta’âlâ, karena hanya Allôh-lah sang pemberi taufik satu-satunya lagi maha lemah lembut. Di tangan-Nya berada segala keutamaan yang ia anugerahkan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allôh adalah maha pemilik keutamaan yang agung. Maka, taufik Allôh, petunjuk, hidayah dan pertolongan- Nya kepada ahlus sunnah merupakan perkara terbesar yang dapat mewujudkan keselamatan mereka, dan hal ini pulalah yang menjadikan aqidah ini kekal di dalam jiwa-jiwa mereka.Dan Allôh adalah maha pemelihara terbaik lagi yang paling welas asih. Oleh karena itu, seharusnyalah bagi setiap muslim memperkuat hubungannya dengan Allôh, senantiasa memohon kepada-Nya agar diberikan pertolongan, taufik, petunjuk dan keselamatan, karena semua perkara ini berada di tangan-Nya Tabâroka wa Ta’âlâ :

”Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.” (QS Hūd : 88)

Tidak diragukan lagi, bahwa ada banyak faktor setelah taufik dari Rabb Jalla wa ’Alâ dan penjagaan-Nya Subhânahu yang menjadi faktor penyebab yang dapat mengokohkan, melanggengkan dan memantapkan aqidah ini ke dalam jiwa pemiliknya serta selamatnya dari perubahan, ketidaktetapan dan penyelewengan.

Tidak diragukan pula bahwa termasuk hal yang bermanfaat dan berfaidah bagi seorang muslim di dalam hidupnya, adalah berupaya memahami faktor-faktor penyebab yang dapat mengokohkan dan menyelamatkan, memelihara dan menjaga aqidah di dalam dirinya dengan sebaik-baik penjagaan sembari tetap memohon pertolongan kepada Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ atas semua hal ini.

Ada beberapa hal yang dapat saya ringkaskan setelah mencermati dan mengobservasi pendapat para ulama rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini, yaitu banyak faktor yang dapat menghantarkan kepada kemantapan dan langgengnya aqidah di dalam diri pemiliknya dan terbebasnya dari segala bentuk perubahan dan penyimpangan. Saya ringkaskan beberapa hal yang mudah bagi saya tentang hal ini di dalam beberapa poin berikut :

Pertama : Berpegang teguhnya ahlus sunnah kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam, keimanan mereka terhadap semua yang ada di dalam Kitâbullah dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash- Sholâtu was Salâm dan keyakinan mereka secara totalitas bahwa tidak boleh meninggalkan sedikitpun sesuatu yang ada di dalam al-Kitâb dan as-Sunnah. Namun wajib bagi setiap muslim untuk mengimani dan membenarkan segala hal yang ada di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ’alaihi ash-Sholâtu was Salâm, sehingga mereka mengimani seluruh nash (teks) yang terdiri atas informasi-informasi tentang Allôh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, nabi-nabi-Nya, hari akhir, al- Qodar dan yang semisal dengannya. Mereka wajib mengimaninya secara ijmâl (global) dan tafshîl (terperinci), yaitu mengimani secara global tentang segala hal yang diberitakan oleh Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ dari perkara-perkara keimanan, dan mengimani secara terperinci setiap apa yang Ia sampaikan kepada mereka berupa ilmu-Nya di dalam Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al- Hujurât : 15)

Beginilah keadaan mereka terhadap semua nash-nash (teks) al-Kitâb da as-Sunnah, yaitu menerima dan mengimani keseluruhannya. Keadaan mereka ini sebagaimana yang diucapkan oleh sebagian ulama salaf:

“Dari Allôh-lah Risalah berasal, kewajiban Rasūl menyampaikannya dan kewajiban kita adalah menerimanya.” Siapa saja yang berpegang teguh dengan Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, menaruh kepercayaan dan bersandar pada keduanya, niscaya dia akan senantiasa mantap, selamat dan istiqomah serta jauh dari penyelewengan dengan izin Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu berkata:

“Al-Furqôn (pembeda) yang terhimpun (untuk membedakan) antara kebenaran dengan kebatilan, petunjuk dengan kesesatan, bimbingan lurus dengan penyelewengan, jalan kebahagiaan dan kesuksesan dengan jalan kesengsaraan dan kebinasaan, adalah untuk menjadikan risalah yang Allôh mengutus Nabi-Nya dengannya dan kitab-kitab yang Ia turunkan adalah sebagai kebenaran yang wajib diikuti. Dengannya akan diperoleh al-Furqôn, petunjuk, ilmu dan keimanan, sehingga dapat dibenarkan bahwa wahyu-Nya adalah haq dan benar (lurus) sedangkan selainnya baik itu perkataan semua manusia perlu ditimbang. Apabila selaras dengan wahyu Allôh maka ia adalah kebenaran dan apabila menyelisihi maka ia adalah kebatilan. Apabila tidak diketahui apakah ucapan tersebut sesuai atau menyelisihi wahyu, bisa jadi karena ucapan tersebut adalah ucapan yang global sehingga tidak diketahui maksud orang yang mengucapkannya, atau diketahui maksud ucapannya namun tidak diketahui apakah Rasūlullâh membenarkan atau mendustakannya, maka ucapan tersebut ditahan (didiamkan) dan tidaklah dikomentari melainkan dengan ilmu. Ilmu adalah yang ditegakkan di atasnya dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah yang datang dari Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Majmū’ Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah XIII:135- 136).

Inilah ringkasan manhajnya Ahlus Sunnah wal Jamâ’ah rahimahumullâhu di dalam bab yang agung ini. Mereka meletakkan kepercayaan terhadap al-Kitâb dan as- Sunnah, yang dengan kepercayaan inilah mereka memperoleh keselamatan dan kemantapan, sebagaimana ucapan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah pada tempat yang lain, bahkan cukup sering beliau mengatakan : “Barangsiapa menyelisihi dalil maka jalannya akan sesat, dan tidak ada dalil melainkan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Lihat : Miftâh Dâris Sa’âdah karya Ibnul Qoyyim hal. 90). Ibnu Abîl Izz berkata di dalam Syarh (penjelasan) beliau terhadap al-Aqîdah ath-Thohâwîyah

“Bagaimana mungkin menghendaki untuk memperoleh ilmu ushul (ilmu dasar ~ aqidah) selain dengan apa yang didatangkan oleh Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.” (Syarh al-‘Aqîdah ath-Thohâwîyah hal. 18)

Artinya, hal ini tidak mungkin dan mustahil. Jadi, kepercayaan mereka rahimahumullâhu tehadap segala apa yang ada di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm dan bersandarnya mereka kepada apa yang datang dari keduanya, merupakan penyebab utama mantapnya aqidah mereka. Tidaklah mungkin seorang dari ahlus sunnah wal jamâ’ah rahimahumullâhu mengada-adakan suatu aqidah dari dirinya sendiri, atau mendatangkan suatu keyakinan atau agama yang berasal dari akal, perasaan atau pemikirannya sendiri. Siapa saja yang melakukan hal seperti ini maka mereka adalah ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), yang dengannya mereka tidak memperoleh kemantapan (dalam aqidah) dan mayoritas keadaan mereka dalam keadaan berubah-ubah dan labil, sebagaimana akan datang penjelasan hal ini.

Adapun Ahlus Sunnah, tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat suatu aqidah dari diri mereka sendiri, namun mereka semua menaruh kepercayaan dan bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam.

Di sini saya akan menukilkan perkataan Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâhu yang anggun, beliau berkata :

“Tidaklah aqidah itu berasal dari diriku dan tidak pula dari mereka yang lebih senior daripadaku (Yaitu : Bukanlah wewenangku untuk mendatangkan suatu aqidah yang berasal dari diriku sendiri yang aku buat-buat dan ada-adakan, bukan pula wewenang orang yang lebih senior dariku seperti Imam Ahmad, asy-Syâfi’î, Mâlik dan selainnya dari para Imâm Islâm. Tidak ada seorangpun dari mereka yang membuat-buat aqidah yang berasal dari diri mereka sendiri) namun aqidah itu diambil dari Allôh Subhânahu wa Ta’âlâ, Rasūl- Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan Ijma’ (konsensus) salaf, diambil dari Kitâbullâh, dari hadits-hadits Bukhârî, Muslim dan selainnya dari hadits-hadits yang diketahui, juga dari yang telah tetap dari Salaful Ummah.” (Majmū` Fatâwâ III:203).

Beliau rahimahullâhu juga berkata :

“Aqidahnya asy-Syâfi’î radhiyallâhu ‘anhu dan aqidah para ulama salaf semisal Mâlik, ats-Tsaurî, al-Auzâ’î, Ibnul Mubârok, Ahmad bin Hanbal dan Ishâq bin Râhawaih, adalah aqidahnya para masyaikh teladan semisal al-Fudhail bin ‘Iyâdh, Abū Sulaimân ad-Dârônî, Sahl bin ‘Abdillâh at-Tusturî dan selain mereka. Sesungguhnya tidak ada pada para imam dan orang semisal mereka adanya perselisihan di dalam ushūluddîn (pokok agama), demikian pula dengan Abū Hanîfah rahmatullahi ‘alaihi, karena sesungguhnya aqidah yang tsabit (tetap) dari beliau di dalam masalah tauhid, qodar dan semisalnya, adalah selaras dengan aqidah para imam, dan aqidah para imam tersebut adalah sebagaimana aqidahnya para sahabat dan tabi’in yang mengikuti mereka dengan cara lebih baik, yaitu aqidah yang diucapkan oleh al-Kitâb dan as-Sunnah.” (Majmū’ Fatâwâ V:25)

Jadi, inilah pokok dan poin pertama diantara factor-faktor penyebab mantapnya aqidah di dalam jiwa pemiliknya, yaitu bersandar kepada al-Kitâb dan as- Sunnah. Tanpa bersandar kepada kedua ini tidak akan memperoleh kemantapan, keselamatan dan keistiqomahan.

Kedua : Keyakinan para salaf rahimahullâhu bahwa al- Kitâb dan as-Sunnah mencakup aqidah yang benar yang tidak ada cela pada keduanya di segala aspeknya. Karena aqidah yang benar itu sangat terang dan sangat gamblang di dalam Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana firman Allôh Ta’âlâ :

“Pada hari ini telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian”, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak, “dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku serta Aku ridhai Islâm sebagai agama kalian.” (QS al-Mâ`idah : 3)

Telah dijelaskan semuanya di dalam al-Kitâb dan as- Sunnah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berkaitan aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlaq dan tingkah laku. Sebagaimana di dalam sebuah hadits yang shahih dari Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

“Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang ia ketahui.” (Shahîh Muslim : 1844)

Ketika Ahlus Sunnah beriman dengan keimanan yang sempurna dan tunduk ridha dengan keridhaan yang totalitas bahwa agama mereka adalah aqidah, ibadah dan akhlaq yang dijelaskan di dalam al-Qur`ân dan as- Sunnah dengan sejelas-jelasnya, merekapun beriltizam (menetapi) dengan sebenar-benarnya dan menaruh kepercayaan mereka dengan sungguh-sungguh kepada segala hal yang datang di dalam Kitabullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam serta mereka tidak butuh lagi merujuk kepada selain yang datang dari Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shalawâtullâhi wa Salâmuhu ‘alaihi dan mereka merasa mantap dengan sebenar-benarnya terhadap Kitâbullâh dan Sunnah Nabi- Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, maka akan termanifestasikan keselamatan kepada mereka secara sempurna.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata :

“Sesungguhnya Rasulullah Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan segala hal di dalam agama, baik yang ushūl (pokok/dasar) maupun yang furū’ (cabang), yang bâthin maupun yang zhâhir, atau pada keilmuan (aqidah) maupun amalan. Karena dasar ini merupakan dasar dari pokok-pokok ilmu dan keimanan, dan setiap orang yang paling berpegang teguh dengan pokok ini, maka ia adalah orang yang lebih utama di dalam kebenaran ini, baik ilmu (aqidah) maupun amalan.” (Majmū’ Fatâwâ XIX/155)

Yang dimaksud dengan pokok/dasar di sini adalah kepercayaan dan penyandaran yang sempurna terhadap Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, karena keduanya telah menjelaskan agama seluruhnya, baik aqidah, ibadah maupun akhlak. Kitâbullâh dan Sunnah Rasūlullâh telah menjelaskan secara cermat lagi mudah hal yang berkaitan dengan Adab (etika), seperti adab buang hajat, adab bersuci, adab bermu’amalah (berinteraksi) dan semisalnya.

Apakah mungkin jika adab-adab ini dijelaskan di dalam Kitâbullâh dan Sunnah namun masalah keyakinan ditinggalkan tanpa dijelaskan?! Hal ini suatu hal yang mustahil sebagaimana diutarakan oleh Imâm Mâlik bin Anas, yang bergelar Imâm Imâm Dârul Hijrah rahimahullâhu :

“Sungguh mustahil Nabi Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bagi ummatnya segala sesuatunya sampai dalam masalah buang air, namun beliau tidak menjelaskan tauhid kepada mereka.” Dengan demikian, al-Qur`ân dan as-Sunnah mencakup segala kebaikan, petunjuk dan arahan yang lurus seluruhnya, baik di dalam aqidah, ibadah, mu’amalah ataupun akhlaq. Manusia memperoleh keberuntungan berupa keselamatan dan keistiqomahan sesuai dengan porsinya di dalam bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Sebagaimana ucapan Mâlik Rahimahullâhu :

“Sunnah itu bagaikan perahunya Nūh, barangsiapa menaikinya akan selamat dan barangsiapa yang meninggalkannya akan tenggelam (binasa).”

Ketiga : diantara faktor-faktor yang memantapkan aqidah di dalam jiwa pemiliknya, bahwasanya ahlus sunnah, berangkat dari penjelasan sebelumnya, telah menetapkan di dalam jiwa mereka bahwa di saat terjadi perdebatan atau perselisihan, mereka tidak condong dan mengembalikannya kepada sesuatupun melainkan kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Mereka mengetahui secara pasti dan yakin bahwa perdebatan dan perselisihan atau yang semisalnya, tidak akan pernah beres dan sirna problematikanya melainkan dengan bersandar kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana firman Alloh Ta’âlâ :

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah kepada Alloh (Al-Qur`ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ` : 59)

Suatu hal yang tidak diragukan, bahwa siapa saja yang perhatiannya lebih condong kepada Kitab Rabbnya dan Sunnah Nabi-nya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm di saat terjadinya perselisihan di tengah-tengah manusia, maka buahnya adalah kemantapan dan keselamatan, serta aqidahnya tidak akan goncang dan labil. Mereka senantiasa condong kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi- Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam di dalam perkaraperkara yang manusia bertikai dan berselisih di dalamnya. Suatu hal yang diketahui bersama dan ditetapkan, bahwa setiap pertikaian dan perselisihan yang terjadi, tidak akan terurai di tengah-tengah manusia melainkan dengan berpegang kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Karena pemikiran dan akal itu beraneka ragam dan bermacam-macam, demikian pula dengan sisi pandang tiap orang itu saling berjauhan, maka tidak ada peran di kala bertikai dan mengangkat perselisihan melainkan dengan mengembalikan semuanya secara sebenarbenarnya kepada Kitâbullâh dan Sunnah Nabi-Nya Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Maka inilah faktor terbesar diantara faktor-faktor mantapnya ahli kebenaran di atas kebenaran.

Keempat : Fithrah mereka yang selamat. Fithrah merupakan nikmat dari Alloh Azza wa Jalla dan anugerah yang Allôh Tabâroka wa Ta’âlâ anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya. Allôh Jalla wa ‘Alâ memberikan keutamaan kepada hamba-hamba-Nya dengan menciptakan mereka di atas fithrah, sebagaimana sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam :

“Setiap (hamba) yang lahir dilahirkan di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (Shahîh al-Bukhârî : 1385)

Maka Allôh ciptakan mereka di atas fithrah. Adapun Ahlus Sunnah, fithrah mereka tetap selamat tidak berubah-ubah. Allôh perlihara fithrah mereka (ahlus sunnah) dari segala bentuk perubahan, pergantian dan penyelewengan. Sedangkan manusia lainnya, fithrah mereka telah terkotori dan mengalami penyelewengan sesuai dengan yang melekat padanya, sedikit maupun banyak.

Di dalam sebuah hadits Qudsi, Allôh Ta’âlâ berfirman:

“Aku ciptakan hamba-hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan hanif (lurus), kemudian syaithan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka.” (Shahîh Muslim no. 2365).

Di dalam al-Qur`ân al-Karîm, Allôh Ta’âlâ berfirman:

“Dan Sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk. (QS az- Zukhrūf : 37).

Syaithan dan bala tentaranya memalingkan dan mengubah manusia dari fithrah mereka. Untuk itulah, termasuk diantara faktor yang memantapkan (aqidah) adalah, manusia perlu bersungguh-sungguh di dalam menjaga keselamatan fithrah mereka :

“(Tetaplah atas) fithrah Alloh yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rūm : 30).

Fithrah yang selamat terikat dengan sumber (mashdar) yang selamat. Apabila seorang yang memiliki fithrah yang selamat menyandarkan dan berpegang dengan Kitâb Rabbnya dan Sunnah Nabinya ‘alaihi ash-Sholâtu was Salâm, maka fithrahnya tidak akan berubah. Namun jika fithrahnya tunduk kepada hawa nafsu yang membinasakan, syubuhat yang merusak, pemikiran yang menyimpang dan takalluf (sikap membenani diri) yang jauh, atau yang semisalnya, maka fithrahnya akan menyimpang.

Kelima : Akal mereka yang sehat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah manusia yang paling baik akalnya, dan paling selamat pendapat, pemikiran dan manhajnya.

Mereka memiliki akal yang rajih (kuat) yang tidak ada padanya ghuluw (berlebih-lebihan) atau jafa’ (menyepelekan) sebagaimana keadaan selain mereka dari kalangan ahli ahwa` dan ahli bida’. Ahlus sunnah tidak ada pada akal mereka sikap ghuluw sebagaimana yang tampak secara jelas pada ucapan-ucapan filsafat dan orang yang terselimuti dengan belitan mereka. Manhaj mereka diikuti oleh orang-orang yang meninggalkan al-Kitâb dan as-Sunnah dan hanya berpegang seluruhnya kepada akal, pemikiran dan pendapatnya saja. Segala apa yang ia pandang benar dengan akalnya, ia berpegang dengannya, dan segala apa yang ia pandang menyelisihi akalnya, maka ia tinggalkan, walaupun hal itu adalah firman Allôh dan sabda Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Karena sesungguhnya yang mereka percayai dan mereka anggap hanyalah akal dan pemikiran mereka.

Telah diketahui bersama bahwa akal manusia itu tidaklah berada di atas akal orang yang satu. Karena itulah, ketika banyak golongan manusia yang bersandar pada akal, hal itulah yang menjadi penyebab banyaknya penyelewengan dan banyaknya pemikiran dan madzhabmadzhab. Karena akal itu bermacam-macam, sebagaimana ucapan sebagian salaf :

“Sekiranya hawa nafsu itu hanya satu saja, boleh jadi dikatakan hawa nafsu itu benar. Tetapi kenyataannya hawa nafsu itu banyak.”

Demikian pula dapat kita katakan : Sekiranya akal itu hanya satu saja, boleh jadi dikatakan akal itu benar. Tetapi kenyataannya akal itu banyak dan beraneka ragam. Inilah sisi penyelewengan di dalam akal, yaitu sisi ghuluw (berlebih-lebihan) di dalam akal dan mengangkatnya melebihi porsinya. Ada pula sisi lain di dalam akal yang menyeleweng, yaitu sisi jafa` (menyepelekan). Hal ini banyak ditemui di dalam kesesatan shufiyah dan kalangan jahil mereka yang meninggalkan aspek akal. Kemudian mereka memasukkan dengan atas nama tashowwuf perkara-perkara yang sebagian mereka menyebutnya al-Jadzb (esktase), syahath (dibuai mabuk) dan junun (gila/tidak waras karena cinta) atau yang semisalnya dalam berbagai bentuk penyimpangan-penyimpangan yang menjijikkan, yang tidak diterima oleh akal (sehat), tidak diridhai oleh pikiran dan semua manusia enggan padanya. Mereka jatuh ke dalamnya disebabkan mereka meninggalkan akal mereka secara sempurna.

Ahlus Sunnah rahimahumullâhu adalah umat yang pertengahan dan moderat. Mereka tidak melebihkan akal di luar proporsinya dan tidak pula mengabaikan atau menyia-nyiakannya, namun ahlus sunnah menempatkan akal pada proporsinya dan koridornya yang terbatas. Sebagaimana manusia yang memiliki batas pendengaran tertentu yang tidak mungkin dilampauinya, demikian pula dengan pengelihatan dan indera-indera lainnya, termasuk juga akal. Akal memiliki batasan tertentu. Barangsiapa yang mencoba untuk memaksakan akalnya di luar batas dan proporsinya, niscaya akan tersesat sebagaimana banyak kaum manusia yang tersesat. Untuk itulah akal ahlus sunnah wal jama’ah benar dan selamat dari penyimpangan, dikarenakan mereka mempergunakan akalnya sesuai dengan proporsinya dan tidak mengabaikannya begitu saja

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali ‘Imrân : 191)

Mereka adalah Ūlūl Albâb dan pemilik akal yang shahih lagi rajih. Mereka menempatkan akal mereka pada batasannya dan proporsinya, tanpa ada ghuluw atau jafa`, ifrâth (berlebih-lebihan) atau tafrîth (meremehkan) dan ziyadah (menambah-nambahi) atau nuqshôn (mengurang-ngurangi). Inilah perkara besar yang merupakan faktor-faktor penyebab mantapnya aqidah mereka di atas kebenaran.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. 'Ammah Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger